Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Setelah Suplai Gas Blok Corridor Anjlok. Bagaimana Dampaknya pada Industri?

Pasokan gas pipa dari Blok Corridor anjlok. Industri pengguna gas di Jawa dan Sumatera menghadapi kenaikan biaya.

5 Januari 2025 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pasokan gas pipa untuk industri di Jawa dan Sumatera akan berkurang.

  • Produksi Blok Corridor turun cukup signifikan.

  • Industri pengguna gas pipa membayar lebih mahal jika memakai LNG.

SECARIK surat dari PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Tbk pada Desember 2024 tak terlalu membuat kaget Edy Suyanto. Ketua Umum Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) itu sudah mendengar informasi bahwa pasokan gas dari PGN bakal berkurang di awal tahun ini. Persis seperti yang dikabarkan dalam surat itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tapi Edy dan para anggota Asaki pusing lantaran harga gas akan naik. Biasanya, pabrik keramik membayar gas dengan harga khusus US$ 6 per juta metrik British thermal unit (MMBTU). Kali ini PGN akan menerapkan sistem kuota. Jika jumlah konsumsi gas melebihi batas yang ditentukan, para penggunanya harus membayar US$ 16,7 per MMBTU. “Daya saing kami akan merosot karena harga gas yang teramat mahal," katanya pada Rabu, 1 Januari 2025. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam surat tersebut, manajemen PGN menyatakan mulai 1 Januari 2025 pasokan gas pipa untuk pelanggan industri di Sumatera dan Jawa bagian barat akan berkurang hingga separuh dari yang biasa mereka salurkan. PGN juga menyatakan industri pengguna gas yang jumlah konsumsinya melebih kuota akan dikenai harga sesuai dengan harga regasifikasi dari gas alam cair. 

Padahal selama ini industri keramik bersama industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, kaca, dan sarung tangan karet menikmati insentif berupa harga gas bumi tertentu (HGBT) dari pemerintah sebesar US$ 6 per MMBTU, jauh di bawah harga komersial rata-rata US$ 10 per MMBTU. Sektor industri ini mengandalkan gas sebagai bahan baku dan sumber energi.

Kilang gas lapangan Grissik Blok Koridor ConocoPhillips Grissik Ltd di Sumatera Selatan. Tempo/Parliza Hendrawan

Tak hanya harus membayar harga lebih mahal, industri pengguna gas bakal kekurangan pasokan gas. Industri keramik, petrokimia, baja, hingga kaca di Sumatera dan Jawa bagian barat selama ini disuplai oleh gas pipa PGN yang berasal dari Blok Corridor di Sumatera Selatan.

Tahun ini, pasokan gas dari Blok Corridor bakal menyusut karena tingkat produksinya berkurang. Hingga saat ini PGN belum mendapat kepastian pasokan gas tambahan dari sumber lain. Sebagian besar gas dari lapangan produksi lain, seperti Blok Tangguh di Papua Barat dan Bontang di Kalimantan Timur, sudah terikat kontrak jangka panjang dengan pembeli dari luar negeri. Tanpa pasokan tambahan, PGN sulit memenuhi kebutuhan industri seperti pabrik keramik, kaca, dan petrokimia. 

•••

PERUSAHAAN Gas Negara mulai mencari pasokan gas baru sejak anak perusahaan PT Pertamina (Persero) tersebut menandatangani perjanjian jual-beli gas periode 2024-2028 dengan Grup Medco selaku pengelola Blok Corridor pada Desember 2023. Menurut kontrak tersebut, Medco menyalurkan gas hingga 410 miliar British thermal unit per hari (BBTUD) sepanjang 2024. Jumlah pasokannya akan menurun berturut-turut menjadi 271 BBTUD pada 2025 dan tersisa 129 BBTUD pada 2028. 

Pasokan gas seret lantaran Blok Corridor, yang termasuk lapangan produksi minyak dan gas berusia tua, mengalami penurunan produksi. Padahal, pada 2004-2023, Blok Corridor bisa menghasilkan gas hingga 700 BBTUD. Dari jumlah tersebut, sebanyak 581 BBTUD dijual kepada PGN dan sisanya diekspor ke Singapura. 

Pada 2024, tingkat produksinya anjlok drastis sehingga semua gas dari blok tersebut dijual kepada PGN untuk memenuhi kebutuhan domestik. Kebutuhan gas untuk wilayah Sumatera bagian tengah dan selatan serta Jawa bagian barat mencapai 585 BBTUD, sementara pasokannya hanya 534 BBTUD. Defisit diperkirakan melebar menjadi 370 BBTUD pada 2028 karena produksi Blok Corridor terus menurun. 

Blok Corridor memiliki satu lapangan minyak, yaitu Suban Baru, dan tujuh lapangan gas, yakni Suban, Dayung, Sumpal, Gelam, Letang, Tengah, dan Rawa. Lapangan gas itu berproduksi di Sumatera Selatan dilengkapi dua fasilitas pengolahan, yaitu Kilang Gas Suban dan Kilang Gas Pusat Grissik.

Petugas PT Perusahaan Gas Negara melakukan perawatan berkala pipa gas di sebuah pabrik keramik di Cileungsi, Bogor, Jawa Barat, 10 Desember 2018.. Tempo/Tony Hartawan

Saat ditemui di sela-sela 48th Indonesian Petroleum Association Convention and Exhibition di ICE BSD City, Tangerang Selatan, Banten, pada 16 Mei 2024, penasihat Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Nanang Abdul Manaf, mengatakan tengah memantau pelaksanaan komitmen kerja pasti PT Medco Energi International Tbk di Blok Corridor. "Dalam komitmen kerja pasti ada penambahan sumur eksplorasi, pengerjaan ulang, dan sebagainya,” ujarnya. 

Menurut Nanang saat itu, Medco mengembangkan beberapa sumur baru di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Salah satunya Sumur Suban 27.

Sedangkan Senior Vice President Corridor Asset Medco E&P Tri Laksono mengatakan dua tahun terakhir perusahaannya telah memenuhi target produksi yang dicanangkan pemerintah. Pada 2023, produksi gas Blok Corridor bahkan melebihi target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. “Kami berupaya agar produksi gas di Blok Corridor dapat dipertahankan untuk memenuhi target produksi dari pemerintah,” ucap Tri seperti dikutip dari Antara

Bagi PGN, mencari sumber pasokan baru bukan perkara gampang. Sekretaris Perusahaan PGN Fajriyah Usman mengatakan sudah mencari pasokan gas pipa baru serta menjajaki pembelian gas hasil regasifikasi gas alam cair (LNG) dari Blok Tangguh dan Bontang serta Donggi-Senoro di Sulawesi Tengah. Ketiganya adalah ladang penghasil gas bumi terbesar di Indonesia saat ini. Sembari mencari pasokan baru, sejak pertengahan 2024, PGN memperkenalkan gas regasifikasi LNG kepada para pelanggannya. “Ini semua dari tiga kargo alokasi LNG domestik dari pemerintah,” kata Fajriyah pada Selasa, 31 Desember 2024. 

Sebagai negara yang menguasai 1,5 persen cadangan gas bumi dunia, Indonesia sebetulnya belum mengalami defisit gas. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pada Januari-September 2024, volume penyaluran gas mencapai 5.590,12 BBTUD. Dari jumlah itu, sebanyak 68,44 persen diserap oleh pengguna gas dalam negeri dan hanya 31,57 persen yang diekspor. 

Sedangkan PGN memproyeksikan masih ada suplai gas berlebih untuk wilayah Jawa bagian tengah dan timur sebanyak 11 BBTUD hingga 2030. Kebutuhan gas untuk wilayah Jawa bagian tengah dan timur disediakan LNG dan gas pipa dari lapangan sekitar Jawa Timur, seperti Blok Madura yang dikelola Husky-CNOOC Madura Limited (HMCL) dan Jambaran Tiung Biru (JTB) di Bojonegoro.

Dwi Soetjipto Tempo/Tony Hartawan

Menurut Dwi Soetjipto, yang menjabat Kepala SKK Migas 2018-2024, kelebihan pasokan gas di wilayah timur seharusnya digeser untuk memenuhi kekurangan di bagian barat. Namun ada kendala infrastruktur. Pemerintah, dia menjelaskan, sudah berusaha membangun pipa gas Cirebon-Semarang (Cisem) yang menghubungkan wilayah barat dan timur. Namun, hingga 2024, pembangunan pipa tersebut baru sampai Batang, Jawa Tengah. “Jika pembangunan pipa Cisem tidak terlambat, semestinya sudah tidak ada isu kelebihan di timur dan kekurangan di barat,” katanya pada Kamis, 2 Januari 2025. 

Dwi mengatakan, gara-gara proyek pipa gas Cisem terlambat, produksi lapangan gas HMCL dan JTB tidak optimal karena penyerapannya kurang. Konsumen terbesar berada di Jawa bagian barat, tapi belum ada pipa transmisi yang bisa membawa gas itu dari lapangan produksi di Jawa Timur. 

Pipa gas Cisem tahap I Semarang-Batang beroperasi sejak Juli 2024. Pipa sepanjang 62 kilometer tersebut menyuplai gas bumi untuk Kawasan Industri Kendal, Kawasan Industri Terpadu Batang, serta kawasan industri lain. Proyek yang dibiayai anggaran negara ini dikelola Lembaga Minyak dan Gas Bumi serta PT Pertamina Gas, anak usaha PGN. Setelah pipa ini beroperasi, penyerapan gas di Jawa Tengah naik dari 48 BBTUD menjadi 70 BBTUD.

Kawasan Industri Terpadu Batang yang mendapat suplai gas bumi dari Pipa Cisem tahap 1 Semarang-Batang. https://www.ekon.go.id/

Selain mengoperasikan pipa Cisem, pemerintah akan membangun pipa Dumai-Sei Mangkei sepanjang 400 kilometer mulai tahun ini. Jika proyek selesai tepat waktu pada 2027, pipa ini dapat menyalurkan gas dari Blok South Andaman (lepas pantai Aceh) ke kawasan industri di Dumai, Riau; dan Sei Mangkei, Sumatera Utara. Pipa ini bahkan bisa membawa gas dari Blok South Andaman ke Jawa. Blok South Andaman menjadi sumber gas tumpuan di Sumatera setelah Mubadala Energi selaku kontraktornya mengumumkan penemuan volume gas awal 6 triliun kaki kubik (TCF) pada 2024.

•••

SELAIN kurangnya infrastruktur, masalah dalam penyaluran gas adalah soal harga. Untuk menjaga daya saing industri dalam negeri, pemerintah telah menetapkan harga khusus atau HGBT untuk enam sektor industri dan pembangkit listrik. Yang terbaru, Kementerian Perindustrian mengusulkan tambahan industri penerima gas dengan harga khusus menjadi 15 sektor. Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza dalam rapat kerja dengan Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat, yang antara lain membidangi energi, pada awal Desember 2024 menyatakan penambahan penerima harga khusus gas bertujuan mendorong daya saing industri di pasar ekspor dan investasi.

Hingga triwulan III 2024, realisasi penyerapan HGBT untuk industri mencapai 87,2 MMBTU atau 80 persen dari alokasi 109,503 MMBTU. Pelaku industri yang mendapat kuota HGBT cukup besar antara lain PT Asahimas Chemical sebanyak 7,54 BBTUD, PT Indorama Ventures Indonesia (5,23 BBTUD), PT Asia Pacific Fibers (7 BBTUD), dan PT Chandra Asri Petrochemical (11 BBTUD). 

Persoalannya, pemerintah harus mengatur keseimbangan antara harga gas yang terjangkau oleh konsumen dengan biaya operasi para kontraktor pengelola lapangan gas. Walhasil, realisasi tambahan penerima harga gas khusus masih perlu waktu.

Pemerintah pun bergerak membantu Perusahaan Gas Negara mencari pasokan gas bumi tambahan setelah mengetahui produksi Blok Corridor akan menyusut drastis mulai 2025. Salah satu incaran pemerintah adalah alokasi gas yang selama ini diekspor ke Singapura. Sumber gas terbesar yang diekspor ke Singapura berasal dari West Natuna Sea, Tuna (Natuna Timur), dan Sumatera daratan. 

Menurut Dwi Soetjipto, pemerintah ingin mengalihkan pasokan gas dari Natuna ke Singapura. Dengan demikian, gas dari sejumlah lapangan di Sumatera bisa dialihkan ke Jawa bagian barat. Apalagi selama ini produksi gas di Natuna belum optimal karena tidak semua terserap pelanggan. “Ada 100 MMSCFD yang bisa dioptimalkan di Natuna, tapi harus ada pembicaraan lagi dengan pembeli gas di Singapura," tuturnya.

Kilang gas Tangguh Train 3 di Lapangan Gas Tangguh, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, 24 November 2023. Antara/Galih Pradipta

Pemerintah, kata Dwi, bisa menyalurkan gas alam cair untuk Jawa bagian barat apabila pasokan dari lapangan di Sumatera masih kurang. Menurut dia, kilang LNG Tangguh Train 3 akan berproduksi optimal mulai tahun ini. Dengan demikian, ada banyak stok LNG yang bisa dibeli PGN untuk mengatasi penurunan jumlah pasokan gas alam dari Blok Corridor. Persoalannya, harga LNG lebih mahal dibanding gas alam. “Yang penting industri tetap bisa beroperasi dan mendapat profit, investasi sektor hulu minyak dan gas juga tetap jalan,” ujarnya. 

Sekretaris Perusahaan PGN Fajriyah Usman mengatakan harga menjadi persoalan ketika akan menambah pasokan dari LNG. Jika harga gas pipa berkisar US$ 10-11 per MMBTU, harga gas dari hasil regasifikasi LNG bisa mencapai US$ 16-17 per MMBTU. “Kami memperkirakan tantangan ketersediaan pasokan gas pipa akan terjadi pada 2025 sehingga sangat memungkinkan pasokan gas dari regasifikasi meningkat untuk memenuhi kebutuhan industri,” katanya.

Ghoida Rahmah berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Seret Pasokan di Lumbung Gas

Khairul Anam

Khairul Anam

Redaktur ekonomi Majalah Tempo. Meliput isu ekonomi dan bisnis sejak 2013. Mengikuti program “Money Trail Training” yang diselenggarakan Finance Uncovered, Free Press Unlimited, Journalismfund.eu di Jakarta pada 2019. Alumni Universitas Negeri Yogyakarta.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus