KENAPA Sarinah? Salah arah ataukah salah asuh? Sejak Ketua
Opstib Pusat Laksamana Sudomo mengungkapkan kasus PT Department
Store Indonesia Sarinah, Toserba yang oleh orang Jakarta disebut
Pasar Gajah itu mendadak jadi ramai. Semakin genitkah dia? Bukan
itu soalnya. Yang jelas di dekat tiang sebelah belakang dari
gedung 14 tingkat itu sudah ditambah dengan sebuah tiang
penopang, bagaikan seorang nenek yang bertongkat.
"Memang keadaan fisiknya sudah tua," kata seorang karyawan
Sarinah. Ketuaan bangunan yang baru berusia 16 tahun itu juga
kelihatan dalam sistim AC dan kabel-kabel listriknya. Tapi yang
parah adalah keadaan administrasi keuangannya. Karena kacaunya
administrasi tim Opstibpus dengan bantuan staf Menteri PAN dan
tenaga akuntan, memerlukan 7 bulan untuk memeriksanya.
Hasilnya, menurut Sudomo, "di dalam pengelolaan PT DSIS telah
terjadi penyimpangan dan penyelewengan." Antara lain penjualan
kekayaan negara, barang dagangan eks impor dan pemalsuan neraca
keuangan perusahaan. Itu terjadi di pusat maupun daerah seperti
di Cabang Bandung, Semarang, Surabaya dan Malang. Keseluruhannya
berjumlah lebih Rp 1,9 milyar.
Kesemuanya itu terjadi ketika Sarinah berada di bawah pimpinan
sementara (Caretaker) Mayjen J. Muskita kini Dubes RI untuk
Jerman Barat. Namun Laksamana Sudomo mengatakan: "Walaupun
penjualan kekayaan (aset) itu negara dirugikan tapi dari hasil
pemeriksaan tidak dapat diketemukan adanya Pungli yang diterima
caretaker."
Ada pungli atau tidak, turunnya Keppres 74/1970 sesungguhnya
bertujuan untuk menyelamatkan kekayaan negara yang tertanam
dalam PT DSI Sarinah. Pejabat sementara diharuskan mengambil
langkah-langkah yang perlu untuk kelancaran jalannya Sarinah,
mempersiapkan rencana dan program menyeluruh. Baik mengenai
fungsi maupun tentang struktur, personil dan prosedur (tata
cara) kerja.
Masih ada keanehan lainnya. Opstibpus menyebut Jakarta Theater
dijual dalam bentuk kerangka beton pada 1970. Faktanya tahun
1967 sampai 1970 gedung itu sudah dipakai Sarinah untuk ruang
percetakan dan foto studio.
Alhasil bukan dalam bentuk kerangka tapi sudah berupa bangunan
yang dijual hanya Rp 325 juta dengan cicilan 11 kali selama 2
tahun. Penjualan kekayaan negara ini terjadi Agustus 1971 dari
PT DSIS kepada pemilik grup Casino Niac. Seperti halnya gedung
utama Sarinah, Jakarta Theater dibiayai oleh pemerintah Kl dan
Pampasan perang Jepang kepada rakyat Indonesia.
Kemudian April 1973 kembali Caretaker melakukan penjualan
kekayaan negara berupa tanah seluas 12.000 meter persegi
terletak di Jalan MT Haryono (Tanah Boys Town) seharga Rp 75,1
juta. Atau Rp 6.240,30 per meternya. Padahal menurut Opstibpus,
menurut Ditjen Agraria harga tanah di tempat itu pada tahun
1973/1974 adalah Rp 30.000 per meter persegi. Dengan demikian
penjualan tanah Boys Town telah mengakibatkan negara dirugikan
sebesar Rp 286 juta.
Belum Mendapat Keringanan
Hadisoenario Dir-Ut Sarinah yang baru mengakui "mengurus Sarinah
saat ini sungguh berat." Walaupun begitu ia berusaha memperbaiki
gambaran diri Sarinah. Dewasa ini tak kurang 691 karyawannya
dengan jumlah gaji sebesar Rp 22 juta sebulan. Biaya listrik dan
air yang ditanggungnya setiap bulan sekitar Rp 10 juta, sehingga
total pengeluarannya tiap bulan menurut Hadi kurang lebih Rp 55
juta. Sedang omzet penjualan dan pendapatan sewa ruangan sebesar
Rp 60 juta sebulan. "Jadi masih ada sisa pendapatan," katanya.
Namun yang dirasa berat oleh pimpinan sekarang ini adalah
hutang-hutang yang ditinggalkan pimpinan lama itu. Hutang
pokoknya saja menurut Hadi sejumlah Rp 1 milyar, plus bunga
mencapai Rp 2,6 milyar." Mampukah Sarinah melunasi hutang
sebesar itu?
"Untuk hutang pokok Rp 1 milyar, kami masih mampu melunasinya,"
ujar Hadi yang bukan orang baru di situ. "Sedang bunga bank
sebesar sekitar Rp 1,6 milyar sedang diusahakannya untuk
dihapuskan saja." Sebegitu jauh sampai saat ini dia belum
mendapatkan keringanan itu.
Bagaimana hasilnya masih perlu waktu. Yang jelas, kata Hadi,
pemilik Jakarta Theater bersedia menambah kekurangan harga
sesuai dengan perhitungan Opstib, sebesar Rp 800 juta. "Bagi
klta uang Rp 800 juta itu cukup besar artinya, kan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini