Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dewa penyelamat akhirnya melirik juga ke PLN. Setelah terombang-ambing hampir enam bulan, pemerintah akhirnya setuju, utang PLN senilai Rp 26,9 triliun diambil alih menjadi penyertaan modal pemerintah. Namun, pengambilalihan ini akan dibarengi dengan penilaian kembali (revaluasi) aset, karena aset PLN yang sekarang masih dinilai dengan kurs Rp 2.450, sementara kurs rupiah sekarang sudah melambung di atas Rp 11.500. Selain itu, pemerintah juga meminta PLN menyusun daftar aset inti (core) serta yang non-inti. "Aset non-inti harus dijual untuk membantu likuiditas PLN," kata Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli.
Jika dibarengi dengan revaluasi aset yang rencananya akan dilaksanakan dalam tiga tahun, keuangan PLN akan membaik. Dalam perhitungan Direktur Keuangan PLN, F. Parno Isworo, kerugian akan bisa ditekan. Tak seperti tahun lalu, PLN masih merugi sampai Rp 22,5 triliun, tahun ini kerugian kemungkinan bisa ditekan sampai Rp 4,4 triliun.
Namun, semua itu masih hitung-hitungan di atas kertas. Dalam soal revaluasi aset, misalnya, PLN malah harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit untuk membayar pajak penghasilan (PPh) sebesar Rp 10 triliun. Dari revaluasinya sendiri, PLN tak mendapatkan apa-apa. Memang, nilai asetnya akan meningkat dari Rp 68 triliun menjadi sekitar Rp 230 triliun (kurs Rp 11.500), dan modal PLN menjadi positif. Tapi itu cuma perhitungan di neraca. Secara riil, tak ada uang masuk ke kas PLN.
Nah, jika sejumlah masalah yang dihadapi PLN tidak segera diatasi, perusahaan ini benar-benar akan bangkrut dan giliran pemadaman listrik bukan mustahil bakal terjadi. Soal utang, misalnya. Dengan total utang Rp 77,5 triliunsebagian memang diambil alih pemerintah melalui penyertaan modalPLN masih akan tetap menghadapi "bahaya laten" pembayaran utang. Tahun lalu, cicilan utang yang harus dibayar PLN mencapai Rp 12,5 triliun. Penyertaan modal saja tampaknya belum menyelesaikan masalah. PLN masih membutuhkan re-strukturisasi utang agar perusahaan ini bisa membayar cicilan utang yang sesuai dengan kinerja keuangannya.
Saat ini PLN masih digayuti soal listrik swasta yang belum beres juga. Beban pembelian listrik swasta ini memang berat. Selain ada kewajiban membeli listrik, harga jual produsen listrik swasta juga sangat tinggi, yakni rata-rata US$ 7 sen atau dua kali lipat dari harga jual PLN ke konsumen. Tahun lalu, misalnya, pembelian listrik PLN mencapai hampir Rp 11 triliun, padahal tahun sebelumnya baru Rp 5 triliun. Jika hal itu tidak segera diselesaikan, PLN bisa habis-habisan mengurusi listrik swasta ini. Secara keseluruhan, jika kontrak pembelian listrik dengan 27 produsen swasta dipenuhi, PLN harus menyediakan dana US$ 133 miliar selama 30 tahun.
Sejauh ini, PLN baru menyelesaikan perundingan dengan dua produsen listrik swasta, yakni Tanjungjati B dan PT Energy Sengkang. Sedangkan dengan Paiton Energy (Paiton I) dan Jawa Power (Paiton II), PLN baru menyelesaikan perjanjian sementara (interim agreement). Dari Sengkang, PLN berhasil melakukan penghematan sampai US$ 200 juta. Namun, PLN masih harus membayar ganti rugi kepada Dieng dan Patuha senilai US$ 572 juta.
Langkah PLN untuk memaksa produsen listrik swasta menurunkan tarifnya sampai US$ 4,2 sen jelas upaya yang bagus. Menurut Direktur Utama PLN, Eddie Widiono, PLN akan memutuskan kontrak dengan 17 produsen listrik swasta yang tidak mau menurunkan tarifnya sampai US$ 4,2 sen. "Kita mau berkonsentrasi pada negosiasi dengan 9 atau 10 produsen listrik swasta," kata Eddie kepada pers Jumat pekan lalu. Pemutusan kontrak ini jelas akan mengurangi beban pembelian listrik swasta.
Yang juga memberatkan PLN adalah tarif. Dengan harga jual ke konsumen US$ 3 sen, PLN jelas tak bisa menutupi ongkos produksinya. Karena itu, PLN mengajukan rencana kenaikan tarif menjadi US$ 7 sen pada tahun 2005. Namun, menaikkan tarif tanpa melakukan efisiensi jelas hanya akan menambah beban masyarakat tanpa mengurangi kerugian yang diderita PLN. Karena itu, ada persyaratan yang harus dipenuhi PLN. "Peningkatan efisiensi menjadi prasyarat utama PLN jika ingin rencana kenaikan tarifnya disetujui DPR," kata Pramono Anung dari Komisi VIII DPR, yang antara lain membidangi masalah kelistrikan.
Tidak bisa tidak, PLN bersama pemerintah memang harus menyelesaikan semua persoalan yang membelitnya. Tanpa itu, pengambilalihan utang PLN hanya akan seperti menunda masalah. Tanpa penyelesaian tuntas, beberapa tahun lagi PLN akan kembali menghadapi masalah yang sama.
M. Taufiqurohman, I G.G Maha Adi, Rommy Fibri, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo