MINGGU ketiga September 1982 kembali menyaksikan peristiwa usang
dalam setiap proses revolusioner: seorang arsitek revolusi
dimakan ciptaannya sendiri. Sadek Ghotbzadeh mati di ujung
peluru regu tembak, menjalani hukuman mati di penjara Evin.
Kematian tragis yang bdak ditangisi oleh siapa pun, bahkan juga
tidak oleh sejarah, karena ternyata sejarah tidak berusaha
menghentikan percobaan melaksanakan revolusi di bagian-bagian
lain dunia ini.
Banyak orang membenci Ghotbzadeh, tetapi ada pula yang
memujanya. Banyak pendapat bersimpang-siur dikemukakan tentang
dirinya. Satu hal yang tidak dapat dibantah, ia memegang peran
penting dalam babak permukaan revolusi 'Islam' di Iran. Walaupun
tetap saja ada perbedaan pendapat mengenai fungsi yang
dipegangnya dalam revolusi itu.
Ghotbzadeh, di tahun 1971, setelah mengembara dan diusir kian ke
mari, akhirnya menemui Ayatullah Khomeini di tempat
pembuangannya di Nejef, Irak. Dia kemudian membawa Khomeini ke
tempat pengasingan baru, setelah diusir dari Irak. Mula-mula ke
Turki, kemudian ke Prancis.
Mungkin juga ia menjadi penghubung dengan kekuatan sebenarnya
yang bergerak di bawah arus waktu itu, yaitu para mullah yang
membentuk jaringan kontak dengan kaum pedagang kecil (bazari)
dan para aktivis gerakan Islam yang nonmullah, seperti Ali
Rajai.
Kalaupun benar Ghotbzadeh menjadi penghubung dengan kelompok
terakhir, jelas sekali bahwa kontaknya itu hanyalah persekutuan
sesaat (mariage of convenience) belaka. Ternyata masing-masing
memiliki penafsirannya sendiri, yang saling berbeda.
Para mullah menghendaki negara theokratis dengan pelaksanaan
hukum agama yang legal-formalistik secara tuntas 'kerajaan
surga' yang ingin ditegakkan di muka bumi. Ghotbzadeh, seperti
ternyata kemudian, tidak berpandangan seperti itu. Kita tidak
tahu setepatnya apa yang diinginkannya, tetapi jelas bahwa ia
berbeda pendapat dengan para mullah itu.
Mungkin ia sependapat dengan mereka yang menolak otoritas
terlalu mutlak di tangan para mullah, apalagi yang begitu
militan seperti pimpinan Partai Republik Islam (PRI). Namun
jelas bahwa tidak sama pemecahan yang diambilnya menghadapi PRI,
bila dibandingkan sikap Bani Sadr.
Bani Sadr melarikan diri ke tempat pembuangan di Prancis,
bersama pemimpin gerilyawan Mujahedin-e-Khlaq, Massoud Rajavi.
Ia menghabiskan waktu dengan membuat pernyataan dan penilaian
keadaan bagi mereka yang masih mau mendengarkan, menunggu saat
kritis di Iran mencapai btik didih, untuk segera 'dipimpin'
dengan pengendalianjarakjauh pada mulanya, dan kembali ke tanah
air di saat yang tepat.
Ghotbzadeh tidak memiliki optimisme (atau justru utopia) sebesar
itu. Tetapi juga ia tidak memiliki kesabaran untuk berdiam diri
saja melihat 'penggusuran ummat' oleh kelompok mullah militan.
Kekuasaan yang begitu mutlak bagi Ghotbzadeh adalah trauma,
sesuatu yang secara prinsipiil harus ditentang, tidak peduli itu
berada di tangan Syah Iran yang sekuler maupun para mullah yang
theokratis.
Kalau dilihat dari sudut pengamatan ini, jadi jelaslah mengapa
Ghotbadell lalu terlibat dalam apa yang olell pihak penguasa
Iran sekarang dinamai 'percobaan pengulingan kekuasaan'.
Kenyataan terlibatnya Ghotbzadeh dalam upaya makar seperti itu
tidaklah mengherankan, dan tidak menarik. Yang menarik adalah
melihat 'teman seperjuangan'nya dalam kerja tersebut: Ayatullah
Kazem Shariat-madari, ulama terkemuka yang sangat dihormati
rakyat dan menurut berita jauh lebih menguasai ilmu-ilmu agama
daripada Khomeini sendiri. Tetapi ia lemah dalam berpolitik,
terutama tidak berusaha mengorganisasikan kekuatan
'keagamaan'nya sendiri.
Kalau dilihat dari titik tolak pandangan Shariat-madari sudah
dapat diterka apa corak kerja yang dianggap 'subversif' oleh
pemerintah Iran, yang dilakukan Ghotbzadeh itu. Shariat-madari
adalah orang yang berpendirian moderat dalam segala soal: agama,
politik, kebudayaan (menyangkut perbedaan antaretnis, bahasa dan
agama) dan kemasyarakatan. Melawan Syah Iran, ia moderat.
Berpolitik setelah revolusi menang, juga moderat: menolak
konfrontasi dengan suku bangsa Kurdi, menolak persekusi terhadap
kelompok agama Bahaisme, menunjukkan sifat menolong dan
melindungi terhadap para pemimpin revolusi yang akhirnya
digulung habis oleh PRI. Bahkan moderat juga dalam melawan
tekanan pemerintahan Khomeini saat ini, yang melucutinya dari
semua jabatan keagamaan.
Orang yang seperti ini adalah mereka yang sudah berada pada
tingkat kesadaran tertinggi tentang kekuasaan, bahwa kekuasaan
tidak dapat ditaklukkan oleh antikekuasaan, bahwa struktur yang
menindas tidak dapat dikalahkan oleh antistruktur, bagaimanapun
idealnya, karena pada akhirnya antistruktur itu akan melakukan
penindasan juga kalau sudah berkuasa. Kesadaran seorang tua
renta yang meyakini, bahwa hanya dengan sikap moral sajalah
kecenderungan buruk manusia, baik yang struktural maupun
kultural, dapat ditaklukkan pellindasan dan kebobrokan.
Bahwa Ghotbzadeh lalu 'bersekongkol' dengan orang yang
berkeyakinan seperti itu, menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud
menggunakan kekerasan dalam arti langsung. Mungkin ia ingin
menggerakkan massa untuk menolak hadirnya penindasan atas nama
Islam, yang sedang terjadi kini di negerinya itu, karena rasanya
hanya sebatas ini sajalah Shariatmadari dapat diajak
'berkiprah'. Serangkaian diskusi, sejumlah ceramah, ditujukan
kepada kerja 'menggerakkan kesadaran massa'. Bahwa itu pun tidak
dapat ditoleransi oleh Khomeini, adalah sesuatu yang wajar,
karena ia tahu bahwa 'senjata' itu pun adalah senjata utamanya
sewaktu melawan Syah Iran dahulu.
Kematian Ghotbzadeh yang dihukum mati karena kerja seperti itu,
bukanlah sesuatu yang menimbulkan iba benar walaupun patut
disayangkan. Anggap saja sudah biasa 'arsitek revolusi' dimakan
makhluk ciptaannya itu. Yang harus ditangisi adalah kematian
perlawanan moral di tangan Shariat-madari, karena pilihannya
lalu hanyalah perlawanan bersenjata seperti yang dicoba
Mujahedin-e- Khalg.
Kematian Ghotbzadeh, dan dilucutinya Shariat-madari dari semua
jabatan keagamaan, adalah kemalangan Iran yang harus dilanda
revolusi sekali lagi, entah kapan. Atau, mungkinkah kita terlalu
pagi memberikan 'hukuman mati' kepada gerakan moral
Shariat-madari, hanya semata-mata karena ia dilucuti seperti
sekarang? Bukankah mungkin juga justru'perlucutan'nya itu yang
justru menjadi titik tolak kebangkitan baru di Iran? Sejarah
yang akan menjawab!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini