TIDAK biasanya, harian pagi Prioritas menampilkan puisi di halaman depan. Guntur menderu me-malu/ hidup ditempa di batu/..., dan seterusnya. Sajak penyair Rendra itu mengisi kolom "Selamat Pagi Indonesia", pojok koran tersebut, edisi Kamis pekan lalu. Akan berubahkah harian (yang menurut SIUPP-nya) ekonomi itu menjadi koran kebudayaan? Bukan itu soalnya. Rabu, sehari sebelumnya, Prioritas memuat komplet surat "peringatan terakhir" dari Departemen Penerangan tertanggal 26 Januari 1987. Dirjen Pembinaan Pers dan Grafika, yang meneken surat itu, menilai harian itu sudah beberapa kali menurunkan "tulisan yang bersifat insinuatif dan berbau sensasional" yang "bisa menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat". Contoh berita yang insinuatif? Surat peringatan itu menunjuk berita utama "Hutang Luar Negeri 6,5 Trilyun Jatuh Tempo", yang dimuat akhir November lalu. Contoh yang sensasional? Artikel "Islam dan Kemalisme", pada awal Desember. Juga rasio isi penerbitan itu, oleh Deppen dianggap tak sesuai dengan SIUPP yang diberikan, yaitu sebagai koran ekonomi. Seharusnya, perbandingan antara berita ekonomi dan umum, 75% dan 25%. Yang dicatat Deppen, justru sebaliknya. Tampaknya, Rendra, sebagai pembaca, ikut menyatakan simpati kepada koran yang kena tegur itu lewat sajak. Tak cuma dia sebenarnya. Dalam rubrik surat pembaca, pada edisi yang sama, dimuat surat senada ditulis oleh Pengacara Kaligis, S.H. Itu semua dilakukan Prioritas, kata "Tajuk Rencana"-nya, 29 Januari, sebagai "pencerminan dari sikap keterbukaan dan kebersamaan' - sikap yang, menurut koran dengan gambar-gambar berwarna itu, hendak dikembangkannya. Ada kesan: Prioritas tak begitu ikhlas kena tegur. Memang, ada yang membuat bingung Nasruddin Hars, Pemimpin Redaksi harian itu. "Contoh tulisan yang dipersoalkan oleh Deppen itu 'kan sudah kami muat dua bulan yang lalu. Mengapa baru sekarang dipermasalahkan?" katanya. Memang, seminggu sebelum keluarnya surat peringatan itu, Nasruddin dipanggil ke Deppen. Ia diberi tahu akan adanya surat peringatan, dan itu, menurut dia, menyangkut soal pemuatan tulisan hasil wawancara dengan tokoh bisnis muda, Tantyo Sudharmono, beberapa hari sebelumnya. Sebelum surat peringatan datang, esoknya, harian itu memuat surat bantahan Tantyo, yang merasa "banyak jawaban-jawaban saya yang dipotong dan tidak dimuat, bahkan justru diputarbalikkan". "Dengan dimuatnya surat bantahan itu, kami mengira persoalannya sudah selesai. Nyatanya belum," tambah Nasruddin. Meski, seperti sudah disebutkan, surat teguran memang mempersoalkan berita lain, bukan wawancara itu. Yang juga membuat bingung Prioritas, mengapa surat itu disebut "peringatan terakhir". Padahal, "Sekalipun kami belum pernah menerima peringatan serupa sebelumnya," tulis "Tajuk Rencana" harian itu terbitan 28 Januari. Dirjen Pers dan Grafika, Soekarno, S.H., membantah. "Sudah dua kali kami memberi peringatan kepada mereka sebelumnya. Saya juga sering berbicara dengan mereka, umpamanya dengan Pak Nasruddin itu." Lain Deppen, lain pula Dewan Kehormatan PWI, yang bertugas menertibkan pelanggaran kode etik yang dibuat anggotanya. "Tak ada pelanggaran kode etik jurnalistik yang dibuat oleh Prioritas. Kedua berita itu, setelah kami teliti, tak berbau sensasional dan tak insinuatif," ujar H. Rosihan Anwar, salah seorang anggota Dewan Kehormatan PWI Pusat. Karena itu, Dewan Kehormatan merasa perlu membuat sebuah siaran pers, tentang hasil "penelitian"-nya, yang tembusannya dikirimkan kepada Deppen. "Hanya itulah tugas kami. Kami tak berwenang meminta Deppen mengoreksi tegurannya," kata Rosihan lebih jauh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini