MAJALAH Horison terbit kembali dari kantor lamanya di Balai Budaya, Jalan Theresia, Jakarta Pusat. Peluncuran edisi istimewa ini dilakukan Mochtar Lubis dan Hamsad Rangkuti dengan mengundang puluhan wartawan dan seniman, Selasa pekan lalu. Mochtar Lubis bersyukur bahwa Horison tetap diasuh Yayasan Indonesia. ''Kerja sama Yayasan Indonesia dengan Grafiti Pers sudah selesai,'' kata Mochtar Lubis. Edisi ini istimewa karena terbit dua nomor sekaligus, yakni bulan Juli dan Agustus. Itu artinya mereka menganggap tidak ada Horison edisi Juli yang diterbitkan oleh Goenawan Mohamad dkk. Bahkan dalam Horison lama berwajah baru ini, Mochtar Lubis lewat Catatan Kebudayaan merasa perlu menarik Catatan Kebudayaan pada edisi Juni, yang menyambut Horison dikelola Grafiti Pers. Penyair Taufiq Ismail-lah, anggota Yayasan, yang bersama Mochtar memutuskan membatalkan bantuan dari Grafiti Pers, yang memobilisasi dana. Dicetak 4.000 eksemplar di atas kertas HVS, dengan tata letak yang cukup semarak, Horison mendapat iklan dua halaman warna dan satu halaman hitam putih. Dari pemasangan iklan, kata Hamsad, Horison mendapat Rp 3 juta. Tinggal menambahkan Rp 1 juta lagi untuk menutup biaya percetakan. Pemasang iklan adalah PT Global Sarana Media Nusantara, yang juga menawarkan pemasaran 1.000 Horison lewat toko cuci cetak Kodak dan mengurus para pelanggan baru Horison. Sisanya, 2.500 eksemplar, disalurkan lewat PT Gramedia, dan 500 eksemplar lagi untuk pengelola. ''Kerja sama dengan Global hanya bersifat bantuan, bukan dalam ikatan resmi,'' kata Hamsad, pemimpin redaksi majalah budaya ini. Iklan yang tampil adalah iklan obat dan sinetron Saur Sepuh. Terbitnya kembali Horison dari Balai Budaya memicu pecahnya Yayasan Indonesia. Empat orang anggota Yayasan, yakni Ali Audah, Arief Budiman, Goenawan Mohamad, dan Umar Kayam, kabarnya sudah mengirim surat pengunduran diri dari Yayasan Indonesia. Keempat anggota yang namanya masih tercantum sebagai penyantun-penasihat itu yakin bahwa kerja sama dengan Mochtar Lubis tidak bisa dijalin lagi. Mereka menyayangkan Yayasan Indonesia yang dibangun secara kolegial akhirnya hanya menjadi arena Ketua Yayasan sendiri. Pasalnya, suara mereka sebagai anggota tidak didengar Mochtar. Dua hari setelah Badan Pendiri Yayasan membatalkan kerja sama dengan Grafiti Pers, keempat orang itu ditambah Aristides Katoppo dan Jakob Oetama minta agar Yayasan bertemu lagi untuk meninjau keputusan rapat 14 Juli yang dianggap tidak demokratis. Mochtar bersikeras. ''Bahkan saya masih menulis surat pribadi, namun tetap tidak ada tanggapan,'' kata Arief. Apalagi, untuk menerbitkan edisi Juli-Agustus, Arief dan anggota Yayasan lainnya tidak pernah diajak berembuk atau sekadar diberi pemberitahuan. ''Saya mundur karena ternyata banyak sekali energi dan persahabatan yang dipertaruhkan. Lebih baik berjuang di luar saja,'' kata Arief. Bagi Ali Audah, ada dua hal yang membuat ia secara moral tidak bisa bertahan lagi di Yayasan, yaitu alasan pembatalan kerja sama yang dibuat-buat dan tidak ada niat membicarakan bersama suatu masalah. Aristides Katoppo sementara itu akan menulis surat pengunduran diri tersendiri. ''Karena tidak ada lagi demokrasi di Yayasan, saya juga mengundurkan diri,'' kata- nya. Sebagai orang yang ditunjuk Yayasan untuk berunding dengan Grafiti Pers, ia kecewa karena kerja sama yang dirintisnya kandas. Mundurnya lima anggota itu dianggap sepi oleh Mochtar. ''Terima kasih atas bantuan mereka selama ini,'' katanya. Terhadap ini Goenawan Mohamad mengatakan, ''Kini Mochtar Lubis bisa lega: ia sepenuhnya menguasai Yayasan Indonesia. Dia tak berani menghadapi mayoritas, bahkan dia tak mengundang kami ke Balai Budaya ke acara peluncuran Horison itu.'' Liston P. Siregar dan Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini