Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Harga minyak itu bagaimana

Pertemuan menteri Opec di Abu Dhabi, membahas soal diferensial rumusan harga minyak & persiapan konperensi di lagos atau jenewa menjelang akhir tahun. arab saudi ingin mempertahankan harga patokan. (eb)

25 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA Barat pasti mengikuti dengan seksama pertemuan empat menteri OPEC di Abu Dhabi. Ditunjuk sebagai panitia pengamat (monitoring) harga minyak, mereka adalah Subroto dari Indonesia, Humberto Calderon Berti dari Venezuela, Belkacem Nabi dari Aljazair, dan tuan rumah Mana Said Al-Otaiba. Selama 2 hari pekan ini panitia itu menguji berbagai model diferensial yang sebelumnya (awal September) disiapkan oleh kelompok ahli OPEC di Wina. Tapi selain berbincang-bincang soal diferensial rumusan harga minyak mentah berdasarkan perbedaan mutu dan lokasi geografis ke tempat pemasaran keempatnya konon memikirkan pula suatu "langkah politik" sebagai bekal konperensi tingkat menteri lengkap, di Lagos atau Jenewa, menjelang akhir tahun. Seusai bertemu di Abu Dhabi, menurut rencana panitia pengamat itu dcngan pesawat khusus Menteri Perminyakan Uni Emirat Arab Al-Otaiba akan terbang ke Teheran, dan Tripoli. Soal "langkah politik" memang berkaitan dengan Iran, dan Libya, dua anggota "sayap keras" yang cenderung tidak mematuhi keputusan OPEC, baik dalam soal harga patokan maupun kuota produksi. Main "banting harga" oleh kedua negeri itu, telah menyudutkan Arab Saudi, yang kini hanya mcmproduksi sekitar 5,5 juta barrel sehari. tapi ternyata memompa sekitar dua kali jumlah itu, dan produksi Iran yang setingkat dengan jenis Arabian Light Crude (ALC)--yang digunakan sebagai harga patokan minyak OPEC US$ 3 per barrel--dikontrakkan kepada pembeli di Jepang dengan harga US$ 30. Begitu pula Libya, walaupun mendapat kuota 750.000 barrel sehari, belakangan ini memproduksikan dua kali lebih banyak, dan memasang diferensial hanya US$ 1,50 per barrel di atas harga patokan ALC. Tindakan Libya ini oleh Arab Saudi dirasakan telah merusak pasaran minyaknya. Sheik Zaki Yamani ingin mempertahankan harga patokan US$ 34 itu. Menteri Perminyakan Arab Saudi itu dalam suatu seminar di Oxford University, London, baru-baru ini, menghimbau rekan-rekannya agar bisa mematuhi kuota produksi. Selama ini glut (kelebihan minyak) di pasar internasional membuat harganya merosot. Pasaran minyak spot (tunai) pekan lalu bergerak naik dari skltar US. 30,90 menjadi US$ 32,50 per barrel untuk jenis ALC. Tapi kalau anggota seperti Iran dan Libya masih berjalan sendiri tanpa mempedulikan OPEC, harga baik itu diduga akan terhempas kembali. Hasil kerja tim monitoring itu tentu masih ditunggu, apakah bisa meyakinkan Iran dan Libya. Bagi Indonesia, yang sedang didesak oleh para pembelinya di Jepang, jalan keluarnya juga akan tergantung pada hasil kerja tim itu. Para pembeli di Jepang amat terpukul oleh devaluasi nilai mata-uang yen terhadap dollar AS. Maka mereka mengusulkan penurunan harga diferensial beberapa jenis minyak Indonesia, hingga lebih mendekati yang dipasang anggota OPEC di Timur Tengah, dan Afrika. Konon pihak Pertamina pernah diminta untuk menurunkan harga Minas yang kini US$ 35 per barrel, dengan 10 sampai 20 sen dollar. Dan jenis Cinta yang "setengah manis" (middle grade) mereka minta supaya dikura lgi dengan US$ 1 dari harga ekspor Indonesia (sekarang US$ 34). Juga disebut-sebut penurunan harga jenis Attaka dan Bekapai, yang tergolong lebih ringan, dengan US$ 2 dari harga ekspor yang US$ 37,50 per barrel. SEJAK awal Agustus, Indonesia meminta pengertian Jepang untuk te tap membeli dengan harga sekarang. Sikap Indonesia yang tegas itu bisa diduga mendapat pujian dari banyak rekannya di OPEC, terutama Sheik Yamani. Tapi beberapa pengamat di Jakarta khawatir kalau sikap yang "terpuji" itu akan memukul diri sendiri. Mereka beranggapan, Indonesia perlu memilih salah satu alternatif: sedikit menurunkan harganya atau menambah produksinya. "Toh beberapa angga OPEC yang lain sudah main dua -- menurunkan harga sembari menaikkan produksi," kata sebuah sumber. Sulitnya, kepastian untuk menambah produksi dengan menurunkan harga itu, tak dengan sendirinya akan berlaku buat Indonesia. Jepang, sebagai pembeli paling besar--sekitar 14% kebutuhan minyak Jepang datang dari Indonesia sama sekali tidak tertarik untuk membeli lebih banyak minyak yang di mana-mana turun harganya. Sebab, kata mereka, keputusan itu akan semakin memukul penghasilan yang diperoleh dari minyak Indonesia, dibandingkan dengan beberapa anggota OPEC yang lain, narnpaknya punya dilema: tak bisa menjual lebih banyak produksi minyaknya sekalipun harga sedikit turun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus