Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan tingginya impor gula disebabkan produksi dalam negeri tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan, khususnya industri. "Impor itu untuk industri," ujarnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan data yang dirilis Statista, Indonesia tercatat sebagai negara pengimpor gula terbesar. Sepanjang 2017-2018, total impor gula sebanyak 4,45 juta ton. Setelah itu diikuti Cina 4,2 juta ton dan Amerika Serikat 3,11 juta ton.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Darmin menjelaskan, impor gula untuk industri diberikan berdasarkan rekomendasi Kementerian Perindustrian. Selain produksi dalam negeri tidak mencukupi, kata dia, impor dilakukan karena kualitas produksi gula nasional belum memenuhi standar industri. Terlebih, untuk kebutuhan industri makanan dan minuman, kualitas gula harus memenuhi standar International Commission for Uniform Methods of Sugar Analysis (ICUMSA).
Selama 2018, pemerintah menetapkan impor gula mentah untuk industri rafinasi sebesar 3,6 juta ton. Sedangkan untuk periode Januari-Mei 2019, kuota impor yang diberikan sebanyak 1,1 juta ton guna menambal kebutuhan konsumsi.
Deputi Pangan dan Pertanian Kementerian Koordinator Perekonomian, Musdhalifah Machmud, menuturkan kebutuhan konsumsi gula sebesar 2,9 juta ton dan industri 3,2 juta ton per tahun. "Sedangkan yang bisa diproduksi dalam negeri hanya 2,1 juta ton per tahun," ucapnya.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengatakan kebutuhan gula industri cukup besar, khususnya untuk industri makanan dan minuman. Sejauh ini, produksi gula dalam negeri hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi. Untuk tahun ini, kebutuhan gula untuk industri mencapai 3,6 juta ton. "Untuk realisasinya, kami belum tahu. Kami hanya merekomendasikan. Tahun lalu sekitar 3 juta," tuturnya.
Achmad memperkirakan, pada 2019, impor gula untuk kebutuhan industri mencapai 2,8 juta ton. Menurut dia, pemerintah berupaya menekan volume impor. Salah satunya dengan menggenjot investasi di bidang industri gula yang terintegrasi dengan kebun. Selama ini, kata dia, sudah ada tiga komitmen dari investor untuk berinvestasi di sektor ini. Hal ini diharapkan bisa mewujudkan swasembada nantinya.
"Tidak semua industri harus impor, tergantung jenis industrinya. Ada industri kecil dan menengah, lalu ada industri makanan dan minuman," katanya. "Besarnya kebutuhan itu belum tentu semua diimpor."
Ekonom senior dari Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyoroti besarnya nilai impor gula untuk kebutuhan nasional menjelang pemilihan umum. Dalam cuitannya di media sosial, Faisal menuding adanya praktik rente yang berpotensi memperlebar defisit neraca perdagangan.
Menurut dia, pemerintah belum bisa sepenuhnya menekan defisit perdagangan apabila tidak memerangi praktik pemburuan rente dan memecat Menteri Perdagangan. "Saya baru bisa menyampaikan seperti di Twitter. Sebaiknya diinvestigasi. Hal serupa juga terjadi pada impor garam, besi, dan juga ban," ujarnya, kemarin.
Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance, Rusli Abdullah, menilai ketidakakuratan data permintaan dan penawaran gula yang belum aktual menjadi penyebab impor tinggi. Hal tersebut, kata dia, sering terjadi pada komoditas yang melibatkan tanah sebagai produksi. "Untuk masalah konsumsi gula, terkadang data dari kita masih belum bisa menuju pada tahap yang aktual," ucapnya.
Selain itu, beberapa faktor lainnya adalah keterbatasan lahan dan kapasitas mesin pabrik yang tidak optimal. Di Indonesia, Rusli melanjutkan, tidak semua pabrik beroperasi penuh karena kurangnya pasokan tebu. Sehingga kinerja pabrik tidak dalam kondisi full capacity. Apalagi tebu merupakan tanaman musiman.
Menurut Rusli, kalangan pengusaha enggan membangun pabrik gula. "Kalau pasokan tebu diperbanyak, setahun mungkin terus produksi. Namun suplai terbatas karena petani lebih tertarik pada tanaman lain," tuturnya.
Selain itu, Rusli menduga ada kebocoran dalam impor gula. Besarnya kuota impor untuk industri sering bocor untuk konsumsi rumah tangga. Pasalnya, gula rafinasi yang dijual kepada industri harganya lebih rendah. Sedangkan gula yang dijual untuk konsumsi rumah tangga lebih mahal. LARISSA HUDA
Indonesia Importir Gula Terbesar
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo