DUNIA Barat pasti mengikuti dengan seksama pertemuan empat
menteri OPEC di Abu Dhabi. Ditunjuk sebagai panitia pengamat
(monitoring) harga minyak, mereka adalah Subroto dari Indonesia,
Humberto Calderon Berti dari Venezuela, Belkacem Nabi dari
Aljazair, dan tuan rumah Mana Said Al-Otaiba. Selama 2 hari
pekan ini panitia itu menguji berbagai model diferensial yang
sebelumnya (awal September) disiapkan oleh kelompok ahli OPEC di
Wina.
Tapi selain berbincang-bincang soal diferensial rumusan harga
minyak mentah berdasarkan perbedaan mutu dan lokasi geografis ke
tempat pemasaran keempatnya konon memikirkan pula suatu "langkah
politik" sebagai bekal konperensi tingkat menteri lengkap, di
Lagos atau Jenewa, menjelang akhir tahun. Seusai bertemu di Abu
Dhabi, menurut rencana panitia pengamat itu dcngan pesawat
khusus Menteri Perminyakan Uni Emirat Arab Al-Otaiba akan
terbang ke Teheran, dan Tripoli.
Soal "langkah politik" memang berkaitan dengan Iran, dan Libya,
dua anggota "sayap keras" yang cenderung tidak mematuhi
keputusan OPEC, baik dalam soal harga patokan maupun kuota
produksi. Main "banting harga" oleh kedua negeri itu, telah
menyudutkan Arab Saudi, yang kini hanya mcmproduksi sekitar 5,5
juta barrel sehari. tapi ternyata memompa sekitar dua kali
jumlah itu, dan produksi Iran yang setingkat dengan jenis
Arabian Light Crude (ALC)--yang digunakan sebagai harga patokan
minyak OPEC US$ 3 per barrel--dikontrakkan kepada pembeli di
Jepang dengan harga US$ 30. Begitu pula Libya, walaupun mendapat
kuota 750.000 barrel sehari, belakangan ini memproduksikan dua
kali lebih banyak, dan memasang diferensial hanya US$ 1,50 per
barrel di atas harga patokan ALC. Tindakan Libya ini oleh Arab
Saudi dirasakan telah merusak pasaran minyaknya.
Sheik Zaki Yamani ingin mempertahankan harga patokan US$ 34 itu.
Menteri Perminyakan Arab Saudi itu dalam suatu seminar di Oxford
University, London, baru-baru ini, menghimbau rekan-rekannya
agar bisa mematuhi kuota produksi. Selama ini glut (kelebihan
minyak) di pasar internasional membuat harganya merosot.
Pasaran minyak spot (tunai) pekan lalu bergerak naik dari
skltar US. 30,90 menjadi US$ 32,50 per barrel untuk jenis ALC.
Tapi kalau anggota seperti Iran dan Libya masih berjalan sendiri
tanpa mempedulikan OPEC, harga baik itu diduga akan terhempas
kembali.
Hasil kerja tim monitoring itu tentu masih ditunggu, apakah
bisa meyakinkan Iran dan Libya. Bagi Indonesia, yang sedang
didesak oleh para pembelinya di Jepang, jalan keluarnya juga
akan tergantung pada hasil kerja tim itu.
Para pembeli di Jepang amat terpukul oleh devaluasi nilai
mata-uang yen terhadap dollar AS. Maka mereka mengusulkan
penurunan harga diferensial beberapa jenis minyak Indonesia,
hingga lebih mendekati yang dipasang anggota OPEC di Timur
Tengah, dan Afrika. Konon pihak Pertamina pernah diminta untuk
menurunkan harga Minas yang kini US$ 35 per barrel, dengan 10
sampai 20 sen dollar. Dan jenis Cinta yang "setengah manis"
(middle grade) mereka minta supaya dikura lgi dengan US$ 1 dari
harga ekspor Indonesia (sekarang US$ 34). Juga disebut-sebut
penurunan harga jenis Attaka dan Bekapai, yang tergolong lebih
ringan, dengan US$ 2 dari harga ekspor yang US$ 37,50 per
barrel.
SEJAK awal Agustus, Indonesia meminta pengertian Jepang untuk
te tap membeli dengan harga sekarang. Sikap Indonesia yang
tegas itu bisa diduga mendapat pujian dari banyak rekannya di
OPEC, terutama Sheik Yamani. Tapi beberapa pengamat di Jakarta
khawatir kalau sikap yang "terpuji" itu akan memukul diri
sendiri. Mereka beranggapan, Indonesia perlu memilih salah satu
alternatif: sedikit menurunkan harganya atau menambah
produksinya. "Toh beberapa angga OPEC yang lain sudah main dua
-- menurunkan harga sembari menaikkan produksi," kata sebuah
sumber.
Sulitnya, kepastian untuk menambah produksi dengan menurunkan
harga itu, tak dengan sendirinya akan berlaku buat Indonesia.
Jepang, sebagai pembeli paling besar--sekitar 14% kebutuhan
minyak Jepang datang dari Indonesia sama sekali tidak tertarik
untuk membeli lebih banyak minyak yang di mana-mana turun
harganya. Sebab, kata mereka, keputusan itu akan semakin memukul
penghasilan yang diperoleh dari minyak Indonesia, dibandingkan
dengan beberapa anggota OPEC yang lain, narnpaknya punya dilema:
tak bisa menjual lebih banyak produksi minyaknya sekalipun harga
sedikit turun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini