Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sinyal Pasar

Wajah Buruk Pengelolaan Investasi

Yopie Hidayat

Yopie Hidayat

Pemimpin redaksi tabloid ekonomi Kontan sejak November 2001 hingga menjadi juru bicara Wakil Presiden Boediono pada 2009-2014. Sebelum mendirikan Kontan, selama 1985-1994, ia bekerja di majalah mingguan Tempo. Lulus kuliah dari Universitas Airlangga, Surabaya, pada 1989, Yopie melanjutkan pendidikan dalam program Master of Public Policy di Lee Kuan Yeuw School of Public Policy Singapura. Pada 1994, ia mendapat Chevenning Award dari The British Council. Kini, Yopie menjadi anggota tim evaluator editorial Tempo

Investasi di Indonesia kian tidak efisien. Jika tak ada perbaikan strategi, pertumbuhan ekonomi akan makin lambat.

9 Februari 2025 | 08.30 WIB

Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Pertumbuhan ekonomi Indonesia makin lambat dan tertahan di kisaran 5 persen.

  • Kekeliruan strategi dalam mengarahkan investasi menyebabkan ekonomi tidak efisien.

  • Prabowo mengandalkan program populis untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

TREN perlambatan ekonomi Indonesia masih berlanjut. Pada 2022-2023, tingkat pertumbuhan ekonomi kita melambat dari 5,31 persen menjadi 5,05 persen. Tahun lalu, angkanya hanya 5,03 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Melambatnya pertumbuhan ekonomi tahun lalu ironis karena terjadi ketika ada lonjakan investasi secara impresif. Menurut data Kementerian Investasi dan Hilirisasi, total realisasi arus modal sepanjang 2024 sebesar Rp 1.714 triliun. Nilainya melonjak 20,8 persen ketimbang pada 2023 yang mencapai Rp 1.650 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Jika data Kementerian Investasi ini memang akurat, terbukti ada satu fenomena buruk yang sedang terjadi, yaitu ekonomi Indonesia makin tidak efisien. Untuk menciptakan setiap poin persentase pertumbuhan, Indonesia membutuhkan investasi yang makin besar. Pertumbuhan realisasi investasi yang cukup tinggi pada 2024 gagal mendorong pertumbuhan ekonomi yang pesat. 

Ada banyak sebab ekonomi menjadi makin tak efisien. Urusannya bisa berhubungan dengan buruknya kualitas infrastruktur sampai ruwet dan mahalnya perizinan. Bisa juga hal itu terkait dengan kenaikan komponen biaya produksi, seperti melonjaknya upah pekerja, yang tak sepadan dengan perbaikan produktivitas. Tentu, makin besarnya biaya penjaminan keamanan demi kelancaran usaha punya andil dalam inefisiensi ekonomi.

Dari sisi kebijakan pemerintah, kekeliruan strategi dalam mengarahkan investasi juga menjadi salah satu sebab merosotnya tingkat efisiensi ekonomi. Alih-alih mendatangkan investasi berkualitas yang bisa menciptakan rantai pasokan domestik serta membuka lapangan kerja yang luas, pemerintah justru mengutamakan masuknya investasi buruk. 

Ciri-ciri investasi buruk itu cukup jelas. Misalnya, target utamanya hanya mengeruk sumber daya alam. Ketika beroperasi, investasi buruk tidak akan banyak menciptakan rantai pasokan domestik ataupun merekrut banyak pekerja lokal lantaran sifatnya padat modal dan teknologi yang digunakan nyaris sepenuhnya diimpor. Karena itu, tak banyak daya dorong pertumbuhan ekonomi dari kegiatan investasi semacam ini, meskipun nilai modal yang masuk spektakuler. 

Contoh investasi buruk yang paling nyata adalah industri penghiliran atau hilirisasi mineral yang menjadi anak emas di era pemerintahan Joko Widodo. Demi menarik investor yang sebagian besar berasal dari Cina, pemerintah rela memberikan pembebasan pajak. Negara juga harus menanggung eksternalitas negatif industri ini berupa pencemaran dan kerusakan lingkungan yang nyaris tak bisa dipulihkan. 

Manfaat industri penghiliran mineral dalam mendorong pertumbuhan ekonomi terbukti tidak sebanding dengan mudaratnya. Data menunjukkan proyek penghiliran mineral mendominasi realisasi investasi pada 2024. Nilainya Rp 408 triliun atau 23,8 persen dari total investasi yang masuk. Kita bisa melihat bagaimana pertumbuhan ketika itu malah melambat ketika terjadi investasi besar-besaran di industri penghiliran mineral.

Kontradiksi antara tingginya realisasi investasi dan melambatnya pertumbuhan ekonomi tahun lalu semestinya bisa menjadi pelajaran penting. Pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun sebagaimana cita-cita Presiden Prabowo Subianto tak akan pernah tercapai jika pemerintah tetap mengandalkan investasi di industri penghiliran mineral sebagai motor pertumbuhan. Sayangnya, Prabowo justru ingin meneruskan warisan buruk Jokowi itu.

Sementara itu, belum tampak rencana kerja pemerintah untuk memperbaiki inefisiensi ekonomi. Strategi andalan Prabowo untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sejauh ini cuma terfokus pada program-program populis yang membutuhkan dana besar dari anggaran pemerintah. Padahal kondisi keuangan pemerintah saat ini sungguh buruk. Itu terbukti dengan terbitnya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 yang memaksakan penghematan besar-besaran hingga Rp 306 triliun.  

Walhasil, selama pemerintah tak mengadopsi strategi yang benar untuk memperbaiki inefisiensi ekonomi, kita tak bisa berharap terjadi pertumbuhan ekonomi yang cepat. Cita-cita Prabowo mencapai pertumbuhan 8 persen hanya menggantang asap.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus