Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Hari Buruh Internasional yang diperingati setiap 1 Mei berawal dari pergerakan orang Amerika di tahun 1800-an. Mereka melakukan protes terhadap waktu kerja mereka yang begitu panjang. Ketika itu, rata-rata orang Amerika bekerja 12 jam sehari dan tujuh hari seminggu untuk dapat hidup.
Baca: Hari Buruh Sedunia, Ini 6 Fakta May Day
Pada 1 Mei 1886, lebih dari 300 ribu pekerja di 13 ribu tempat bisnis keluar dari pekerjaan mereka dan melakukan aksi mogok kerja. Pada hari-hari berikutnya, lebih banyak pekerja bergabung dan jumlah pemogokan meningkat menjadi hampir 100 ribu.
Tuntutan mereka baru dipenuhi beberapa dekade kemudian. Pada 1916 melalui UU Adamson, jam kerja ditetapkan delapan jam per hari. Aturan ini kini diterapkan di berbagai belahan dunia. Banyak negara yang memiliki waktu kerja delapan jam sehari dan lima hari sepekan bagi karyawannya. Tapi, ada kenyataannya, banyak karyawan yang terpaksa lembur demi menyelesaikan pekerjaan lebih banyak dan mendapatkan penghasilan lebih.
Apakah jam lembur ini bisa meningkatkan laba perusahaan atau hanya membuat karyawan lebih lelah? Sebuah penelitian mengatakan jam kerja yang panjang hanya membuat karyawan lebih lelah.
Hampir setiap perusahaan di Swedia, termasuk Toyota, akhirnya memutuskan untuk memangkas jam kerja karyawannya menjadi enam jam per hari. Waktu kerja yang lebih singkat ini diyakini lebih mendorong produktivitas karyawan.
Toyota Services di Gothenburg yang telah menerapkan jam kerja ini sejak belasan tahun lalu melaporkan mendapat laba lebih baik dan pekerja yang lebih bahagia.
Jam kerja yang lebih pendek membuat karyawan memiliki banyak waktu untuk melakukan kegiatan di luar pekerjaan. Kualitas hidup karyawan meningkat, istirahat cukup, dan lebih bahagia. Sebuah studi di Universitas Warwick membenarkan bahwa kebahagiaan menyebabkan lonjakan 12 persen dalam produktivitas, sementara pekerja yang tidak bahagia memberikan 10 persen lebih tidak produktif.
Penelitian itu juga menunjukkan bahwa bekerja dalam kondisi tubuh lelah memperbesar potensi kesalahan. Kesalahan-kesalahan ini pasti dapat berdampak pada kinerja perusahaan.
Menurut sebuah artikel di Salon, seperti dikutip Huffington Post, pada 1914, pendiri perusahaan otomotif raksasa Ford Motor Company, Henry Ford, mengambil langkah radikal menggandakan upah pekerjanya, dan memotong shift di pabrik Ford dari sembilan jam menjadi delapan jam.
Keputusan ini mendapat banyak kritikan. Tapi lima tahun berikutnya para pesaingnya mengadopsi model yang sama setelah melihat produksi Ford melambung. Pada saat itulah banyak perusahaan menyadari, jika ingin membuat pekerja sehat, produktif, dan efisien, maka sebaiknya bekerja tidak lebih dari 40 jam seminggu.
Baca: May Day 2018, Kenapa Hari Buruh Menjadi Hari Libur?
HUFFINGTON POST | CNN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini