Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Virus Festival Busana dari Jember

Pekan mode tak hanya ada di Jakarta. Nilai perdagangan busana bisa mencapai Rp 64 triliun.

9 Desember 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SIANG itu, akhir November lalu, kesibukan Dynand Fariz bertambah luar biasa. Sambil memberi pengarahan kepada beberapa anak didiknya, tangan dan matanya tak henti bergerak lincah, membenahi, memperbaiki, dan meneliti beberapa jenis busana. "Persiapan pentas di Jakarta," katanya saat ditemui di gedung Jember Fashion Carnaval Council.

Pekan itu Dynand tengah menyiapkan best costume Jember Fashion Carnaval (JFC) XI untuk tampil di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, awal Desember ini. "Kami harus tampil lebih baik daripada tahun kemarin," katanya dengan mimik wajah serius. Pria 49 tahun itu kini tak hanya ngetop di Jember, kota yang berjarak 190 kilometer di tenggara Surabaya.

Namanya berkibar bersama JFC, yang dipeloporinya. Festival jalanan ini sudah berjalan sejak 2003. Jember tak lagi hanya dikenal sebagai kota tembakau, tapi juga kota mode. "Dulu, ide membikin JFC ditanggapi negatif. Dianggap mimpi di siang bolong karena berlawanan dengan tradisi masyarakat," kata alumnus Jurusan Seni Rupa Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surabaya itu mengenang.Mimpi Dynand saat itu sebenarnya sederhana. Pria yang sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Mode Esmod, Jakarta, itu hanya ingin mendobrak pakem dunia mode. Misalnya model harus tinggi langsing dan bahan pakaian yang digunakan mesti mahal. Dynand ingin membalik aturan tak tertulis itu. "Yang pendek, gendut, dan tua bisa jadi model. Bahan busana juga tak harus kain yang mahal, tapi bisa dari botol plastik, kulit, atau daun kering," ujarnya. Kini namanya mendunia.

Festival Jember tak ayal memicu semangat yang sama di banyak kota di Indonesia, dalam berbagai bentuk. Solo dan Yogyakarta kini punya Pekan Mode, sementara Bandung dan Denpasar mengembangkan pasar mode sebagai alternatif atas merek-merek top dari luar negeri. Pekan mode tak lagi melulu terkonsentrasi di Jakarta, yang sudah jauh lebih dulu punya Jakarta Fashion Week dan Indonesia Fashion Week.

Mengusung konsep yang berbeda, yakni mengangkat produk tradisi Nusantara, Jogja Fashion Week terbukti bertahan sampai tahun keenam dan terus diminati pengunjung. "Event ini tidak berorientasi pada keuntungan, masih idealis," kata Tosa Santosa, konseptor Jogja Fashion Week.

Kota Batik Surakarta bahkan memiliki dua agenda mode tahunan, yaitu Solo Batik Carnival dan Red Batik. Muncul belakangan, Red Batik sengaja didesain berbeda dengan fokus pada pernak-pernik aksesori. "Agar karnaval di Solo semakin variatif," ucap Heru Mattaya, penggagas Solo Batik Carnival dan Red Batik.

Sejumlah agenda karnaval mode di Kota Solo diyakini mampu menopang pertumbuhan ekonomi kreatif setempat. Pada Oktober lalu, misalnya, nilai ekspor batik yang tercatat di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Surakarta mencapai US$ 912 ribu (sekitar Rp 8,6 miliar). Nilai itu melonjak signifikan dari bulan sebelumnya, yang hanya US$ 600 ribu.

Berbeda dengan kota-kota sebelumnya yang rutin menggelar karnaval mode, industri fashion kreatif di Bandung dan Bali justru tumbuh tanpa gegap-gempita peragaan busana kolosal. Industri mode di sana tumbuh dari kata dan gambar. Bandung tumbuh bersama distribution outlet (distro).

Sejumlah distro tumbuh bak cendawan di musim hujan. Salah satu distro yang digandrungi anak muda adalah Unkl347. "Desain kami banyak bermain di tipografi yang simpel. Kebetulan Board of Director Unkl347 punya latar belakang desain grafis dan interior. Jadi sudah khatam dengan selera pelanggan," ujar Eddi Brokoli, Public Relations Promotion Unkl347.

Berawal dari modal patungan yang terus diputar untuk memproduksi kaus lagi, kini Unkl347 sudah beromzet miliaran rupiah dengan produksi 15 ribu potong per bulan. Dengan 90 karyawan, toko ini telah merambah pasar internasional pula dengan tujuan utama Malaysia dan Singapura. "Kami juga sedang menjajaki peluang buka etalase di Perth, Berlin, dan Tokyo," kata Eddi.

Tak jauh beda, industri kaus kreatif juga jadi andalan Denpasar. Pabrik kata-kata Joger sudah terbukti sukses besar dan melekat erat di hati turis yang datang ke Bali. Keberhasilan Joger diikuti BOG-BOG, yang didirikan Made Gede Perama Artha atau Kadek Jango. Dalam sebulan, kaus kartun bertema lingkungan dan perubahan sosial itu menghasilkan lebih dari Rp 600 juta.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu menyatakan selama ini sumbangan industri fashion pada perekonomian kreatif mencapai 40 persen, atau paling besar. Pertumbuhannya di kota-kota kecil terhitung pesat karena pemerintah daerah menaruh perhatian yang cukup. "Bandung dan Provinsi Jawa Barat termasuk daerah yang progresif dalam mengembangkan ekonomi kreatif. Mereka lebih dulu memiliki cetak biru untuk ekonomi kreatif sebelum pemerintah pusat," ujarnya.

Namun perancang dan pengajar mode Susan Budihardjo menilai industri fashion nasional masih perlu perbaikan. Ini terlihat dari belum banyaknya produk fashion yang merambah pasar dunia. "Sebenarnya industri fashion dalam negeri sudah cukup berkembang, sudah bisa jadi tuan rumah di negeri sendiri. Tapi yang go international belum banyak. Kalau tidak punya karakter Indonesia memang sulit, karena justru ini yang diinginkan pasar luar negeri," ucapnya.

Pakar ekonomi kreatif dari Inggris, John Howkins, menyarankan pelaku industri kreatif memperbanyak pemasaran melalui dunia maya. Pemasaran di jalur nontradisional itu dinilainya dapat memuluskan jalan pengusaha untuk go international. "Yang penting punya ide dan keahlian untuk memberi nilai tambah. Tidak perlu modal besar," katanya menyemangati.

Lecutan semangat memang bisa datang dari mana saja.

Mahbub Djunaidy, Ananda Teresia, Risanti, Ketut Efrata, Pito Agustin, Abdi Purnomo, Ahmad Rafiq, Rahma T.W.


Binar Hijab di Dunia tanpa Manekin

PARA perempuan tak harus berburu baju muslim di butik atau department store. Busana yang biasa disebut hijab atau jilbab itu kini bisa dicari di rumah atau di mana saja. Mereka hanya perlu sambungan Internet, tablet, atau telepon pintar. Pilihan modelnya ribuan, yang dibuat oleh banyak desainer. Harganya pun terentang lebar, mulai puluhan ribu hingga jutaan rupiah.

Zaskia Adya Mecca adalah salah satu contoh desainer hijab yang tak ragu membiarkan rancangannya mengembara di dunia maya. Sejak setahun lalu, artis film dan sinetron ini sibuk membangun lini busana muslim lewat jalur online. Lini busana "Zaskia Mecca" dipasarkan melalui situs www.zaskiamecca.com. "Waktu itu aku buat ‘Zaskia Mecca’ bareng teman," ujarnya di kawasan Kemang, 28 November lalu.

Berbekal popularitas di dunia hiburan, baju-baju Zaskia pun laris manis. Respons pasar diakui ibu satu anak itu luar biasa. Dengan modal awal sekitar Rp 80 juta, dalam waktu singkat modal itu kembali ke kantongnya. "Balik modal cuma dalam dua pekan," katanya dengan mata berbinar.

Toko online lain yang juga menjual busana muslimah adalah Hijup.com. Page view mereka kini mencapai angka 850 ribu tiap bulan. Jika seperempatnya saja yang berbelanja, setiap bulan toko itu melayani lebih dari 200 ribu pelanggan. HijUp mantap membidik pelanggan kelas menengah.

Mereka ingin merebut pasar merek asing yang sebelumnya banyak digemari masyarakat dengan pengeluaran US$ 2-20 per hari itu. "Untuk fashion muslimah, yang memiliki kebutuhan spesifik, seperti menutup aurat, tidak ketat, dan tidak transparan, saya kira sulit dipenuhi brand luar negeri," kata Managing Director www.hijup.com Diajeng Lestari kepada Tempo, awal Desember lalu.

Dengan memilih jalur pemasaran online, ada satu keuntungan yang dipetik HijUp, Zaskia Mecca, dan produsen busana muslim lainnya. Pembeli tak hanya datang dari Indonesia, tapi juga dari seluruh penjuru dunia. "Lebih dari 20 pesanan kami datang dari luar negeri. Selain dari Malaysia dan Singapura, pesanan datang dari Amerika dan Inggris," ujar Ajeng.

Alhasil, meski baru berumur satu tahun, HijUp sudah menunjukkan perkembangan luar biasa. Awalnya, hanya ada 12 desainer yang mengisi "lapak" mereka. Kini sudah 58 desainer yang bergabung, seperti Ria Miranda, Jenahara, Temi Smarlin, Monel, dan Kamiidea.

Zaskia Mecca mengatakan prospek bisnis busana muslim di Indonesia memang teramat cerah. Sebagai negara dengan pemeluk Islam terbanyak di dunia, kebutuhan akan busana muslim otomatis tak akan pernah surut. Di sisi lain, busana muslim kini bukan hanya soal kebutuhan untuk menutup aurat, melainkan juga menjadi gaya hidup. "Sekarang (orang) inginnya tidak cuma tampil syar’i (sesuai dengan syariat), tapi juga tetap cantik, dan orang berani bayar untuk itu," tuturnya.

Edy Putra Irawady, Deputi IV Bidang Koordinasi Industri dan Perdagangan Kementerian Koordinator Perekonomian, mengatakan perkembangan industri busana muslim tak lepas dari tumbuhnya kelas menengah Indonesia. Saat ini kalangan berpendapatan per kapita per tahun lebih dari US$ 4.000 itu telah mencapai 50 juta orang. Mereka pasar yang sangat potensial untuk produk-produk kreatif, termasuk busana muslim.

Pingit Aria, Rahma T.W.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus