Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - India saat ini tercatat sebagai produsen gandum terbesar kedua di dunia setelah Cina. Namun, sejak 13 Mei 2022, pemerintah India secara resmi memberlakukan kebijakan larangan ekspor gandum ke luar negeri. Bukan tanpa alasan, keputusan ini diambil karena dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kementerian Perdagangan India dalam konferensi pers menuturkan, larangan ekspor gandum ini dilakukan untuk mengelola ketahanan pangan domestik. “Ini demi menjaga ketahanan stok pangan negara secara keseluruhan dan mendukung kebutuhan negara-negara tetangga,” kata pejabat pemerintah India dikutip dari Times of India.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah stok gandum di India tidak terlepas dari imbas perang Ukraina dan Rusia. Sebelum perang, kedua negara yang bertikai tersebut menyumbang sepertiga dari ekspor gandum global. Namun, sejak invasi Rusia pada 24 Februari, sejumlah pelabuhan Ukraina diblokir dan infrastruktur sipil maupun pabrik biji-bijian dihancurkan.
Akibatnya, harga gandum dunia meningkat lebih dari 40 persen, sebagaimana mengutip Reuters. Pada saat yang sama, hasil produksi atau panen gandum India sendiri mengalami krisis. Hal ini tak lain disebabkan fenomena gelombang panas yang melanda sebagian besar wilayah India pada pertengahan Maret 2022.
Pemerintah India yang sebelumnya menargetkan hasil panen gandum sebesar 111,32 juta pun terganggu. Lebih-lebih India saat ini sedang menghadapi tekanan inflasi pada April 2022 yang naik sampai 7,79 persen. Situasi inilah yang kemudian memaksa India untuk memprioritaskan kebutuhannya sendiri terlebih dahulu. Salah satunya, yakni dengan melarang ekspor gandum ke dunia.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, mengungkapkan, kebijakan restriksi yang diambil India itu bakal memperparah kelangkaan pasokan gandum di pasar global. Ini termasuk berdampak pada harga pangan di Indonesia. Pasalnya, ia memprediksi kenaikan harga gandum kali ini tidak bisa diserap pelaku usaha.
“Saya rasa kita tetap akan merasakan efek negatif kenaikan inflasi dan harga jual produk makanan dan minuman turunan gandum di pasar domestik,” kata Shinta dikutip dari Koran Tempo edisi Selasa, 17 Mei 2022.
Mengatasi hal ini, dirinya menyarankan agar pemerintah Indonesia mengambil kebijakan intervensi. Misalnya, melontarkan subsidi ataupun mengeluarkan kebijakan yang bisa memperkuat nilai tukar. Dengan demikian, ujar Shinta, penurunan daya beli masyarakat dan inflasi akibat harga gandum bisa dikendalikan.
HARIS SETYAWAN