Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Krisis gas industri, terutama di wilayah distribusi Jawa bagian barat, diperkirakan makin parah tahun ini.
Dampak kelangkaan pasokan gas bagi industri sangat mengkhawatirkan, bisa berujung pada ambruknya perekonomian.
Kebijakan pemerintah dan manajemen PGN yang inkonsisten menjadi akar masalah krisis gas industri yang telah laten.
KRISIS gas yang mengancam industri tak boleh dianggap sepele. Industri telah menjadi tulang punggung ekonomi dengan produktivitasnya yang menyediakan lapangan kerja, mendorong ekspor, dan meningkatkan peluang investasi. Adapun gas, seperti sumber energi lain, merupakan jantung semua proses tersebut. Maka dampak kelangkaan pasokan gas akan sangat menghancurkan tidak hanya bagi pelaku industri, tapi terhadap perekonomian secara menyeluruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amat disayangkan krisis gas industri berpotensi berulang tahun ini. Kondisinya bahkan bisa lebih parah. Mulai Januari 2025, pasokan gas Blok Corridor yang dikelola Grup Medco berkurang hampir separuh, dari tahun lalu masih 410 miliar British thermal unit per hari (BBTUD) menjadi 271 BBTUD. PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk, sebagai pembeli dan penyalur gas ke industri pengguna, kelimpungan karena defisit gas untuk pelanggannya di wilayah distribusi Jawa bagian barat bakal makin bengkak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebingungan PGN—dikenal dengan kode PGAS di bursa saham—mungkin tak seberapa. Subholding gas PT Pertamina (Persero) yang menjadi pemain utama jaringan gas pipa itu masih bisa meraup cuan dari wilayah distribusi lain, seperti Jawa bagian timur yang surplus pasokan. Namun situasinya jauh berbeda dengan yang dihadapi para pelanggan.
Di wilayah distribusi Jawa bagian barat, terutama Jawa Barat dan Banten, sedikitnya 1.500 unit industri bertahan hidup dari gas. Selain di sektor kelistrikan, ribuan pelanggan PGN itu bergerak di industri petrokimia, makanan dan minuman, pupuk, serta keramik. Seretnya pasokan gas akan membuat mereka makin lesu darah. Jika kondisi memburuk, bukan tidak mungkin pelaku usaha memindahkan unit produksinya atau bahkan gulung tikar, yang tentu saja diiringi gelombang pemutusan hubungan kerja massal.
Kondisi ini sungguh ironis. Bak ayam mati di lumbung, industri pengguna gas justru megap-megap kekurangan pasokan bahan bakar di negara dengan cadangan gas bumi berlimpah. Per Februari 2024, merujuk pada data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, terdapat cadangan terbukti gas di Indonesia sebesar 55,76 triliun kaki kubik yang diperkirakan habis dalam 22 tahun ke depan.
Buruknya pengelolaan energi dan bisnis gas domestik menjadi akar masalah. Krisis gas industri sebenarnya bukan penyakit baru. Resep untuk mengatasinya juga sudah dituliskan lebih dari sedekade lalu di berbagai dokumen rencana kerja pemerintah ataupun PGN. Pemerintah harus mempercepat pengembangan lapangan gas baru karena kemampuan produksi sumur-sumur tua pasti menurun. Dengan bantuan negara, perseroan juga perlu memudahkan akses di pasar gas domestik, terutama dengan penyediaan infrastruktur distribusi.
Namun kebijakan pemerintah, juga manajemen PGN, selama ini inkonsisten dan kerap kontradiktif dengan solusi yang dibutuhkan. Produksi di ladang-ladang gas raksasa, seperti Blok Masela di Maluku, dan proyek Indonesia Deepwater Development di Kalimantan Timur tersendat akibat kebijakan sembrono pemerintahan terdahulu. Ketika beberapa proyek gas alam cair mulai berproduksi, PGN pun tidak bisa bergerak cepat menyerapnya karena terlena oleh bisnis gas pipa yang bergantung pada sumur-sumur tua.
Sikap abai pemerintah dan PGN terhadap persoalan laten ini patut menimbulkan kecurigaan bahwa krisis gas berulang karena kesengajaan. Sudah menjadi rahasia umum, bisnis ini berkaitan dengan dolar tak berseri. Distorsi pasar selalu membuka ruang bagi para pemburu rente, sementara perekonomian nasional yang menanggung getahnya. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo