Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Insentif Biodiesel B40 Dibatasi

Insentif untuk produsen biodiesel B40 bakal naik dibanding B35. Karena itu akan dibatasi.

1 Januari 2025 | 12.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bongkar muat tandan kelapa sawit di PTPN IV Cibungur, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, 12 Juli 2024. ANTARA/Henry Purba

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Direktur Utama BPDPKS memperkirakan insentif untuk program B40 pada 2025 Rp 46-47 triliun.

  • Insentif B40 dibatasi karena selisih harga minyak dunia dan minyak kelapa sawit sedang tinggi.

  • Pemerintah akan menggunakan dana APBN untuk menyuntik BPDPKS agar program B40 berjalan.

KEBUTUHAN anggaran untuk program biodiesel melonjak seiring dengan peningkatan kewajiban bauran bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit terhadap solar, dari 35 persen menjadi 40 persen atau B40, mulai 1 Januari 2025. Pemerintah memastikan punya cukup dana.

Pemerintah berencana mengalokasikan B40 sebanyak 15,62 juta kiloliter pada 2025. Program biodiesel ini merupakan upaya pemerintah mengurangi konsumsi bahan bakar minyak atau BBM sekaligus emisi kendaraan. Namun produk B40 belum bisa bersaing dengan solar. Ada biaya tambahan dari bahan baku, yaitu molekul minyak sawit, fatty acid methyl esters (FAME), yang membuat harganya menjadi lebih mahal.

Karena harganya lebih mahal, pemerintah memberikan insentif kepada produsen biodiesel dengan menutup selisih antara biaya produksi dan harga jual. Insentif diberikan kepada produsen biodiesel untuk memastikan stoknya terjaga. Sedangkan dana insentif berasal dari pungutan ekspor sawit yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit atau BPDPKS.

Besarnya insentif dipengaruhi oleh disparitas harga biodiesel dan solar. Pada awal 2024, selisihnya tampak melebar. Sebagai gambaran, selisih harga pada Januari 2023 berada di level Rp 715 per liter, sementara pada Januari 2024 mencapai Rp 1.382 per liter. Selain itu, volume penyaluran yang bertambah akan membuat insentif ikut melonjak.

Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman memperkirakan harus menyiapkan insentif sebesar Rp 46-47 triliun untuk program B40 pada 2025. Pemerintah berharap insentif ini bisa membuat harga biodiesel bersaing dengan solar sehingga konsumen tertarik untuk beralih. 

BPDPKS menyiapkan anggaran itu dari kantong mereka sendiri. Salah satu sumbernya adalah pungutan ekspor produk kelapa sawit. Tahun ini, badan tersebut mengestimasi penerimaan sebesar Rp 24 triliun. Nilainya turun dari 2023 yang mencapai Rp 32 triliun karena sejak 22 September 2024 pemerintah menurunkan tarif pungutan ekspor dari 11 persen menjadi 7,5 persen. 

Ditambah saldo BPDPKS, badan tersebut punya dana Rp 53,5 triliun. Tahun ini, dana tersebut masih mencukupi. "Ke depan, diperlukan kebijakan mengenai inovasi pembiayaan agar kami tetap menjalankan mandatori biodiesel," katanya di sela acara 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook di Bali International Convention Center pada 7 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah belum mengumumkan angka resmi kebutuhan dana untuk program B40 ini. Saat dimintai konfirmasi langsung, Staf Ahli Bidang Konektivitas dan Pengembangan Jasa Kementerian Koordinator Perekonomian Dida Gardera hanya menyebutkan BPDPKS tidak mampu membiayai insentif untuk volume hingga 16 juta kiloliter dengan kondisi selisih harga minyak dunia dan minyak kelapa sawit sedang tinggi. 

"Kalau kondisinya seperti sekarang, anggaran BPDPKS tidak akan cukup," ujar Dida saat ditemui di kantornya, kemarin. Masalahnya, tahun depan pemerintah belum melihat potensi penurunan harga minyak kelapa sawit yang bisa membuat selisih itu menipis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Itu sebabnya pemerintah memutuskan membatasi insentif untuk B40. "Kita akan berikan insentif untuk PSO (public service obligation) saja. Tapi tetap mandatori B40 berlaku untuk semua," tuturnya. Volumenya sekitar setengah dari kuota B40 tahun ini. 

Menurut Dida, kebijakan ini diambil dengan mempertimbangkan peran BPDPKS yang harus juga membiayai program lain. Salah satunya peremajaan sawit rakyat. Pada 2023, misalnya, BPDPKS mengalokasikan anggaran sebesar Rp 1,59 triliun untuk peremajaan sawit rakyat dan insentif biodiesel sebesar Rp 18,32 triliun.

Masalahnya, kebutuhan anggaran untuk program tersebut meningkat. Pemerintah per September 2024 memutuskan meningkatkan bantuan untuk peremajaan sawit dari Rp 30 juta per hektare menjadi Rp 60 juta per hektare. Selama ini tak banyak petani yang antusias lantaran anggaran dari pemerintah tak cukup menutup biaya selama 2-3 tahun masa pemeliharaan sawit. Tahun depan, pemerintah menargetkan peremajaan 120 ribu hektare. 

Kepala Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance Abra Talattov mengatakan program B40 punya banyak dampak positif, seperti mendorong diversifikasi energi, mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, mengurangi emisi, serta mendukung penghiliran di sektor perkebunan dan pertanian. Tapi ada sejumlah efek negatif yang perlu diantisipasi, salah satunya dari sisi fiskal.

Abra mencatat penerimaan negara bukan pajak atau PNBP dari sektor sawit per November 2024 turun 18,94 persen menjadi Rp 22 triliun. Penurunan harga minyak kelapa sawit mempengaruhi penerimaan negara tersebut. Penerimaan berpotensi tergerus lagi karena volume ekspor juga berpeluang menurun. Pasokan kelapa sawit untuk ekspor bakal tergerus untuk kebutuhan B40. "Di tengah tren penurunan penerimaan negara tadi, ada kebutuhan peningkatan insentif," ucapnya. Ini akan menggerus kas BPDPKS untuk program lain, seperti peremajaan sawit rakyat jika tak diatur dengan baik. 

Ekonom dari Center of Economic and Law Studies Indonesia, Nailul Huda, mengatakan, dengan kenaikan biodiesel dari B35 ke B40, berarti harus ada dana tambahan yang mesti disiapkan lebih oleh BPDPKS. Iuran dari perusahaan kelapa sawit untuk BPDPKS bergantung pada permintaan ekspor dan harga. "Kita tahu Uni Eropa sebentar lagi akan menjalankan kebijakan EUDR dengan kelapa sawit termasuk komoditas yang terancam," katanya. Dampaknya, dana iuran bisa menurun. 

Huda khawatir pemerintah akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk menyuntik BPDPKS agar program B40 berjalan. "Yang saya khawatirkan, kekurangan dana tersebut bukan hanya diambil dari APBN, tapi juga realokasi anggaran dari peremajaan sawit hingga ke dana pekebun sawit," tuturnya. Jika program peremajaan sulit dilakukan, yang terjadi adalah deforestasi akan dilakukan secara besar-besaran. Huda mengatakan sawit Indonesia makin buruk di mata dunia.

Oyuk Ivani S. berkontribusi dalam penulisan artikel ini
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus