Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kepala Center for Sharia Economic Development (CSED) Indef, Nur Hidayah, mengatakan Indonesia memiliki potensi besar mengembangkan instrumen keuangan hijau berbasis syariat atau sukuk hijau. Namun literasi dan inklusi keuangan syariat masyarakat masih rendah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penerbitan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk hijau pertama kali diumumkan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, pada 2018. Menurut Hidayah itu jadi pembuka peluang investasi hijau berbasis syariat. “The first global green sukuk, kita menjadi negara pelopor yang menerbitkan green sukuk,” kata dia pada diskusi Peluang Ekonomi Hijau dan Bisnis Syariah di Universitas Paramadina, Cikarang, Sabtu, 30 November 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hidayah memaparkan, respons masyarakat terhadap obligasi hijau berbasis syariat cukup baik kala itu. Pada Maret 2018 tercatat pembiayaan yang didapat dari penerbitan sukuk hijau senilai US$ 1,25 miliar. Hingga akhirnya pemerintah meneruskan penerbitannya.
Tahun ini pemerintah juga menerbitkan sukuk hijau. Menyitir laman Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, pemerintah telah membuka penawaran green sukuk seri ST013T4. Seri ini memiliki tenor 4 tahun dan ditawarkan mulai 8 November hingga 4 Desember 2024.
Investasi jenis ini kata Hidayah, berkontribusi melestarikan lingkungan sekaligus memperkuat keuangan syariah dalam negeri. Potensi investor di obligasi sukuk hijau menurut dia besar, karena Indonesia merupakan negara dengan mayoritas penduduk muslim. Namun saat ini literasi dan inklusivitas masyarakat masih rendah. Menurut dia, selain edukasi pemerintah perlu membangun jaringan dan kolaborasi. “Dengan organisasi, terutama misalnya untuk filantrofi Islam,” ujarnya.
Rendahnya literasi masyarakat terhadap Industri keuangan syariah sebelumnya sempat dipaparkan Wakil Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Mirza Adityaswara. Dia mencontohkan sektor perbankan, meski aset tercatat meningkat tapi minat masyarakat masih kurang. Ada 61,9 persen warga yang telah memahami literasi keuangan syariah. “Namun baru sedikit yang menggunakan perbankan syariah yaitu hanya sekitar 8,7 persen.”
Sektor pasar modal juga menghadapi tantangan yakni kurangnya literasi dan inklusi keuangan. Tingkat literasi dan inklusi masyrakat terhadap pasar modal syariah masing-masing sebesar 5,5 persen dan 0,4 persen. “Artinya dari 1000 masyarakat yang tahu literasi dan inklusi, hanya 55 dan 4 orang yang sudah jadi investor,” ujarnya.