Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Irian jaya, 10 tahun kemudian irian, irian, irian..sebuah keresahan

Keresahan penduduk irian jaya sesudah 10 tahun secara sah kembali ke wilayah ri. gubernur sutran menghendaki prioritas pembangunan di irian jaya adalah perekonomian, pendidikan dan prasarana. (dh)

11 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMIS pekan lalu sebuah selamatan berlangsung di Jayapura. Dengan hadirin terbatas, selamatan itu menyampaikan syukur kepada Tuhan atas keselamatan 3 orang yang selama empat bulan "hilang" di hutan-hutan. Ke-3 orang itu adalah Kapten Pilot Sadewo, juru tehnik Bahrum dan seorang petugas Penerbangan Sipil Nabire. Mereka awak pesawat Bali Air dari PT Bouraq Airlines. Mereka baru kembali dari pedalaman, setelah dikhawatirkan lenyap bersama pesawat mereka sejak 26 April lalu. Mereka tiba di Jayapura sehari sebelum selamatan itu. Bersama pesawat yang membawa bahan-bahan bangunan dari Nabire dengan tujuan Illaga di Kabupaten Paniai itu mereka dinyatakan tersesat ke sebuah tempat bernama Zilla, 35 mil udara dari Tembagapura. Setelah itu, tak ada kabar -- sampai mereka dikabarkan kembali di Jayapura. Tersesat? Dengan situasi di pedalaman Irian yang masih rawan selama ini, tak urung kejadian itu menimbulkan tafsiran lain. Di Jakarta tak sedikit yang menduga bahwa ketiga orang itu sesungguhnya korban penyandraan yang dilakukan bekas-bekas gerombolan separatis OPM -- seperti yang pernah dilakukan pengikut-pengikut Martin Tabu terhadap beberapa pejahat daerah ini beberapa waktu lalu. PENAFSIRAN serupa itu tentu segera dikaitkan dengan berbagai ketidak-puasan penduduk pedalaman Ir-Ja akhir-akhir ini. Tak hanya di kalangan penduduk pedalaman, tapi bahkan juga di kalangan pejabat di Kantor Gubernur Irian Jaya di Jayapura. "Kenapa tidak," kata seorang pejabat Pemda di Jayapura kepada Widi Yarmanto dari TEMPO, "jika keadaan di pedalaman itu semakin menyedihkan." Ia menuturkan misalnya obat-obatan semakin langka di pedalaman sementara malaria di berbagai tempat semakin merajalela. Belum lagi buku dan alat-alat sekolah, serta bahan-bahan bangunan untuk beberapa kabupaten selama berbulan-bulan terus saja nongkrong di Jayapura karena tak ada alat pengangkutan. Dari pihak lain para pejabat kecamatan di pedalaman mulai merasakan suasana kerja yang tak menyenangkan. Dr Suryadi Gunawan Mph, Ka-Kanwil Kesehatan Ir-Ja, tak mau menyalahkan paramedis kecamatan yang kembali ke kota kabupaten. Karena di samping tak betah, juga karena merasa kerja mereka akan sia-sia tanpa peralatan dan obat yang memadai. Untuk kebutullan hidup sehari-hari di pedalaman tak jauh berbeda dengan itu. Bahkan beberapa orang camat diketahui lebih sering tidak di tempat karena banyak berada di kota kabupaten untuk mendapatkan kebutuhan keluarganya sehari-hari. Di kalangan sementara pejabat Kantor Gubernur Ir-Ja di Jayapura beberapa pegawai pendatang merasa terlampau lama "dibuang" ke daerah ini. Di kalangan pegawai Pemda (maupun instansi pemerintah lainnya) yang terdiri dari penduduk asli tak kalah gelisah. Ini dimulai lebih-lebih setelah beberapa pegawai di kantor gubernur diciduk dengan tuduhan "OPM". Dan ketika tersiar kabar adanya pertentangan antara Gubernur Sutran dengan Wakil Gubernur Paprindey, keresahan tampaknya sampai pada puncaknya. "Kalau keadaan di sini begini terus, lebih baik kami ke PNG saja," cetus seorang pegawai kepada TEMPO. Di kalangan masyarakat penduduk asli Ir-Ja rasa tak puas belakangan ini terkadang tercetus secara terbuka. Di kalangan petani di pedalaman misalnya ada kekesalan karena tak dapat menjual beberapa jenis hasil hutan mereka. "Dulu di zaman Belanda beberapa kilo damar dapat mendatangkan uang, sekarang siapa yang mau beli," kata seorang petani. TAPI memang tak seluruh kalangan di daerah ini mengidap rasa kurang puas. Ada yang masih tetap melihat Ir-Ja sebagai wilayah baru yang punya potensi -- tapi juga penuh tantangan. Terutama dengan wilayahnya yang 3« kali Pulau Jawa itu dan dengan penduduk 1 juta lebih sedikit. Kemajuan perlu waktu, terutama untuk menembus keterasingan penduduk yang lebih dari 84% terperangkap di pedalaman. "Sampai sekarang ini memang ada pembangunan, t-rutama di kota-kota -- karena kesulitan perhubungan ke wilayah pedalaman," ungkap Ferry Kambu, mahasiswa Universitas Cenderawasih di Jayapura. Dan justru kesulitan perhubungan itulah masalah utama di daerah ini. Di antara 9 kabupaten yang ada belum satupun yang dapat dihubungkan dengan jalan raya darat. Apalagi antar kecamatan. Jalan darat hanya terdapat pada radius sekitar 80 km dari kota kabupaten, itupun sebagian besar berupa jalan yang dikeraskan tanpa aspal dengan lebar 4 meter. Satu-satunya andalan adalah perhubungan udara dengan pesawat-pesawat kecil dan dengan landasan yang terkadang hanya berupa padang rumput. Tapi pesawat datang dan pergi tanpa jadwal tetap. Laut? Kesibukan petani mengejar hasil bumi untuk diangkut kapal-kapal lewat pelabuhan ke luar negeri, lebih banyak hanya tinggal nostalgia. Semua itu terdapat di zaman Belanda. Beberapa waktu lalu pihak Pemda Ir-Ja pernah bekerjasama dengan perusahaan pelayaran swasta untuk menghubungkan pelabuhan yang ada di daerah ini. Tapi tak lama. Sebab si swasta buru-buru menyatakan diri rugi (meskipun ia juga mendapat berbagai borongan di daerah ini), bersamaan dengan dinyatakannya 12 buah kapal yang ada rusak berat. Dan sekarang pelabuhan-pelabuhan itu sepi. Kapal datang sewaktu-waktu, tergantung pada musim dan lebih-lebih lagi tergantung pada kemurahan hati perusahaan pelayaran belaka. Bukan hal aneh bila semua itu menghalangi kelancaran pejabat-pejabat pemerintahan bertugas. Berita tentang seorang camat yang berminggu-minggu menunggu pesawat atau kapal laut untuk kembali ke tempat tugasnya di pedalaman bukan hal baru. Minggu ini misalnya adalah pekan ketiga bagi Camat Mindiptana, Rumpombo, untuk menunggu pesawat di Merauke yang akan membawanya ke tempat tugas, sehabis mengikuti penataran. Di Wamena (ibukota Kabupaten Jayawijaya) misalnya, memang penduduk pedalaman masih dapat menjual hasil kebun sayur mereka. Tapi kebalikan dari yang harus mereka beli, barang dagangsn mereka dihargai amat murah. UNTUNG bahwa penduduk pedalaman ini belum punya keinginan macam-macam, sehingga uang yang didapat dirasa cukup untuk membeli tembakau dan garam. Tapi sulit dibayangkan bila umpamanya mereka juga butuh minyak tanah. Sebab bahan bakar ini di Wamena berharga Rp 300 per liter -- bensin Rp 500 seliter. Harga di kota-kota tentu tak kalah mahalnya. Di Jayapura sebungkah kubis yang berasal dari Wamena harus dibeli dengan Rp 500, karena pedagang mengangkutnya dengan pesawat. Padahal dari asalnya harga cuma Rp 100. Harga ini sudah lumayan, dibandingkan ketika sayur-mayur beberapa tahun lalu harus didatangkan dari Ujung Pandang. Ketika itu saja menurut penelitian harga-harga di Irian Jaya sudah 2« kali lebih tinggi dari Jakarta. Keadaan harga yang melangit di daerah ini tentu dirasakan langsung oleh 12.600 pegawai negeri (pusat dan daerah) di sini yang standar gaji mereka tak berbeda dengan daerah-daerah lainnya. Karena itu di kalangan pejabat Departemen Dalam Negeri di Jakarta sejak beberapa waktu lalu timbul gagasan untuk menghidupkan kembali sistim rayonisasi khusus untuk pegawai-pegawai negeri di Ir-Ja. Tapi itu tak berarti bahwa tak banyak upaya pemerintah bagi wilayah seluas itu. Bahkan Bappenas setiap tahun selama Pelita I dan II menekankan biaya khusus lewat Mata Anggaran 16. Bila dilihat jumlahnya, anggaran itu akan membariskan angka-angka cukup mencolok dibanding daerah-daerah lainya. Apakah penangarlan daerah ini sudah cukup memadai? Beberapa anggota DPRD Ir-Jaya umumnya berfikir sejenak sebelum menjawab antara ya dan tidak. Tapi juga kebanyakan di antara mereka melihat ketiga bidang di atas sebagai kerja yang dengan mudah dapat ditunjukkan hasilnya. "Sesuai dengan situasi dan kondisi Ir-Ja, pembangunan selama ini memang ada hasil," kata Usman Abdullah Fabanyo, Kctua Fraksi PPP DPRD Ir-Ja. Tapi Usman tak lupa mengingatkan bahwa "selama ini, yang melakukan pembangunan seolah-olah hanya satu instansi saja yang lain berpangku tangan." Anggota DPRD ini menunjukkan bukti dengan menyebut "hampir setiap tahun terdapat sisa anggaran (SIAP) dari APBD Ir-Ja." Ini berarti, kata Usman, ada instansi yang tak menggunakannya untuk membangun proyek sebagaimana yang telah ditentukan. Ketua Fraksi PDI di DPRD Ir-Ja, Tony Rahael, malahan menyebut sisa anggaran tahun lalu mencapai 60%. "Khususnya tahun ini, sampai sekarang APBD yang sudah disahkan Juni belum juga dilaksanakan," kata Tony. Anggota PDI ini juga mengungkapkan bahwa sampai sekarang Ir-Ja belum memiliki Pola Pelita III, bahkan untuk tahun I Pelita III. Keluhan cukup banyak dari anggota DPRD tingkat kabupaten di pedalaman. Bidang pendidikan yang pada mulanya tampak ditangam secara sungguh-sungguh di pedalaman dengan mendirikan SD di hampir tiap kecamatan, akhir-akhir ini terlihat dalam keadaan menyedihkan. Karena keadaan ekonomi keluarga yang tak mengizinkan, kebanyakan setamat SD (jika pun sampai tamat) murid-murid di pedalaman tak mungkin melanjutkan ke pendidikan lebih tinggi (SLP) yang kebanyakan hanya terdapat di kota kabupaten. Merekapun menganggur, tanpa keahlian yang dapat. dimanfaatkan, sekurang-kurangnya untuk lingkungan keluarganya sendiri. Melihat hal itu akhirnya timbul angapan bahwa sekolah tak banyak gunanya. Ini berakibat murid-murid mulai menjauhi ruang sekolah. Menurut seorang mahasiswa asal Ir-Ja yang belajar di Jakarta dan baru pulang kampung di pedalaman Kabupaten Jayawijaya, ada SD di daerahnya yang kosong karena ditinggalkan murid. Cara-cara bertani agaknya juga belum banyak menolong hidup sehari-hari warga desa di pedalaman. Alat-alat pertanian seperti skop di beberapa wilayah memang sudah diperkenalkan dan dipakai. Tapi dengan cara itupun, hasil yang mreka dapat tetap hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka secara pas-pasan. Beberapa latihan pertanian yang pernah diberikan pihak Dinas Pertanian Ir-Ja rupanya baru membawa hasil bagi beberapa areal pertanian di hinterland yang memang disiapkan sebagai kantong-kantong ekonomi beberapa kota. Dalam hal pertanian ini menarik juga usul yang dikemukakan drs. Anwas Iskandar, seorang sarjana sosiologi yang beberapa tahun lalu pernah meneliti dan tinggal di honei-honei Suku Dani di pedalaman Jayawijaya. Menurut Anwas, kondisi tanah pertanian di Ir-Ja perlu diteliti lebih mendalam. Sebab, katanya, diketahui lapisan tanah di daerah ini mempunyai kemampuan memberi daya subur bagi tanaman di atasnya hanya untuk jangka waktu 5 tahun. Akibat daya subur anah ini pula, kata Anwas, beberapa waktu lalu setiap 5 tahun sekali terjadi perang suku antara suku-suku di pedalaman itu. Yaitu apabila hasil pertanian mereka menciut, sehingga satu-satunya jalan adalah dengan merebut hasil pertanian suku lain. Anwas Iskandar karena itu menyatakan berkali-kali pernah mengusulkan agar diadakan penelitian lebih jauh terhadap ubi jalar, jenis makanan utama penduduk pedalaman daerah ini. Yang penting, sambungnya, mencari bibit-bibit unggul jenis ubi rambat ini yang mampu memberikan protein lebih baik bagi mereka. Bibit serupa ini misalnya telah berkembang baik di wilayah pedalaman PNG. Ikhtiar seperti itu tentu hanya sebagian saja dari suatu peninjauan kembali jalan pembangunan selama ini. Ke sanalah agaknya akhir bulan lalu Laksamana Sudomo mengumumkan bahwa Ir-Ja mulai tahun ini akan ditangani secara operasionil dan khusus. Sudah disebut-sebut misalnya kemungkinan prioritas penanganan itu dalam bidang sarana perhubungan dan pendidikan. Bahkan sebuah tim telah terbentuk, terdiri dari berbagai departemen dan instansi non departemen seperti LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Semuanya dengan koordinasi dari pihak Hankam. Tapi mengapa Hankam tampak begitu bersemangat menangani daerah ini? "Masalah pembangunan tentu tidak lepas hubungannya dengan masalah keamanan," kata Pangdam VII/Cendrawasih, Brigjen C.I Santoso, kepada pembantu lepas TEMPO Dalhar Umar di Jayapura. Kemungkinan pengacauan oleh sisa-sisa OPM tak begitu dikhawatirkannya benar. Kekuatan mereka tak berarti. "Tapi karena wilayah luas dan mobilitas mereka sering berpindah-pindah, sampai saat ini keamanan itu belum sepenuhnya mantap," tambah Santoso. Keadaan itu diharapkan akan segera berubah jika jangkauan pembangunan sudah merasuk ke pedalaman. "Dan untuk ini memang harus ditangani seeara khusus," katanya pula, "sebab kalau secara rutin seperti selama ini, saya perkirakan dalam 2 sampai 3 generasi kemudian baru Irian Jaya ini mengenal perkembangan terutama di pedalaman." Ada yang mencemaskan bahwa scua keterlambatan ini akan mengakibatkan sesuatu yang eksplosif, bila rakyat membanding-banding dengan apa yang dicapai Papua Nugini. Tapi sejauh ini di wilayah perbatasan keadaan tarnpaknya belum begitu mengkhawatirkan. Saling mengunjung di antara warga di wilayah RI dengan keluarga mereka di wilayah PNG rupanya juga sering berlangsung tanpa menimbulkan hal-hal yang patut dicurigai. Herman Rollo, Kepala Suku Skoujambe, misalnya, salah satu suku terbesar di desa ini, merencanakan dalam beberapa hari ini mengunjungi familinya di Wotung, sebuah desa di wilayah PNG berjarak 5 km, dari Skou. Selain karena rindu, Herman juga ingin membeli peluru senapang cisnya di wilayah PNG itu "Di sana 10 kali lebih murah dibanding di Jayapura," katanya kepada TEMPO. Meskipun demikian, Herman Rollo dan banyak orang lain menyatakan tak ingin pindah ke wilayah PNG. Mereka beranggapan antara kehidupan di sini dengan seberang sana "sama saja" adanya. Mudah-mudahan, mereka bicara tulus, tak takut-takut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus