Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Muslihat Bakrie Menyiasati BPPN

Bakrie mengincar asetnya yang sudah direstrukturisasi oleh BPPN. Bank Danamon dijadikan perantara sekaligus penyedia dana. Kalau berhasil, akan menjadi preseden buruk.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


RENCANA besar itu bermula pada suatu hari di bulan Januari 2001. Dengan langkah ringan, Direktur Pelaksana Bakrie & Brothers, Nalin Rathod, menemui Direktur Utama Bank Danamon, Arwin Rashid. Dalam kesempatan itu, Rathod membawa sebuah proposal. Isinya agak mengejutkan karena dalam proposal itu Bakrie mengajak Danamon bekerja sama "mengakali" BPPN.

Sebagai lembaga pemerintah, Badan Penyehatan Perbankan Nasional atau BPPN bukanlah badan yang bisa dikendalikan pihak luar. Tapi kalau sampai Grup Bakrie mau melakukannya, tentu banyak hal yang sudah diperhitungkan dengan matang. Nah, Bakrie akan mencoba meminta Danamon membeli utang Northsea Services Limited, yang sudah direstrukturisasi oleh BPPN. Northsea adalah perusahaan yang bergerak di bidang pipa gas milik Aburizal Bakrie dengan utang macet Rp 42,18 miliar plus US$ 34,4 juta, ditambah bunga Rp 41,76 miliar plus US$ 15,4 juta, yang ditransfer ke BPPN dari Bank Dagang Negara. Di perusahaan ini, Nalin Rathod bertindak sebagai salah seorang anggota dewan direksi.

Menurut rekayasa yang dibawa Rathod, Bank Danamon akan membeli utang tersebut 45 persen, atau didiskon 55 persen. Setelah itu, Danamon akan menjualnya ke Bakrie seharga 50 persen. Dari transaksi itu, Danamon akan menangguk laba lima persen. Namun, kalau dicermati lebih jeli, keuntungan itu semu. Kenapa? Karena duit Bakrie untuk membeli aset bekas miliknya itu dipinjam dari Bank Danamon. Memang, Bakrie bisa mendapatkan kembali asetnya—tanpa mengeluarkan uang sepeser pun—ditambah potongan harga 50 persen. Tapi Danamon justru cuma kecipratan lima persen.

Sumber TEMPO di Bank Indonesia mengatakan, Arwin Rashid setuju dengan proposal yang diajukan Nalin Rathod tersebut. Alasannya, ini kesempatan emas bagi Danamon untuk mendapatkan imbalan. Padahal, menurut sumber itu, imbalan tersebut kecil sekali, tidak sebanding dengan beban yang ditanggungnya. Ditilik dari biaya, misalnya, pinjaman dalam dolar itu memberatkan karena sebagian besar pendanaan Danamon dalam rupiah. Bukan mustahil Danamon juga menghadapi risiko lain, yakni kredit itu berpotensi untuk macet.

Namun, Arwin bersikukuh mengegolkannya. Sumber tesebut mensinyalir, Arwin setuju karena sudah ada pembicaraan "pemanasan" dengan Aburizal Bakrie. Tapi benarkah?

Pihak Bakrie membantah adanya rekayasa semacam itu. Juru bicara Grup Bakrie, Lalu Mara Satriawangsa, menegaskan bahwa pihaknya tak pernah mengajukan proposal ke Danamon. Tapi, di luar perkiraan pihak Bakrie, juru bicara Danamon, Christiana Damanik Christina, membenarkan bahwa pihaknya menerima proposal dari Northsea Services Ltd. untuk permohonan pembiayaan. Namun, Danamon memutuskan menolaknya.

Sumber TEMPO di BI mengakui bahwa rencana ini memang belum terlaksana. Tapi, kalaupun tidak terlaksana, bukan berarti rencana itu tidak ada. Lagi pula, dalam kondisi ekonomi dan politik yang centang-perenang seperti sekarang, apa pun bisa terjadi. Pengusaha, misalnya, memanfaatkan kondisi yang sedang kusut untuk mengegolkan keinginannya. Apalagi sejak dua pekan silam, BPPN mulai menjual kembali aset korporasi senilai Rp 6 triliun. Bisa jadi aset eks Bakrie ini—40 persen sahamnya masing-masing kini dimiliki Great Asian dan Montrose Trust, dan 20 persen dikuasai Serenta Shipping—memang ditawarkan ke pihak-pihak yang berminat.

Kalau transaksi ini terjadi, yang dirugikan tidak hanya Danamon, tapi juga BPPN. Soalnya, BPPN menjual kembali aset ke pemilik utang semula dengan diskon supergemuk. Beban utang debitor memang berkurang, tapi sialnya beban itu dipindahkan ke negara melalui Danamon, karena 99,5 persen saham bank ini dikuasai pemerintah.

Ekonom Faisal Basri tak habis pikir bagaimana Bank Danamon hampir terlibat dalam transaksi yang jelas merugikannya karena bank itu sekaligus bertindak sebagai perantara dan kreditor. "Ini jelas ada kerja sama," ujarnya dalam nada menyelidik. Menurut Faisal, lebih baik Danamon membeli sendiri aset tersebut dan membukukannya dalam neraca karena bisa memperbaiki struktur aset dan menambah penghasilan bank tersebut.

Memang belum ada ketentuan baku yang melarang debitor membeli kembali utangnya yang sudah direstrukturisasi BPPN. Tapi, kalau rekayasa yang diajukan Rathod kepada Arwin Rashid itu sempat terlaksana, jelaslah hal itu tidak etis, juga tidak mendidik. Dan akan banyak debitor yang meniru karena pasti menguntungkan. Formulanya sederhana: jalinlah kerja sama dengan bank agar berhasil mendapatkan kembali aset yang sudah direstrukturisasi, dengan harga murah dan tanpa mengeluarkan uang. Menurut sumber TEMPO, trik seperti itu terlihat menggejala belakangan ini. Anehnya, pihak bank tak kunjung jera berurusan dengan para debitor yang pernah membuat mereka hampir tumbang gara-gara kredit macet triliunan rupiah.

Leanika Tanjung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus