Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ruang perdagangan (dealing room) PT Bank Resona Perdania, Kamis siang pekan lalu, terlihat sibuk. Para dealer yang duduk mengelilingi meja besar berbentuk persegi panjang tampak serius menatap layar televisi dan monitor komputer. Sesekali beberapa di antara mereka mengangkat telepon dan berbicara dengan para nasabah di ruang yang dikelilingi kaca setinggi dua meteran itu. ”Rupiah masih cenderung melemah,” kata Chief Dealer Bank Resona Perdania Lindawati Susanto kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Tekanan terhadap nilai tukar rupiah sudah terjadi sejak September 2008. Tekanannya kian deras memasuki medio Februari lalu. Mata uang Republik ini sempat tertekan hingga 12.100 per dolar. Jikapun ada penguatan, tipis sekali. Dalam tiga minggu terakhir, rupiah hanya bolak-balik di kisaran 11.950-12.050 per dolar. Rupiah seperti tak sanggup kembali lagi ke level di bawah 11.500 per dolar seperti Januari lalu, apalagi kembali stabil di level 10.500-an per dolar pada akhir Desember 2008. Sampai pintu perdagangan ditutup pekan lalu, rupiah masih di angka 11.970 per dolar.
Para ekonom, dealer valuta asing, dan bankir menilai posisi rupiah saat ini terlalu lemah (undervalued) dan tak mencerminkan nilai fundamentalnya. ”Too weak. Wajarnya di kisaran 10-11 ribu per dolar,” kata Kepala Ekonom Danareksa Research Institute Purbaya Yudhi Sadewa. Kepala Ekonom Bank Danamon Indonesia Anton Gunawan berpendapat senada. ”Harusnya di bawah 10.500 per dolar.” Adapun menurut Wakil Direktur Utama Bank Internasional Indonesia Sukatmo Padmosukarso, posisi ideal rupiah saat ini 10 ribu per dolar.
Deputi Gubernur Bank Indonesia Hartadi A. Sarwono juga melihat tekanan atas rupiah belakangan ini memang tidak sejalan dengan fundamental ekonomi Indonesia. Misalnya, neraca pembayaran Indonesia tidak terlalu buruk dibanding negara lain, termasuk negara tetangga. Cadangan devisa pun masih berada di kisaran US$ 50-51 miliar. ”Itu cukup untuk menjaga kestabilan kurs,” katanya.
Krisis keuangan global diyakini menjadi salah satu pemicu utama yang menekan rupiah. Sejak turbulensi mendera sektor keuangan di Amerika Serikat, dolar justru menguat terhadap beberapa mata uang dunia lainnya. Mata uang sejumlah negara, termasuk rupiah, bertekuk lutut terhadap dolar. Dibanding mata uang negara lain, penurunan rupiah terburuk kedua, setelah won Korea Selatan, sejak Januari 2009 hingga akhir pekan lalu (lihat grafik).
Mata uang di negara-negara Asia, kata Lindawati, rata-rata hanya terdepresiasi (melemah) 20-30 persen atas dolar Amerika. Dengan posisi rupiah saat ini 11.970 per dolar, rupiah seakan-akan dibiarkan terdepresiasi lebih dari 30 persen. Harusnya, kata Linda, rupiah bisa di bawah 11.500 per dolar, sehingga depresiasinya sejalan dengan mata uang global lainnya.
Berkaca pada permintaan dolar riil di pasar uang Jakarta saat ini, sebetulnya rupiah berpeluang menguat tajam lagi jika Bank Indonesia lebih all-out masuk pasar. Permintaan dolar dari importir, korporat, dan pelaku pasar relatif tipis, US$ 200-300 juta per hari, tak sebesar akhir tahun lalu, yang di atas US$ 1 miliar per hari. Dengan intervensi bank sentral yang memadai, kata Yudhi, seharusnya rupiah bisa kembali menguat tajam.
Tapi, faktanya, rupiah masih betah di kisaran 11.950-12.050 per dolar. Hal itu mengindikasikan intervensi Bank Indonesia masih terbatas. ”Jangan-jangan Bank Indonesia lebih senang rupiah pada kisaran 11-12 ribu per dolar,” kata Yudhi. Terlebih lagi, asumsi rupiah di dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2009 dipatok pada 11 ribu per dolar (dalam APBN 2009: Rp 9.400).
Yudhi menduga Bank Indonesia tak mau banyak masuk pasar lantaran menjaga cadangan devisa pada kisaran US$ 50 miliar. Bank Indonesia, kata dia, seolah-olah menganggap cadangan devisa sebesar itu tidak boleh berkurang. Pada Agustus 2008, cadangan devisa Indonesia pernah mencapai US$ 60,56 miliar. Tapi Lindawati tak heran dengan fenomena ini karena target ”Jalan Thamrin”—sebutan bank sentral—memang sudah berubah. Bank Indonesia, kata dia, tidak lagi menjaga dan menggiring rupiah ke level tertentu, tapi hanya menjaga agar gejolak (volatilitas) rupiah tidak terlalu dalam.
Hartadi membenarkan sinyalemen Lindawati. ”Ini konsekuensi kita (Indonesia) menganut sistem nilai tukar mengambang,” ujarnya. Volatilitas yang terjaga, kata Hartadi, akan membantu memelihara kestabilan makroekonomi nasional. Menjaga agar fluktuasi rupiah tidak berlebihan juga untuk mencegah munculnya kepanikan akibat kurs yang merosot terlalu cepat.
Pelemahan rupiah juga dipengaruhi faktor dari dalam negeri. Menurut Anton, para investor, khususnya asing, saat ini memang lebih senang memegang dolar karena lebih menguntungkan. Fenomena ini berkaitan dengan menyempitnya rentang (spread) antara surat utang negara dalam rupiah dan surat utang negara dalam dolar, yang sempat mencapai 100 basis point. Dengan depresiasi rupiah yang sudah 10 persen, investor asing menilai tidak ada gunanya lagi memegang rupiah. Alhasil, ”Mereka melepas rupiah.”
Berbagai sentimen dan persepsi negatif di dalam negeri juga memperparah pelemahan rupiah. Nilai transaksi derivatif perbankan miliaran dolar, kata Anton, telah membuat risiko keuangan Indonesia meningkat. Itu ditunjukkan oleh naiknya harga credit default swap sekitar 600 basis point. Credit default swap merupakan premi asuransi yang dibeli investor surat utang untuk mengamankan risiko gagal bayar atas surat utang itu.
Ada juga keraguan pelaku pasar atas nilai utang dolar sebesar US$ 17 miliar milik korporasi di Indonesia yang jatuh tempo tahun ini. Pelaku pasar khawatir nilai utang valuta asing yang jatuh tempo lebih besar lagi. ”Bank Indonesia sebaiknya meredam berbagai persepsi negatif itu,” kata Anton.
Terlepas dari faktor-faktor yang melatarbelakanginya, pelemahan tajam rupiah tak bisa dipandang enteng. Saat ini saja, kata Yudhi, perbankan nasional sudah tertekan gara-gara nilai tukar masih bercokol di kisaran Rp 12 ribu. Kondisi ini tecermin dari banking pressure index sebesar 0,7, yang lebih tinggi dari batas aman di bawah 0,5.
Banking pressure index adalah sistem peringatan dini untuk mendeteksi kemungkinan terjadinya krisis perbankan di suatu negara. Rupiah dan bunga jangka pendek merupakan variabel yang bobotnya tinggi di samping variabel lain, seperti ekspor, pertumbuhan ekonomi, atau indeks saham. ”Banking pressure index pada level berbahaya pernah muncul menjelang krisis finansial 1998, menjelang penutupan beberapa bank,” katanya.
Sayangnya, mengharapkan rupiah kembali ke kisaran Rp 10-11 ribu dalam waktu dekat rasanya sulit. Terlebih lagi, kata Lindawati, transaksi non-delivery forward (bermain valuta asing tanpa penyerahan dolar yang riil) di luar negeri mematok rupiah pada level 12.300 per dolar. ”Acuan mereka indikator ekonomi kita yang melemah,” ujarnya.
Anton juga memprediksi tekanan atas rupiah masih akan berlangsung sampai pertengahan tahun ini. Terlebih jika Bank Indonesia tidak bisa mengurangi persepsi negatif di dalam negeri. ”Pertengahan tahun 2009 rupiah diperkirakan pada level 12.300 per dolar,” katanya.
Yudhi menyarankan Bank Indonesia tidak membiarkan rupiah melemah tajam terlalu lama dan berkepanjangan. Jika penguatan rupiah bisa terlaksana, dia optimistis pada pertengahan 2009 rupiah bisa menguat di bawah 10 ribu per dolar karena tekanan sudah jauh berkurang. Akhir 2009, rupiah baru akan melemah lagi ke kisaran 10.500 per dolar.
Menurut Anton, pelemahan tajam yang berkepanjangan berisiko. Investor, terutama asing, bisa berbondong-bondong keluar dari pasar obligasi. Harga surat utang ini pun bisa ambruk dan merugikan perbankan yang banyak memegang surat utang negara (SUN). ”Laba perbankan bisa tergerus,” katanya. Selain itu, hal ini akan mendorong depresiasi yang tajam. Harga barang naik, inflasi pun melonjak. Nantinya, Bank Indonesia menjadi tak leluasa menurunkan bunga acuan (BI Rate). ”Jelas ini tak baik bagi perekonomian,” ujar Yudhi.
Agar perbankan tetap aman, para bankir berharap rupiah tidak melewati 12.500 per dolar. ”Jangan lewat dari level itu,” kata Sukatmo. ”Asal Bank tidak berspekulasi dengan dolar, seharusnya aman-aman saja,” kata Wakil Presiden Direktur Bank Central Asia Jahja Setiatmadja menambahkan. Semua itu tentu bergantung pada Bank Indonesia. Janji Hartadi bahwa bank sentral akan tetap berada di pasar untuk menjaga rupiah mestinya bisa mengerek kembali mata uang Indonesia ini.
Padjar Iswara, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo