KAMIS pekan lalu sebuah selamatan berlangsung di Jayapura.
Dengan hadirin terbatas, selamatan itu menyampaikan syukur
kepada Tuhan atas keselamatan 3 orang yang selama empat bulan
"hilang" di hutan-hutan.
Ke-3 orang itu adalah Kapten Pilot Sadewo, juru tehnik Bahrum
dan seorang petugas Penerbangan Sipil Nabire. Mereka awak
pesawat Bali Air dari PT Bouraq Airlines. Mereka baru kembali
dari pedalaman, setelah dikhawatirkan lenyap bersama pesawat
mereka sejak 26 April lalu. Mereka tiba di Jayapura sehari
sebelum selamatan itu.
Bersama pesawat yang membawa bahan-bahan bangunan dari Nabire
dengan tujuan Illaga di Kabupaten Paniai itu mereka dinyatakan
tersesat ke sebuah tempat bernama Zilla, 35 mil udara dari
Tembagapura. Setelah itu, tak ada kabar -- sampai mereka
dikabarkan kembali di Jayapura.
Tersesat? Dengan situasi di pedalaman Irian yang masih rawan
selama ini, tak urung kejadian itu menimbulkan tafsiran lain. Di
Jakarta tak sedikit yang menduga bahwa ketiga orang itu
sesungguhnya korban penyandraan yang dilakukan bekas-bekas
gerombolan separatis OPM -- seperti yang pernah dilakukan
pengikut-pengikut Martin Tabu terhadap beberapa pejahat daerah
ini beberapa waktu lalu.
PENAFSIRAN serupa itu tentu segera dikaitkan dengan berbagai
ketidak-puasan penduduk pedalaman Ir-Ja akhir-akhir ini. Tak
hanya di kalangan penduduk pedalaman, tapi bahkan juga di
kalangan pejabat di Kantor Gubernur Irian Jaya di Jayapura.
"Kenapa tidak," kata seorang pejabat Pemda di Jayapura kepada
Widi Yarmanto dari TEMPO, "jika keadaan di pedalaman itu semakin
menyedihkan."
Ia menuturkan misalnya obat-obatan semakin langka di pedalaman
sementara malaria di berbagai tempat semakin merajalela. Belum
lagi buku dan alat-alat sekolah, serta bahan-bahan bangunan
untuk beberapa kabupaten selama berbulan-bulan terus saja
nongkrong di Jayapura karena tak ada alat pengangkutan.
Dari pihak lain para pejabat kecamatan di pedalaman mulai
merasakan suasana kerja yang tak menyenangkan. Dr Suryadi
Gunawan Mph, Ka-Kanwil Kesehatan Ir-Ja, tak mau menyalahkan
paramedis kecamatan yang kembali ke kota kabupaten. Karena di
samping tak betah, juga karena merasa kerja mereka akan sia-sia
tanpa peralatan dan obat yang memadai.
Untuk kebutullan hidup sehari-hari di pedalaman tak jauh berbeda
dengan itu. Bahkan beberapa orang camat diketahui lebih sering
tidak di tempat karena banyak berada di kota kabupaten untuk
mendapatkan kebutuhan keluarganya sehari-hari.
Di kalangan sementara pejabat Kantor Gubernur Ir-Ja di Jayapura
beberapa pegawai pendatang merasa terlampau lama "dibuang" ke
daerah ini. Di kalangan pegawai Pemda (maupun instansi
pemerintah lainnya) yang terdiri dari penduduk asli tak kalah
gelisah. Ini dimulai lebih-lebih setelah beberapa pegawai di
kantor gubernur diciduk dengan tuduhan "OPM". Dan ketika tersiar
kabar adanya pertentangan antara Gubernur Sutran dengan Wakil
Gubernur Paprindey, keresahan tampaknya sampai pada puncaknya.
"Kalau keadaan di sini begini terus, lebih baik kami ke PNG
saja," cetus seorang pegawai kepada TEMPO.
Di kalangan masyarakat penduduk asli Ir-Ja rasa tak puas
belakangan ini terkadang tercetus secara terbuka. Di kalangan
petani di pedalaman misalnya ada kekesalan karena tak dapat
menjual beberapa jenis hasil hutan mereka. "Dulu di zaman
Belanda beberapa kilo damar dapat mendatangkan uang, sekarang
siapa yang mau beli," kata seorang petani.
TAPI memang tak seluruh kalangan di daerah ini mengidap rasa
kurang puas. Ada yang masih tetap melihat Ir-Ja sebagai wilayah
baru yang punya potensi -- tapi juga penuh tantangan. Terutama
dengan wilayahnya yang 3« kali Pulau Jawa itu dan dengan penduduk
1 juta lebih sedikit. Kemajuan perlu waktu, terutama untuk
menembus keterasingan penduduk yang lebih dari 84% terperangkap
di pedalaman. "Sampai sekarang ini memang ada pembangunan,
t-rutama di kota-kota -- karena kesulitan perhubungan ke wilayah
pedalaman," ungkap Ferry Kambu, mahasiswa Universitas
Cenderawasih di Jayapura.
Dan justru kesulitan perhubungan itulah masalah utama di daerah
ini. Di antara 9 kabupaten yang ada belum satupun yang dapat
dihubungkan dengan jalan raya darat. Apalagi antar kecamatan.
Jalan darat hanya terdapat pada radius sekitar 80 km dari kota
kabupaten, itupun sebagian besar berupa jalan yang dikeraskan
tanpa aspal dengan lebar 4 meter. Satu-satunya andalan adalah
perhubungan udara dengan pesawat-pesawat kecil dan dengan
landasan yang terkadang hanya berupa padang rumput. Tapi pesawat
datang dan pergi tanpa jadwal tetap.
Laut? Kesibukan petani mengejar hasil bumi untuk diangkut
kapal-kapal lewat pelabuhan ke luar negeri, lebih banyak hanya
tinggal nostalgia. Semua itu terdapat di zaman Belanda.
Beberapa waktu lalu pihak Pemda Ir-Ja pernah bekerjasama dengan
perusahaan pelayaran swasta untuk menghubungkan pelabuhan yang
ada di daerah ini. Tapi tak lama. Sebab si swasta buru-buru
menyatakan diri rugi (meskipun ia juga mendapat berbagai
borongan di daerah ini), bersamaan dengan dinyatakannya 12 buah
kapal yang ada rusak berat.
Dan sekarang pelabuhan-pelabuhan itu sepi. Kapal datang
sewaktu-waktu, tergantung pada musim dan lebih-lebih lagi
tergantung pada kemurahan hati perusahaan pelayaran belaka.
Bukan hal aneh bila semua itu menghalangi kelancaran
pejabat-pejabat pemerintahan bertugas. Berita tentang seorang
camat yang berminggu-minggu menunggu pesawat atau kapal laut
untuk kembali ke tempat tugasnya di pedalaman bukan hal baru.
Minggu ini misalnya adalah pekan ketiga bagi Camat Mindiptana,
Rumpombo, untuk menunggu pesawat di Merauke yang akan
membawanya ke tempat tugas, sehabis mengikuti penataran.
Di Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) misalnya, memang
penduduk pedalaman masih dapat menjual hasil kebun sayur mereka.
Tapi kebalikan dari yang harus mereka beli, barang dagangsn
mereka dihargai amat murah.
UNTUNG bahwa penduduk pedalaman ini belum punya keinginan
macam-macam, sehingga uang yang didapat dirasa cukup untuk
membeli tembakau dan garam. Tapi sulit dibayangkan bila
umpamanya mereka juga butuh minyak tanah. Sebab bahan bakar ini
di Wamena berharga Rp 300 per liter -- bensin Rp 500 seliter.
Harga di kota-kota tentu tak kalah mahalnya. Di Jayapura
sebungkah kubis yang berasal dari Wamena harus dibeli dengan Rp
500, karena pedagang mengangkutnya dengan pesawat. Padahal dari
asalnya harga cuma Rp 100. Harga ini sudah lumayan,
dibandingkan ketika sayur-mayur beberapa tahun lalu harus
didatangkan dari Ujung Pandang. Ketika itu saja menurut
penelitian harga-harga di Irian Jaya sudah 2« kali lebih tinggi
dari Jakarta.
Keadaan harga yang melangit di daerah ini tentu dirasakan
langsung oleh 12.600 pegawai negeri (pusat dan daerah) di sini
yang standar gaji mereka tak berbeda dengan daerah-daerah
lainnya. Karena itu di kalangan pejabat Departemen Dalam Negeri
di Jakarta sejak beberapa waktu lalu timbul gagasan untuk
menghidupkan kembali sistim rayonisasi khusus untuk
pegawai-pegawai negeri di Ir-Ja.
Tapi itu tak berarti bahwa tak banyak upaya pemerintah bagi
wilayah seluas itu. Bahkan Bappenas setiap tahun selama Pelita I
dan II menekankan biaya khusus lewat Mata Anggaran 16. Bila
dilihat jumlahnya, anggaran itu akan membariskan angka-angka
cukup mencolok dibanding daerah-daerah lainya.
Apakah penangarlan daerah ini sudah cukup memadai?
Beberapa anggota DPRD Ir-Jaya umumnya berfikir sejenak sebelum
menjawab antara ya dan tidak. Tapi juga kebanyakan di antara
mereka melihat ketiga bidang di atas sebagai kerja yang dengan
mudah dapat ditunjukkan hasilnya. "Sesuai dengan situasi dan
kondisi Ir-Ja, pembangunan selama ini memang ada hasil," kata
Usman Abdullah Fabanyo, Kctua Fraksi PPP DPRD Ir-Ja.
Tapi Usman tak lupa mengingatkan bahwa "selama ini, yang
melakukan pembangunan seolah-olah hanya satu instansi saja yang
lain berpangku tangan." Anggota DPRD ini menunjukkan bukti
dengan menyebut "hampir setiap tahun terdapat sisa anggaran
(SIAP) dari APBD Ir-Ja." Ini berarti, kata Usman, ada instansi
yang tak menggunakannya untuk membangun proyek sebagaimana yang
telah ditentukan.
Ketua Fraksi PDI di DPRD Ir-Ja, Tony Rahael, malahan menyebut
sisa anggaran tahun lalu mencapai 60%. "Khususnya tahun ini,
sampai sekarang APBD yang sudah disahkan Juni belum juga
dilaksanakan," kata Tony. Anggota PDI ini juga mengungkapkan
bahwa sampai sekarang Ir-Ja belum memiliki Pola Pelita III,
bahkan untuk tahun I Pelita III.
Keluhan cukup banyak dari anggota DPRD tingkat kabupaten di
pedalaman. Bidang pendidikan yang pada mulanya tampak ditangam
secara sungguh-sungguh di pedalaman dengan mendirikan SD di
hampir tiap kecamatan, akhir-akhir ini terlihat dalam keadaan
menyedihkan. Karena keadaan ekonomi keluarga yang tak
mengizinkan, kebanyakan setamat SD (jika pun sampai tamat)
murid-murid di pedalaman tak mungkin melanjutkan ke pendidikan
lebih tinggi (SLP) yang kebanyakan hanya terdapat di kota
kabupaten. Merekapun menganggur, tanpa keahlian yang dapat.
dimanfaatkan, sekurang-kurangnya untuk lingkungan keluarganya
sendiri.
Melihat hal itu akhirnya timbul angapan bahwa sekolah tak
banyak gunanya. Ini berakibat murid-murid mulai menjauhi ruang
sekolah. Menurut seorang mahasiswa asal Ir-Ja yang belajar di
Jakarta dan baru pulang kampung di pedalaman Kabupaten
Jayawijaya, ada SD di daerahnya yang kosong karena ditinggalkan
murid.
Cara-cara bertani agaknya juga belum banyak menolong hidup
sehari-hari warga desa di pedalaman. Alat-alat pertanian seperti
skop di beberapa wilayah memang sudah diperkenalkan dan dipakai.
Tapi dengan cara itupun, hasil yang mreka dapat tetap hanya
untuk memenuhi kebutuhan mereka secara pas-pasan.
Beberapa latihan pertanian yang pernah diberikan pihak Dinas
Pertanian Ir-Ja rupanya baru membawa hasil bagi beberapa areal
pertanian di hinterland yang memang disiapkan sebagai
kantong-kantong ekonomi beberapa kota.
Dalam hal pertanian ini menarik juga usul yang dikemukakan drs.
Anwas Iskandar, seorang sarjana sosiologi yang beberapa tahun
lalu pernah meneliti dan tinggal di honei-honei Suku Dani di
pedalaman Jayawijaya. Menurut Anwas, kondisi tanah pertanian di
Ir-Ja perlu diteliti lebih mendalam. Sebab, katanya, diketahui
lapisan tanah di daerah ini mempunyai kemampuan memberi daya
subur bagi tanaman di atasnya hanya untuk jangka waktu 5 tahun.
Akibat daya subur anah ini pula, kata Anwas, beberapa waktu
lalu setiap 5 tahun sekali terjadi perang suku antara suku-suku
di pedalaman itu. Yaitu apabila hasil pertanian mereka menciut,
sehingga satu-satunya jalan adalah dengan merebut hasil
pertanian suku lain.
Anwas Iskandar karena itu menyatakan berkali-kali pernah
mengusulkan agar diadakan penelitian lebih jauh terhadap ubi
jalar, jenis makanan utama penduduk pedalaman daerah ini. Yang
penting, sambungnya, mencari bibit-bibit unggul jenis ubi rambat
ini yang mampu memberikan protein lebih baik bagi mereka. Bibit
serupa ini misalnya telah berkembang baik di wilayah pedalaman
PNG.
Ikhtiar seperti itu tentu hanya sebagian saja dari suatu
peninjauan kembali jalan pembangunan selama ini. Ke sanalah
agaknya akhir bulan lalu Laksamana Sudomo mengumumkan bahwa
Ir-Ja mulai tahun ini akan ditangani secara operasionil dan
khusus. Sudah disebut-sebut misalnya kemungkinan prioritas
penanganan itu dalam bidang sarana perhubungan dan pendidikan.
Bahkan sebuah tim telah terbentuk, terdiri dari berbagai
departemen dan instansi non departemen seperti LIPI (Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia). Semuanya dengan koordinasi dari
pihak Hankam.
Tapi mengapa Hankam tampak begitu bersemangat menangani daerah
ini? "Masalah pembangunan tentu tidak lepas hubungannya dengan
masalah keamanan," kata Pangdam VII/Cendrawasih, Brigjen
C.I Santoso, kepada pembantu lepas TEMPO Dalhar Umar di
Jayapura.
Kemungkinan pengacauan oleh sisa-sisa OPM tak begitu
dikhawatirkannya benar. Kekuatan mereka tak berarti. "Tapi
karena wilayah luas dan mobilitas mereka sering
berpindah-pindah, sampai saat ini keamanan itu belum sepenuhnya
mantap," tambah Santoso.
Keadaan itu diharapkan akan segera berubah jika jangkauan
pembangunan sudah merasuk ke pedalaman. "Dan untuk ini memang
harus ditangani seeara khusus," katanya pula, "sebab kalau
secara rutin seperti selama ini, saya perkirakan dalam 2 sampai
3 generasi kemudian baru Irian Jaya ini mengenal perkembangan
terutama di pedalaman."
Ada yang mencemaskan bahwa scua keterlambatan ini akan
mengakibatkan sesuatu yang eksplosif, bila rakyat
membanding-banding dengan apa yang dicapai Papua Nugini.
Tapi sejauh ini di wilayah perbatasan keadaan tarnpaknya belum
begitu mengkhawatirkan. Saling mengunjung di antara warga di
wilayah RI dengan keluarga mereka di wilayah PNG rupanya juga
sering berlangsung tanpa menimbulkan hal-hal yang patut
dicurigai. Herman Rollo, Kepala Suku Skoujambe, misalnya, salah
satu suku terbesar di desa ini, merencanakan dalam beberapa hari
ini mengunjungi familinya di Wotung, sebuah desa di wilayah PNG
berjarak 5 km, dari Skou. Selain karena rindu, Herman juga ingin
membeli peluru senapang cisnya di wilayah PNG itu "Di sana 10
kali lebih murah dibanding di Jayapura," katanya kepada TEMPO.
Meskipun demikian, Herman Rollo dan banyak orang lain menyatakan
tak ingin pindah ke wilayah PNG. Mereka beranggapan antara
kehidupan di sini dengan seberang sana "sama saja" adanya.
Mudah-mudahan, mereka bicara tulus, tak takut-takut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini