Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Hutang Itu Terasa Berat

Karena penyimpangan dan penyelewengan pengelolaan, toserba Sarinah dililit utang. Pimpinan baru berusaha memperbaikinya. Bunga bank diusahakan di hapus, tapi belum mendapat keringanan.(eb)

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENAPA Sarinah? Salah arah ataukah salah asuh? Sejak Ketua Opstib Pusat Laksamana Sudomo mengungkapkan kasus PT Department Store Indonesia Sarinah, Toserba yang oleh orang Jakarta disebut Pasar Gajah itu mendadak jadi ramai. Semakin genitkah dia? Bukan itu soalnya. Yang jelas di dekat tiang sebelah belakang dari gedung 14 tingkat itu sudah ditambah dengan sebuah tiang penopang, bagaikan seorang nenek yang bertongkat. "Memang keadaan fisiknya sudah tua," kata seorang karyawan Sarinah. Ketuaan bangunan yang baru berusia 16 tahun itu juga kelihatan dalam sistim AC dan kabel-kabel listriknya. Tapi yang parah adalah keadaan administrasi keuangannya. Karena kacaunya administrasi tim Opstibpus dengan bantuan staf Menteri PAN dan tenaga akuntan, memerlukan 7 bulan untuk memeriksanya. Hasilnya, menurut Sudomo, "di dalam pengelolaan PT DSIS telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan." Antara lain penjualan kekayaan negara, barang dagangan eks impor dan pemalsuan neraca keuangan perusahaan. Itu terjadi di pusat maupun daerah seperti di Cabang Bandung, Semarang, Surabaya dan Malang. Keseluruhannya berjumlah lebih Rp 1,9 milyar. Kesemuanya itu terjadi ketika Sarinah berada di bawah pimpinan sementara (Caretaker) Mayjen J. Muskita kini Dubes RI untuk Jerman Barat. Namun Laksamana Sudomo mengatakan: "Walaupun penjualan kekayaan (aset) itu negara dirugikan tapi dari hasil pemeriksaan tidak dapat diketemukan adanya Pungli yang diterima caretaker." Ada pungli atau tidak, turunnya Keppres 74/1970 sesungguhnya bertujuan untuk menyelamatkan kekayaan negara yang tertanam dalam PT DSI Sarinah. Pejabat sementara diharuskan mengambil langkah-langkah yang perlu untuk kelancaran jalannya Sarinah, mempersiapkan rencana dan program menyeluruh. Baik mengenai fungsi maupun tentang struktur, personil dan prosedur (tata cara) kerja. Masih ada keanehan lainnya. Opstibpus menyebut Jakarta Theater dijual dalam bentuk kerangka beton pada 1970. Faktanya tahun 1967 sampai 1970 gedung itu sudah dipakai Sarinah untuk ruang percetakan dan foto studio. Alhasil bukan dalam bentuk kerangka tapi sudah berupa bangunan yang dijual hanya Rp 325 juta dengan cicilan 11 kali selama 2 tahun. Penjualan kekayaan negara ini terjadi Agustus 1971 dari PT DSIS kepada pemilik grup Casino Niac. Seperti halnya gedung utama Sarinah, Jakarta Theater dibiayai oleh pemerintah Kl dan Pampasan perang Jepang kepada rakyat Indonesia. Kemudian April 1973 kembali Caretaker melakukan penjualan kekayaan negara berupa tanah seluas 12.000 meter persegi terletak di Jalan MT Haryono (Tanah Boys Town) seharga Rp 75,1 juta. Atau Rp 6.240,30 per meternya. Padahal menurut Opstibpus, menurut Ditjen Agraria harga tanah di tempat itu pada tahun 1973/1974 adalah Rp 30.000 per meter persegi. Dengan demikian penjualan tanah Boys Town telah mengakibatkan negara dirugikan sebesar Rp 286 juta. Belum Mendapat Keringanan Hadisoenario Dir-Ut Sarinah yang baru mengakui "mengurus Sarinah saat ini sungguh berat." Walaupun begitu ia berusaha memperbaiki gambaran diri Sarinah. Dewasa ini tak kurang 691 karyawannya dengan jumlah gaji sebesar Rp 22 juta sebulan. Biaya listrik dan air yang ditanggungnya setiap bulan sekitar Rp 10 juta, sehingga total pengeluarannya tiap bulan menurut Hadi kurang lebih Rp 55 juta. Sedang omzet penjualan dan pendapatan sewa ruangan sebesar Rp 60 juta sebulan. "Jadi masih ada sisa pendapatan," katanya. Namun yang dirasa berat oleh pimpinan sekarang ini adalah hutang-hutang yang ditinggalkan pimpinan lama itu. Hutang pokoknya saja menurut Hadi sejumlah Rp 1 milyar, plus bunga mencapai Rp 2,6 milyar." Mampukah Sarinah melunasi hutang sebesar itu? "Untuk hutang pokok Rp 1 milyar, kami masih mampu melunasinya," ujar Hadi yang bukan orang baru di situ. "Sedang bunga bank sebesar sekitar Rp 1,6 milyar sedang diusahakannya untuk dihapuskan saja." Sebegitu jauh sampai saat ini dia belum mendapatkan keringanan itu. Bagaimana hasilnya masih perlu waktu. Yang jelas, kata Hadi, pemilik Jakarta Theater bersedia menambah kekurangan harga sesuai dengan perhitungan Opstib, sebesar Rp 800 juta. "Bagi klta uang Rp 800 juta itu cukup besar artinya, kan," katanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus