Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah besar di Jalan Budisari Nomor 6, Bandung, itu tak ubahnya warung Internet. Puluhan sandal dan sepatu berserakan di teras. Di halaman selebar lapangan bulu tangkis, tiga mobil dan belasan sepeda motor diparkir sembarangan. Ruangan utama rumah itu juga disesaki belasan kubikal. Sejumlah anak muda terpaku menatap monitor 20 inci di meja masing-masing.
Namun rumah itu bukanlah warung Internet. Di rumah besar itulah bersarang para awak Agate Studio, sanggar desain digital yang belakangan ini membetot perhatian. Studio yang terletak di kawasan Bandung Utara itu telah melahirkan ratusan permainan (game) komputer bernilai ratusan juta rupiah. Permainan itu merupakan hasil karya para desainer game yang berasal dari sejumlah perguruan tinggi ternama di Kota Kembang.
Manajer Public Relations Agate Yunita Anggraeni mengatakan para desainer itu bekerja dalam tim. Tiap desainer menggarap setiap elemen game. Mereka punya julukan unik yang berasal dari karakter permainan online asal Korea, Ragnarok. Misalnya Knight untuk tim perancang peranti lunak, Wizard untuk penata artistik, Alchemist untuk peramu jalan cerita, dan Bard untuk penata musik. "Mereka yang tergabung dalam satu tim atau satu proyek duduk bersebelahan," katanya akhir November lalu.
Agate, yang punya moto live the fun way, bermula dari kumpul-kumpul 30 mahasiswa berbagai kampus pada 2007. Para maniak komputer dan penggila game itu bereksperimen menggarap permainan untuk Microsoft Xbox 360 berjudul Ponporon. Inilah kumpulan mini game yang dibungkus dalam sebuah cerita. Proyek iseng itu ternyata menuai pujian dalam pameran Indonesia Game Show 2009.
Pencapaian itu membuat pendiri Agate semakin produktif. Menurut Chief Operating Officer Agate Shieny Aprilia, mereka ternyata mampu merampungkan tiga game dalam sebulan. Karena merasa prospek bisnisnya cerah, para programmer itu sepakat mendirikan perusahaan pada 1 April 2009. "Modal awalnya Rp 100 juta, hasil patungan," ujarnya.
Kini Agate sanggup menciptakan beragam genre game, seperti petualangan, pertarungan, dan game online untuk jejaring sosial Facebook. Namanya mengadopsi istilah lokal, seperti Jajanan Pasar, Hujan Buah-buahan, dan Gado-gado Sibuk.
Belasan penghargaan pun digapai. Di tingkat nasional, Agate meraih Merit Winner dan Kaskus Favorit Winner di Indonesia Information and Communication Technology Award 2009. Dalam forum internasional, game berjudul Cube Collosus meraih People’s Choice Mochi Award di acara Flash Gaming Summit 2010, San Francisco, Amerika Serikat.
Konsumen Agate pun cukup banyak. Permainan sepak bola Football Saga, misalnya, menjaring 110 ribu pengguna sehari di Facebook. Sedangkan game Urban Fat Burner dan Sexy Witch menuai 350 ribu pengunduh dalam 3 bulan. Selain membuat game untuk pengguna individu, mereka menggarap pesanan dari korporasi di dalam dan luar negeri. Anak-anak muda ini pun bisa meraup omzet menggiurkan: Rp 500 juta sebulan.
GAME adalah salah satu cabang industri digital yang cukup menjanjikan. Di Indonesia, pertumbuhan game developer semakin pesat, seiring dengan meningkatnya kelas menengah dan penetrasi Internet. Selain Agate, developer yang eksis di kancah dunia antara lain Altermyth, SquareEnix, dan Divine Kids.
Rupiah yang dihasilkan pun cukup besar. Data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menyebutkan, pada 2010, terdapat 700 perusahaan pembuat game komputer. Para pengembang ini mampu menyerap 3.800 tenaga kerja. Omzet yang dihasilkan industri ini mencapai Rp 442 miliar atau setara dengan 0,4 persen dari produk domestik bruto nasional.
Selain game, bisnis "dunia semu" lain yang cukup berkembang adalah penyedia konten Internet dan telepon seluler. Secara nasional, omzet industri ini mencapai Rp 1,6 triliun atau 1 persen dari produk domestik bruto. Pendapatan itu dihasilkan oleh 8.000 pengembang dengan 21.800 tenaga kerja.
Menurut Direktur Ekonomi Kreatif Media Desain dan Ilmu Pengetahuan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Poppy Safitri, omzet industri konten bakal meningkat lebih dari dua kali lipat. Hal ini didukung pertumbuhan penetrasi Internet dari 97,8 persen pada 2011 menjadi 172,3 persen. "Indonesia pun bakal menjadi pasar konten keempat terbesar di dunia tahun depan," ucapnya.
Kemal Arsjad, Direktur Better-B (penyedia konten BlackBerry), memperkirakan bisnis game dan konten digital bakal semakin marak lantaran peralihan platform ponsel dan komputer tablet. Konsumen platform berbayar, seperti BlackBerry dan iOS, bakal beralih ke Android yang gratis. "Harga ponsel pintar dan komputer tablet pun semakin murah sehingga bisnis konten ikut terdongkrak," katanya.
Namun dia menyayangkan potensi ini kurang mendapat dukungan. Kebijakan pemerintah untuk membatasi peredaran konten digital menghambat perkembangan industri ini. Buruknya kualitas jaringan Internet dan tarifnya yang masih cukup mahal juga bakal kontraproduktif. "Jika tak diubah, dalam jangka panjang banyak usahawan dan investor potensial yang mundur," ucapnya.
Hambatan ini diakui Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif I Gusti Ngurah Putra. Menurut dia, infrastruktur teknologi informasi di Indonesia belum mampu setara dengan negara lain. Berdasarkan peringkat Digital Economy, Indonesia berada di posisi ke-65 dari 70 negara. "Jauh dibanding negara tetangga, seperti Singapura," ujarnya.
Untuk menyiasati keterbatasan ini, pemerintah pun merancang pengembangan konektivitas antarsektor digital. Menurut Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, para pelaku industri digital, seperti animasi, musik, game, dan konten, diarahkan untuk berkolaborasi dalam satu komunitas yang bisa memberi nilai tambah pada produk masing-masing.
Komunitas tersebut dikembangkan di kota-kota yang selama ini menjadi pusat pengembangan industri digital. "Basis pengembangannya adalah Bandung, Yogyakarta, Batam, dan Malang," katanya.
Mari juga berjanji akan mengembangkan arena pemasaran (marketplace) berupa ekshibisi tahunan agar produk digital nasional semakin dilirik konsumen. Tapi, dengan atau tanpa dukungan pemerintah, bisnis digital yang dikelola anak-anak muda bakal terus melesat.
Fery Firmansyah, Ananda Teresia, Maria Yuniar, Anwar Siswadi (Bandung)
Program Tahunan
Acara kolektif:
Pekan Produk Kreatif Indonesia, World Creative Forum, Good News Network
Animasi:
HelloFest International
Konten digital:
World of Digital Content
Teknologi informasi:
Asia-Pacific Information Communication and Technology Award
Desain:
Biennalle, Artepolis, Asia-Pacific Architect Conference
Peta Industri Digital Indonesia (2010)
Subsektor Industri | Nilai Omzet | Kontribusi PDB | Jumlah Perusahaan | Tenaga Kerja |
Teknologi Informasi | Rp 1,6 triliun | 1 persen | 8.000 | 21.800 |
Game dan animasi | Rp 442 miliar | 0,4 persen | 700 | 3.800 |
Desain | Rp 9,27 triliun | 5,9 persen | 240.000 | 445.000 |
Sumber: Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo