Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Peneliti Climate Rights International (CRI) Krista Shennum mendesak pemerintah Indonesia memastikan aktivitas penambangan dan peleburan nikel tidak menyebabkan kerusakan serius pada lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) bagi masyarakat, terutama masyarakat adat. Sebab, hasil riset CRI yang berjudul "Nikel Dikeduk: Dampak Industri Nikel di Indonesia terhadap Manusia dan Iklim" mengindikasikan adanya dugaan pelanggaran tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam risetnya, Krista menyebut pembangunan dan pengoperasian kawasan industri PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) serta di sekitar pertambangan nikel di Halmahera, Maluku Utara, menghancurkan kehidupan masyarakat adat dan anggota masyarakat lain. Selain itu, menyebabkan kerusakan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Setidaknya ada 5.331 hektare hutan tropis ditebang di dalam konsesi pertambangan nikel di Halmahera. Ini menyebabkan hilangnya sekitar 2,04 metrik ton gas rumah kaca yang sebelumnya tersimpan di sana bentuk karbon," kata Krista dalam konferensi pers di Jakarta Pusat, Rabu, 17 Januari 2024.
Dampak lingkungan lainnya adalah polusi udara lantaran PT IWIP masih menggunakan pembangkit listrik tenaga uap di luar jaringan atau captive power plant. Pembangkit tersebut diduga menggunakan batu bara kualitas rendah sehingga polusi yang dihasilkan lebih buruk.
Tak cuma itu, lanjut Krista, masyarakat sekitar juga kehilangan akses terhadap air bersih dan mata pencaharian tradisional. Ia berujar, masyarakat yang sebelumnya berprofesi sebagai nelayan kehilangan pekerjaan lantaran sumber perikanan ikut rusak.
Adapun temuan ini dihasilkan Kresta melalui wawancara yang dilakukan kepada 45 warga di sekitar kawasan pertambangan. Selain persoalan lingkungan, dalam penelitiannya, Krista mendapati indikasi pelanggaran HAM berupa upaya perampasan tanah dalam proses akuisisi lahan oleh perusahaan.
"Ada diduga aparat keamanan yang datang pada jam-jam rawan, dini hari, untuk memaksa warga menjual lahannya," kata dia.
Krista pun menyayangkan hal ini lantaran terjadi di kawasan industri yang nikel hasil produksinya ditengarai dikirim ke produsen baterai kendaraan listrik. Ia berujar, transisi dari kendaraan berbahan bakar minyak ke kendaraan listrik adalah bagian penting menuju transisi energi. Karena itu, tidak seharusnya aktivitas yang merusak lingkungan menjadi bagian dari kegiatan ini.
"Industri otomotif global yang mengambil pasokan nikel dari Indonesia, termasuk Tesla, Ford, dan Volkswagen, harus mengambil langkah untuk memastikan bahwa nikel yang digunakan dalam kendaraan listrik mereka tidak melanggar HAM dan kerusakan lingkungan," kata Krista.
Pilihan Editor: Lumbung Ikan Nasional di Maluku Batal Diwujudkan SBY dan Jokowi, Anies: Akan Kami Bangun