Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Demi Tegaknya Persamaan

Investasi sedikit turun sejak PPN dan PPn-BM diberlakukan di Batam. Tapi pengusaha justru diuntungkan.

22 Maret 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

John Kennedy Aritonang sudah tiga bulan ini tak merasa nyaman. Setelah pemerintah secara bertahap memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPn-BM) di Batam mulai Januari lalu, Ketua Himpunan Kawasan Industri (HKI) Batam ini tak pernah henti berkeluh-kesah. Sejak awal 2004, John mengaku sulit mencari investor yang mau masuk ke kawasan industrinya, PANBIL, yang terletak di kawasan Muka Kuning, Batam. "Susah. Batam kini tak ada bedanya dengan daerah lain," kata John sambil menggaruk-garuk kepalanya yang berambut cepak.

Sejak Januari lalu, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 63/2003, pemerintah mulai mencabut fasilitas bebas PPN dan PPn-BM untuk kendaraan bermotor, minuman beralkohol, serta produk rokok dan hasil-hasil tembakau. Awal bulan ini, daftar produk yang terkena dua jenis pajak tersebut ditambah dengan elektronik. Dan pada pertengahan tahun 2005, tak ada lagi barang yang bebas pajak di Batam. Daerah yang dikenal sebagai etalase Indonesia ini sekarang tak ubahnya seperti wilayah Indonesia yang lain.

Penghapusan keistimewaan itulah yang dikeluhkan John dan juga banyak pengusaha lain di Batam. "Kini apa lagi yang bisa saya tawarkan untuk menarik investor ke sini?" kata John. Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam, Abidin Hasibuan, menambahkan bahwa perusahaannya, PT Satnusa Persada, sudah kehilangan 5.000-an karyawan gara-gara kinerja usahanya merosot. Seperti John, ia menuding penghapusan fasilitas bebas pajak, terutama untuk produk elektronik, sebagai biang keladi kemerosotan usaha di Batam. "Hampir 90 persen modal asing di Batam bergerak di industri teknologi tinggi, termasuk elektronik," tuturnya.

Abidin pun menyodorkan perhitungannya. Sebelum ada gonjang-ganjing ini, Batam sudah sulit mempertahankan modal asing yang ada karena upah buruh di Vietnam dan Cina 18 persen lebih murah. Kini, setelah ada pengenaan pajak, upah di Batam jadi 58 persen lebih mahal dibanding di dua negara itu. Menurut Abidin, berbagai kebijakan itu akan memicu kenaikan harga-harga, yang akhirnya berdampak naiknya upah pekerja. Biaya produksi pun ikut melonjak. Abidin yakin sekitar 40 persen investor di Batam akan hengkang pada tahun 2007 jika pemerintah tetap memaksakan kebijakan tersebut.

Benarkah begitu menyeramkan? Tak semua sependapat dengan John dan Abidin. Heru Santoso salah satunya. Petinggi PT National Gobel yang juga mengelola tiga pabrik Matsushita di Batam itu mengaku sama sekali tak menghadapi masalah dengan peraturan baru tersebut. Malahan, peraturan yang baru ini memudahkan perusahaan yang benar-benar memiliki kegiatan produksi dan barangnya memang diekspor, bukan dijajakan di Batam dan wilayah Indonesia yang lain. "Kerepotan hanya terjadi di awal-awal karena harus ikut pendataan ulang pajak dan kepabeanan," ujarnya.

Heru mencontohkan urusan pembayaran pajak. Sebelum ini, perusahaan yang ada di kawasan berikat (bounded zone) harus membayar pajak terlebih dulu, baru kemudian hal itu dikembalikan melalui mekanisme restitusi. Kini, produk-produk ekspor mereka sudah bebas pungutan pajak sejak awal. "Lebih baik, karena kalau pakai restitusi rawan 'disunat' kiri-kanan," kata Heru. Menurut Heru, pemerintah memang harus memilih membangun industri dengan benar atau mau tetap memanjakan para pedagang.

Dan pilihan sudah ditentukan. Direktur Bina Industri Elektronik dan Teknologi Informasi Departemen Perindustrian dan Perdagangan, Putu Surya Wirawan, di depan 40-an pengusaha di kawasan Batamindo, awal Februari lalu, menjamin bahwa dengan peraturan baru itu para pengusaha justru akan lebih aman dari pungutan liar. "Banyak meja administrasi yang terhapus," kata tenaga pengkaji bidang pembinaan dan penertiban sumber daya manusia Direktorat Jenderal Pajak, Djangkung Sudjarwadi.

Djangkung menambahkan bahwa peraturan yang baru memang mempertegas mana saja komoditas yang terkena pajak dan mana barang-barang yang terbebas dari pajak. Dengan kepastian perpajakan itu pula, katanya, pemerintah berharap bisa mengurangi penyelundupan yang selama ini diduga marak dengan memanfaatkan fasilitas Batam yang begitu bebas.

Penghapusan fasilitas bebas pajak ini pada ujungnya akan menambah pendapatan Pemerintah. Pada tahun pertama saja, diperkirakan akan ada pemasukan sekitar Rp 300 miliar-400 miliar dari dua jenis pajak tersebut. Lebih dari itu, pemerintah juga tak ingin menjadikan Batam anak emas. Seperti kata Menteri Keuangan Boediono, prinsip perlakuan yang sama harus ditegakkan di seluruh wilayah Republik. "Daerah miskin seperti Gunung Kidul saja harus memenuhi kewajiban perpajakan nasional," katanya suatu kali.

Kepala Otorita Batam, Ismeth Abdullah, yang semula keras menentang pemberlakuan pajak itu, pun kini tampaknya mulai bisa menerima (lihat wawancara dengan Ismeth Abdullah). Walaupun mengakui adanya penurunan investasi 16 persen sejak peraturan baru tersebut berlaku, ia menganggap hal itu lebih disebabkan oleh faktor-faktor lain. Namun, Ismeth minta agar pemerintah segera menetapkan status Batam: apakah menjadi kawasan perdagangan bebas secara keseluruhan (free trade zone) ataukah seperti sekarang terbatas pada kawasan berikat.

Kepastian ini berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, yang diusulkan Pemerintah Kota Batam, DPRD Batam, dan Otorita Batam. Sejauh ini, rancangan yang diajukan tiga tahun lalu itu belum masuk dalam agenda DPR. "Kalau tidak setuju, pemerintah bilang saja dengan tegas," kata Irmadi Lubis, Wakil Ketua Komisi Perindustrian, Perdagangan, dan Investasi DPR.

Permintaan itu sebetulnya tak perlu lagi diajukan karena pemerintah memang berniat menjadikan Batam hanya sebagai kawasan berikat. Jika dijadikan kawasan perdagangan bebas, kata Putu, Singapura juga yang untung. Indonesia cuma mendapat ampas dan barang selundupan. Dan bisa-bisa Batam cuma jadi cabang Singapura.

Y. Tomi Aryanto, Rumbadi Dale (Batam)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus