Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan atau KKP, Susi Pudjiastuti sempat membuat kebijakan yang dilarang dilakukan oleh negara. Namun, kebijakan itu justru diperbolehkan oleh Menteri KKP saat ini, Sakti Wahyu Trenggono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lalu, apa saja kebijakan yang dulu dilarang oleh Susi dan kini malah diperbolehkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebijakan Benih Benur Lobster
Susi pernah membuat peraturan tentang pelarangan penangkapan benih benur lobster. Regulasi itu tertuang di Peraturan Menteri (Permen) KP Nomor 56 Tahun 2016 tentang Larangan Penangkapan dan atau Pengeluaran Lobster, Kepiting, dan Rajungan dari Indonesia.
Meskipun demikian, regulasi yang dibuat era Susi telah diubah oleh menteri KKP selanjutnya yakni Edhy Prabowo. Ihwal perubahan aturan itu menjadi Permen KP Nomor 12 Tahun 2020.
Adanya penetapan aturan itu menjadi polemik di masyarakat. Pasalnya, aturan mengenai pelaksanaan ekspor benur penuh kejanggalan, sehingga menyebabkan Edhy ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan dugaan suap pengurusan izin ekspor benur.
Dikutip dari Majalah Tempo edisi 27 Februari 2021, saat itu Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono berujar ekspor benur tidak pernah diizinkan. Ia mengatakan sedang mempersiapkan pengganti Peraturan Menteri KP Nomor 12 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan di Wilayah Negara Republik Indonesia.
"Sedang dalam proses semua. Peraturan menteri tidak bisa berdiri sendiri. Harus diundangkan, disampaikan di level menteri koordinator, dan seterusnya. Tapi yang pasti ekspor benur tidak akan pernah diizinkan," jelasnya saat wawancara khusus dengan Tempo di kantornya, Jumat, 19 Februari 2021.
Adanya peraturan itu, kini KKP telah menetapkan regulasi baru terkait benih lobster. KKP menetapkan Permen KP Nomor 7 tahun 2024 tentang pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan pada, 18 Maret 2024.
Meskipun demikian, tiga bulan setelah ditetapkannya peraturan itu, terjadi kasus penyelundupan benih benur lobster atau BBL. Penyelundupan itu terjadi di dua tempat yakni di Cilacap dan Banyuwangi.
Adanya penyelundupan BBL, Tim Satgas Second Fleet Quick Renponse (SFQR) Pangkalan TNI AL Cilacap menggagalkan upaya penyelundupan 16.000 ekor BBL pada Rabu, 12 Juni 2024. Bersama tim PSDKP, mereka menangkap pria berinisial FAS, 31 tahun, asal Tasikmalaya.
FAS ditangkap dengan barang bukti BBL berupa 2.400 ekor BBL jenis mutiara dan 13.600 ekor jenis pasir yang dikemas dalam 16 boks. Saat itu dia mengaku sebagai kurir atas perintah seseorang berinisial O di Pangandaran, Jawa Barat. Dia mendapatkan imbalan senilai Rp500.000 sampai Rp 1 juta dalam sekali kirim.
Sementara penangkapan di Banyuwangi, Satgas SFQR menangkap HS, 46 tahun dan MS (63). Keduanya akan menyelundupkan BBL sebanyak 9.244 ekor. Keduanya ditangkap setelah dipantau berada di salah satu rumah warga di Grajagan, pada Ahad, 2 Juni lalu. Keduanya ditangkap saat akan membawa BBL ilegal ini dengan mobil.
Selanjutnya baca: Kebijakan pemerintah tentang ekspor pasir laut
Kebijakan Pemerintah kembali membuka keran ekspor pasir laut setelah 20 tahun dilarang, menuai kritik dari beberapa pihak. Salah satunya yakni Mantan Menteri KKP, Susi Pudjiastuti yang mengecam tindakan tersebut.
Dalam unggahan akun X milik Susi, @susipudjiastuti pada Rabu, 18 September 2024, mengatakan pemerintah boleh mengambil pasir atau sedimen yang mengendap di pesisir laut. Namun alih-alih diekspor, dia mengimbau pasir atau sediman itu digunakan untuk meninggikan wilayah seperti Pantai Utara atau Pantura Jawa.
Menurutnya, wilayah itu kini sudah parah karena mengalami abrasi. Bahkan, kata Susi, sebagian di antaranya sudah tenggelam. Dia meminta pemerintah mengembalikan tanah daratan dan sawah-sawah rakyat di Pantura.
“BUKAN DIEKSPOR!! Andai dan semoga yg mulia yg mewakili rakyat Indonesia memahami. Terimakasih,” ucapnya.
Sementara itu, dikutip dari Majalah Tempo edisi 11 Juni 2023, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 23 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, sempat menuai kontroversi. Hal itu dikarenakan aturan itu dibuat tanpa kajian ilmiah yang mendalam, serta membuka kembali keran ekspor pasir laut yang ditutup sejak 2003.
Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono, menjelaskan alasan penerbitan kembali peraturan sedimen laut itu. Ia mengatakan PP Nomor 26 Tahun 2023 mencegah kerusakan lingkungan dari adanya pemakaian material untuk reklamasi.
"Saya berpendapat, pemakaian material reklamasi dari pasir laut akan merusak lingkungan. Karena itu, saya stop (penambangan pasir) di Pulau Rupat (Riau)," ujarnya di Hotel AP Premier Batam, Kepulauan Riau.
Lebih lanjut, Trenggono menegaskan bahwa sedimentasi laut yang dimaksud berupa timbunan. Ia tidak menjelaskan secara detail terkait timbunan yang dimaksud. Namun, Trenggono mengatakan nantinya hasil sedimentasi laut digunakan untuk kepentingan dalam negeri.
"Kalau pasir laut diizinkan, yang dipantai bisa habis. Sedimen ini timbunan. Kalau memang untuk kepentingan dalam negeri, kenapa dilarang? Karena itu juga bisa bermanfaat untuk kepentingan bangsa. Kebutuhan material untuk reklamasi tidak kurang dari 20 miliar kubik di dalam negeri," jelas Trenggono.
Sementara itu, juru bicara Menteri Kelautan dan Perikanan, Wahyu Muryadi, membantah eskpor pasir laut kembali dibuka karena ada desakan dari para pengusaha. Ia menegaskan kebijakan tersebut semata-mata untuk memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun yang memenuhi syarat dalam berusaha pemanfaatan sedimentasi di laut.
Pemanfaatan sedimentasi itu diklaim sebagai tindak lanjut Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023. "Urusan kami semata-mata, ya bagaimana memenuhi kebutuhan dari reklamasi atau pembangunan di sekitar pantai segala, membangun infrastruktur," katanya pada Tempo.
Secara prinsip, menurut dia, reklamasi yang dilakukan itu untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Reklmasi juga dilakukan dengan mempertimbangkan masukan dari ahli oseanografi maupun ahli lingkungan lintas-kementerian dan lembaga. "Itu diperbolehkan dengan syarat ketat, yaitu melalui uji tuntas, dan ada tim kajian."
Dia mengatakan, sebelum diterbitkan PP 26/2024 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut, tahapan pengkajiannya dilakukan selama dua tahun. Peraturan ini menjadi rujukan penerbitan izin ekspor pasir laut oleh Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan atau Zulhas. Pembukaan keran ekspor pasir laut diatur dalam dua revisi Peraturan Menteri Perdagangan di bidang ekspor.