Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Kantor Kepresidenan Hasan Nasbi sempat mengeluarkan pernyataan terkait dengan polemik revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI. Melalui cuitannya di media sosial X, Hasan menyinggung soal adanya provokasi dan narasi bohong tentang RUU TNI dari segelintir orang. Ia mempertanyakan permohonan maaf. "Setelah konpers di DPR barusan, apakah berlebihan jika kita meminta org2 yang ngaku sbg intelektual, influencer, serta para aktifis, yang sudah menyebarkan provokasi dan narasi bohong soal RUU TNI agar meminta maaf? Kalau mereka ga minta maaf, sebaiknya kita sebut sebagai apa?" demikian yang disampaikan Hasan melalui akun @NasbiHasan pada Senin, 17 Maret 2025, pukul 11.34.
Hasan kemudian menghapus unggahan tersebut. Namun, tidak sedikit pengguna X yang mengabadikan postingan Hasan melalui screenshoot. Sejumlah warganet juga mempertanyakan soal postingan yang dihapus itu.
Salah satu pengguna X yang mengabadikan unggahan Hasan adalah @barengwarga. Akun itu kemudian menggunggah screenshoot dengan keterangan "Tweenya dihapus, untung udah screenshot. Bukti kepala komunikasi kepresidenan nuduh rakyat bikin narasi bohong."
Tempo berupaya menanyakan maksud pernyataan sekaligus alasan Hasan Nasbi menghapus postingannya di X. Namun, hingga laporan ini ditulis, Hasan tidak membalas pertanyaan yang disampaikan Tempo melalui WhatsApp. Pria yang menjadi Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming pada Pilpres 2024 itu juga tidak mengangkat telepon Tempo.
Namun, Hasan sempat merespons warganet yang menyoroti keputusannya menghapus pernyataannya di X. Ia menjawab cuitan akun @yantozkts yang mengatakan "Sbnrnya Pak Hasan @NasbiHasan ini org bagus. Cmn kecebur aja di kelompok yg parah, jdnya parah jg jadinya."
Dalam jawabannya yang ia unggah pada Senin, 17 Maret 2025, pukul 20.42, Hasan menyampaikan, "Engga kecebur. Ini pilihan sadar. Karena pesannya sudah sampai ke yang bersangkutan, jadi saya rasa cukup."
Sebelumnya, terkait dengan polemik RUU TNI, Hasan mengeklaim pasal yang dicurigai organisasi masyarakat sipil dalam proses pembahasan revisi UU TNI tidak terbukti. "Apa yang disangkakan teman-teman NGO (non governmental organization) tidak ada. Pasal yang dicurigai tidak ada. Ayat yang dicurigai tidak ada. Terbukti tidak ada," kata dia dalam kegiatan buka bersama wartawan di Jakarta, Senin, 17 Maret 2025.
Adapuni koalisi masyarakat sipil sebelumnya menginterupsi rapat tertutup DPR membahas revisi UU TNI di Hotel Fairmont, Jakarta, Sabtu, 15 Maret 2025. Koalisi curiga pasal bahaya diloloskan dalam pembahasan tertutup itu.
Hasan lalu mengatakan, pasal itu berkaitan dengan penambahan pos jabatan sipil untuk prajurit aktif. Menurut Hasan, penambahan pasal berdasarkan pengalaman, kemampuan, dan ruang kerja prajurit TNI. Apalagi, kata Hasan, sebetulnya sudah ada prajurit yang menempati jabatan yang ditambahkan itu. "Sebelumnya sudah ada. Misal ada Jampidmil (Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Militer). Lalu ada Kejagung. Itu sesuai pengalaman mereka," kata dia.
RUU TNI mendapat penolakan dari masyarakat sipil. Koalisi Masyarakat Sipil kekhawatiran terhadap substansi revisi UU TNI yang berpotensi melemahkan profesionalisme militer. Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, ada potensi pengembalian dwifungsi TNI akibat perluasan tentara aktif menjabat di jabatan sipil.
Koalisi Masyarakat Sipil juga membuat petisi menolak kembalinya dwifungsi melalui pembahasan revisi UU TNI. Petisi ini dibuat melalui situs Change.org pada 16 Maret 2025. Hingga Selasa, 18 Maret 2025 pukul 00.30 dini hari, petisi tersebut telah ditanda tangani oleh 11.709 orang.
Penolakan terhadap RUU TNI juga datang dari Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA). Koordinator KIKA Satria Unggul Wicaksana menilai evisi UU TNI yang sedang bergulir di DPR bersifat inkonstitusional, melanggar hak asasi manusia, hingga kebebasan akademik. “Ketika impunitas yang dimiliki oleh TNI ini kemudian semakin menguat, ini juga dampaknya sangat luar biasa terhadap kehidupan kampus,” kata Satria dalam pernyataan bersama para dosen yang tayang di kanal YouTube KIKA pada Ahad, 16 Maret 2025.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surabaya itu khawatir TNI nantinya memiliki kekuatan untuk memberangus kebebasan akademik. Salah satu kecemasan yang ia sebutkan adalah TNI dapat melakukan sweeping atau operasi penertiban atas buku-buku yang bertentangan dengan ideologi Pancasila. “Atau juga dapat membubarkan diskusi di kampus jika dianggap bertentangan dengan prinsip keamanan nasional,” katanya.
Selain kebebasan akademik, keempat organisasi tersebut juga berpandangan revisi UU TNI melemahkan profesionalisme militer serta berisiko mengembalikan dwifungsi militer seperti di masa Orde Baru.
Hendrik Yaputra, Novali Panji, dan Nabiila Azzahra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Sri Mulyani: Realisasi Pencairan THR ASN Pusat hingga Senin Sore Mencapai Rp 9,36 Triliun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini