Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pilihan Industri Setelah Harga Gas Naik: Menurunkan Produksi atau Menaikkan Harga

Pelaku industri kesulitan mencari pengganti gas yang kian mahal. Cuma ada opsi menurunkan tingkat produksi atau menaikkan harga.

5 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas PT Perusahaan Gas Negara melakukan perawatan pipa gas di sebuah pabrik keramik di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, 10 Desember 2018. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pelaku industri tekstil menghadapi kenaikan harga gas hingga US$ 16 per MMBTU.

  • Pabrik kaca dan keramik tak bisa lagi mendapatkan harga gas khusus.

  • Pengusaha kesulitan mencari penambal pasokan gas dari PGN yang bakal seret.

PERIBAHASA sudah jatuh tertimpa tangga dialami pengusaha tekstil. Ketika para pengusaha tekstil kolaps karena serbuan barang impor dan pelemahan daya beli konsumen dalam negeri, ada ancaman masalah lain: kenaikan harga gas. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia Redma Gita Wirawasta mengatakan para pengusaha kelimpungan mencari alternatif gas murah. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Redma, para pemasok gas swasta pun terpengaruh rencana PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk dan PT Pertamina Gas atau Pertagas yang akan mematok harga di atas US$ 16 per juta metrik British thermal unit (MMBTU). “Alasannya, suplai menipis,” katanya pada Jumat, 3 Januari 2025. Pengusaha tekstil, Redma menambahkan, tak punya pilihan selain menanggung harga gas yang cukup tinggi sembari melakukan efisiensi di sana-sini. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Industri tekstil tidak termasuk sektor usaha yang berhak mendapat harga gas bumi tertentu (HGBT) yang ditetapkan pemerintah US$ 6 per MMBTU. Pemerintah sampai saat ini menetapkan tujuh sektor industri penerima HGBT, yaitu keramik, pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, kaca, dan sarung tangan karet. Industri tekstil dan sektor lain yang tak tergolong penerima insentif HGBT harus menebus gas dengan harga komersial, yakni di atas US$ 10 per MMBTU.

Redma mengatakan pengusaha membuka opsi mengimpor gas dari Timur Tengah. Dia mengungkapkan, sempat ada informasi pasokan gas dari Qatar seharga US$ 3 per MMBTU. "Dengan ongkos kirim, regasifikasi, sampai penyaluran ke sini harganya US$ 6 per MMBTU,” tuturnya. Namun rencana impor gas secara langsung terhalang regulasi. Pemerintah hanya mengizinkan impor gas dilakukan oleh badan usaha hilir minyak dan gas bumi, bukan pengguna akhir seperti industri tekstil.

Redma membandingkan, harga gas di India, Vietnam, dan Cina yang selama ini menjadi pesaing Indonesia di sektor tekstil jauh lebih murah, yaitu US$ 4-6 per MMBTU. Karena itu, tak aneh jika daya saing pabrik tekstil nasional kalah dibanding negara-negara tersebut. 

Produksi kain tenun di sebuah industri tekstil di Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 29 Desember 2022. Tempo/Prima Mulia

Bagi pelaku industri tekstil hulu seperti produsen polimer dan serat, gas adalah komponen produksi paling krusial. Sumber energi ini digunakan dalam proses pengolahan polimer menjadi serat kain dan benang. Andil biaya gas dalam produksi bahan baku tekstil mencapai 18 persen. Walhasil, produsen tekstil akan terpukul ketika harga gas naik. Harga jual bahan baku melejit dan berdampak pada produk hilir seperti kain dan pakaian jadi. "Entah sampai kapan perusahaan tekstil bisa kuat bertahan,” ujar Redma. 

Nasib industri penerima HGBT pun tak jauh berbeda. Industri keramik, misalnya, juga tak bisa sepenuhnya menikmati harga khusus US$ 6 per MMBTU setelah PGN memberlakukan sistem kuota serta sistem alokasi gas industri tertentu (AGIT). Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto mengeluhkan sikap PGN yang menurut dia sewenang-wenang. Dia mengungkapkan, sejak 2024, pengusaha keramik membayar gas US$ 6,5 per MMBTU atau di atas HGBT. "Jika pemakaian gas di atas AGIT, kami akan dikenai harga komersial US$ 16,7 per MMBTU,” ucapnya.

Para pengusaha sudah menerima surat edaran dari PGN pada Desember 2024 yang menyatakan kenaikan harga gas dan sistem kuota akan diterapkan per 1 Januari 2025. PGN beralasan terdapat gangguan suplai dari hulu sehingga harga gas harus diubah. Guna menghindari harga yang kelewat mahal, opsi yang diambil pengusaha adalah menurunkan kapasitas produksi. Namun, menurut Edy, opsi tersebut bisa menambah masalah baru. “Pabrik keramik sudah dirancang untuk berproduksi 100 persen dari kapasitas," katanya. Jika utilisasi pabrik berkurang, selain terjadi kehilangan produktivitas, biaya produksi bakal naik. 

Padahal, Edy melanjutkan, pengusaha keramik berpeluang menangguk keuntungan dari program pembangunan 3 juta rumah pada 2025. Berdasarkan hitungan Asaki, proyek ini ekuivalen dengan tambahan permintaan keramik 110 juta meter kubik atau sekitar 15 persen tambahan utilisasi. Peluang itu bisa saja buyar jika harga gas naik. “Karena 30-35 persen biaya produksi kami habis di energi gas,” ucap Edy. Adapun jalan terakhir seperti menaikkan harga juga berat ditempuh di tengah persaingan dengan produk keramik impor dari India, Vietnam, dan Cina yang lebih murah. "Seperti maju kena, mundur kena,” Edy menambahkan.

Keluhan juga datang dari industri kaca. Ketua Umum Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman Yustinus Gunawan mengatakan sulit bagi pengusaha untuk menjalankan konversi energi dari gas bumi ke bahan bakar lain dalam proses produksi. Menurut dia, pabrik kaca dan fasilitas produksi industri lain tidak bisa mengganti bahan bakar karena semua peralatan, seperti tungku, sudah diatur menggunakan gas bumi. "Jika kembali memakai minyak bakar seperti 20 tahun lalu, sudah tidak ideal,” katanya. 

Untuk menahan kenaikan harga, Yustinus melanjutkan, pemilik pabrik kaca memilih menurunkan tingkat produksi ketimbang menelan kerugian yang lebih besar. Siasat lain adalah mendorong produksi dan penjualan produk kaca bernilai tambah tinggi hingga memperluas pasar ekspor. Yustinus juga berharap kebangkitan industri otomotif dan properti dapat mendongkrak kinerja industri kaca. 

Yustinus, yang juga menjabat Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi, menyesalkan langkah PGN menaikkan harga dengan alasan kelangkaan suplai gas di hulu. Menurut dia, alasan itu klise dan tidak transparan. “Tidak pernah disebutkan kelangkaan di hulu itu yang mana. Seharusnya katakan saja ada target produksi yang meleset dan apa kendalanya, karena pada kenyataannya masih ada ekspor gas,” ujarnya. “Kami menunggu pemerintah turun tangan untuk melanjutkan skema HGBT tanpa kuota dan AGIT,” dia menambahkan. 

Persoalan harga gas industri yang kian tinggi hingga ketidakpastian pasokan bukan sekali-dua kali terjadi. Ketua Komisi Tetap Industri Asosiasi Pengusaha Indonesia Achmad Widjaja mengatakan selama ini pelaku industri tak pernah mendapat kepastian mengenai suplai gas bumi, khususnya dari PGN sebagai pemasok utama. Menurut dia, hampir tak ada langkah konkret yang benar-benar diambil pemerintah ataupun PGN untuk menyelesaikan persoalan ini. 

Achmad mengatakan PGN seharusnya mengumpulkan pelaku industri pengguna gas untuk melihat kebutuhan masing-masing. Setelah itu, dia menambahkan, PGN bisa memetakan infrastruktur pipa yang mereka miliki untuk dicocokkan dengan kebutuhan industri di berbagai wilayah. “Mana yang tidak ada pipa, mana yang harus mereka tambah sampai masuk ke wilayah industri,” tuturnya. Hingga semester I 2024, jaringan pipa yang dimiliki PGN tercatat sepanjang 13.319 kilometer dengan jumlah pelanggan industri dan komersial sebanyak 3.165. 

Sekretaris Perusahaan PGN Fajriyah Usman mengatakan sudah mencari pasokan gas baru serta menjajaki pembelian gas hasil regasifikasi dari gas alam cair (LNG).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Jalan Buntu Sumber Gas Baru

Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus