Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BELUM genap setahun banting setir berbisnis, Ahmar Hariyadi kini bisa membawa pulang uang yang cukup lumayan tiap bulan. Rata-rata omzet penjualan rendang yang ditawarkan anak muda 25 tahun itu secara online mencapai Rp 8 juta per bulan.
Pemilik bisnis kuliner Rendang Mia ini menawarkan tiga jenis produk makanan khas Sumatera Barat itu, yakni rendang daging, rendang paru, dan rendang abon. "Rendang online lain bisa tahan setahun, sedangkan rendang buatan saya hanya bertahan 3-6 bulan karena tidak pakai pengawet," kata bekas anggota staf pemaÂsaran di sebuah perusahaan media sosial itu Kamis pekan lalu.
Dengan memanfaatkan media sosial, seperti Twitter dan Facebook, Rendang Mia yang berbasis di Jagakarsa, Jakarta Selatan, ini gencar membidik konsumen yang tak mau repot membeli produk makanan khas secara langsung. "Selain berkompetisi di kualitas rasa, saya harus bisa memvisualisasi laman online sehingga orang tertarik," ucap Ahmar, yang masih berstatus mahasiswa.
Rendang Mia menawarkan dua jenis rendang daging, dengan rasa ekstrapedas dan biasa, masing-masing seharga Rp 150 ribu dan Rp 140 ribu per 500 gram. Tak hanya melayani pengantaran di wilayah Jakarta, rendangnya bisa diantar ke luar kota.
Ada Rendang Mia, ada pula Rendang William Wongso yang menggunakan daging wagyu dan harganya Rp 500 ribu per kilogram. "Dengan teknik pembuatan yang teliti, daging wagyu dapat tetap terjaga teksturnya, tidak menjadi hancur dalam proses pembuatan rendang," begitu promosi yang terdapat di situsnya.
Booming rendang tak lepas dari penobatan produk ini sebagai makanan terlezat di dunia oleh CNNGo.com, Juli tahun lalu. William Wongso memprediksi cita rasa kuliner Indonesia yang kompleks karena mengandung rasa pedas, kecut, asin, dan manis itu di masa mendatang masih akan diincar penikmat kuliner. Sayangnya, saat ini sangat sulit mencari koki yang bisa memasak menu asli Indonesia.
Ditambah lagi, pendekatan pemerintah masih minim di dunia internasional. Bandingkan saja dengan kuliner asal India dan Thailand, yang mudah berekspansi ke luar negeri. "Jadi kalah pamor." Untungnya, ada pasar lokal yang sangat besar. Namun pengusaha kuliner harus terus berinovasi menciptakan produk baru dan mengoptimalkan berbagai strategi pemasaran.
Inovasi di bidang kuliner muncul berupa strategi pengemasan dan pemasaran. Gudeg Bu Tjitro, yang biasanya dikemas dalam besek atau wadah tanah liat berbentuk mirip kendi untuk dibawa ke luar kota, kini sudah bertransformasi dalam bentuk kaleng.
"Sebagian besar omzet bisnis malah berasal dari gudeg kaleng ketimbang penjualan di warung," ujar Jatu Dwi Kumalasari, pengelola warung gudeg Bu Tjitro 1925 di Jalan Janti, Yogyakarta (lihat "Gudeg Kaleng Pengobat Rindu").
Berkat inovasi itu, kendati hanya membuka dua warung makan di Yogyakarta dan empat warung makan di Jakarta, Gudeg Bu Tjitro bisa bertahan. Padahal sekarang begitu banyak merek gudeg baru muncu.
Lihat saja belasan warung gudeg yang beroperasi di sisi timur Jalan Wijilan, Yogyakarta. Delapan tahun lalu, kata pemilik Warung Gudeg Bu Widodo, Suhartuti, baru ada beberapa pemilik warung yang berjualÂan, seperti Bu Lies, Bu Slamet, Bu Wiwik, Yu Djum, dan Gudeg Sebelas.
Pola pemasaran unik juga dilakukan keripik singkong pedas Maicih yang mengerahkan para agennya yang disebut "jenderal" di jejaring sosial Twitter. Dengan akun @infomaicih yang telah memiliki 374.923 pengikut, lokasi dagangnya hingga kini masih berpindah-pindah.
Ketua Jalansutra Bondan Winarno juga menyayangkan minimnya perhatian pemerintah terhadap industri goyang lidah ini. Padahal momentum tumbuhnya kelas menengah ini harus dimanfaatkan dan pemerintah berkewajiban membuat kuliner Indonesia bukan sekadar jago kandang.
Promosi kuliner nasional ke luar negeri, menurut Bondan, amat minim dan tidak efektif, terlebih jika dibandingkan dengan gempuran pemasaran kuliner Malaysia dan Singapura. Bondan menunjuk upaya Mari Pangestu sewaktu menjadi Menteri Perdagangan, yang sempat mendanai program Taste of Indonesia di Asia Food Channel selama satu musim sebanyak 13 episode. Tapi, setelah itu, pendanaan dihentikan. "Sedangkan Malaysia punya lebih dari 20 program di stasiun televisi itu."
Direktur Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Firmansyah Rahim mengakui belum ada alokasi anggaran pengembangan kuliner karena baru masuk menjadi sektor dari ekonomi kreatif. "Jadi semua baru didesain, dimulai dari pemikiran dulu," ucapnya.
Syukurlah Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Pangestu menyadari kuliner berperan penting untuk memajukan perekonomian Indonesia. Dari segi pengeluaran, diperkirakan 16-19 persen belanja wisatawan mancanegara dan wisatawan Nusantara adalah untuk wisata kuliner. Sedangkan pengeluaran lainnya sekitar 20 persen untuk belanja, termasuk oleh-oleh makanan olahan dan suvenir. "Kuliner Indonesia potensinya luar biasa, sudah saatnya go international," ujar Mari.
R.R. Ariyani, Ayu Prima Sandi, Ananda Teresia, Rosalina, Ukky Primartantyo (Solo), Anang Zakaria (Yogyakarta)
Gudeg Kaleng Pengobat Rindu
Adintasari Putriani tak lagi risau bila tiba-tiba diusik rasa kangen terhadap masakan rumah seperti Gudeg Bu Tjitro. Meski dipisah jarak ribuan kilometer dari kampung halamannya, ia tetap bisa menikmati kuliner khas Yogyakarta tersebut.
Perempuan yang akrab disapa Putri dan kini tinggal di Kuwait itu ternyata sudah punya stok beberapa kaleng Gudeg Bu Tjitro yang dibawanya saat pulang kampung tahun lalu. "Lumayan banget untuk mengobati rindu," ujarnya pekan lalu.
Inovasi lewat pengemasan gudeg di dalam kaleng dinilai efektif menjawab kebutuhan pasar akan kuliner tradisional yang bisa tahan lama tanpa perubahan rasa. Sebelumnya, paling banter gudeg dikemas di kendil. "Gudeg kendil tahan tak lebih dari 48 jam," kata Jatu Dwi Kumalasari, pengelola warung gudeg Bu Tjitro 1925 di Jalan Janti, Yogyakarta.
Proyek gudeg kalengan ini bermula pada 2010 dengan menggandeng Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Mulanya gudeg dimasak di dapur warung, kemudian dikirim ke LIPI untuk dikemas dalam kaleng. Dalam sepekan dilakukan dua kali produksi dan dihasilkan 3.000 kaleng gudeg.
Tahun depan, Jatu berencana meningkatkan produksi menjadi tiga kali dalam seminggu. Dengan harga jual Rp 20 ribu per kaleng dan berat bersih 210 gram, gudeg kaleng kini menjadi darah baru bisnis makanan yang sempat memudar namanya karena ketatnya persaingan gudeg di kota pelajar tersebut.
Dari hitungan kasar keuntungan bersih Rp 3.000 per kaleng, Jatu bisa membukukan keuntungan minimal Rp 36 juta per bulan. Pemasaran gudeg kaleng pun berkembang dari awalnya hanya dijual di warung menjadi dijual secara online lewat reseller dan merambah ke pasar swalayan lokal, seperti Mirota dan Pamela. Kini pasar terbesar gudeg kaleng berasal dari Jabodetabek dan Bandung.
Selain membangun dapur baru dan meningkatkan produksi, Gudeg Bu Tjitro berencana merilis varian baru gudeg kaleng dengan rasa pedas. Berbeda dengan rasa gudeg yang selama ini dikenal manis, menurut Jatu, gudeg pedas itu untuk menjawab permintaan pasar, khususnya dari luar Jawa.
R.R. Ariyani, Anang Zakaria (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo