Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Seorang dosen lulusan Eropa menambah penghasilan dengan berjualan gula aren.
Ada dosen ASN yang terjerat utang dan pinjaman online.
Tunjangan kinerja bisa meningkatkan kesejahteraan dosen dan memperbaiki kualitas pendidikan.
JAUH-JAUH kuliah di Eropa, Shaidra kini hidup empot-empotan di Kalimantan. Tanpa tunjangan kinerja atau tukin dosen, gajinya yang cuma sebesar Rp 3,6 juta tiap bulan lebih sering hanya numpang lewat di rekeningnya. Ditambah upah suaminya sebesar Rp 3 juta yang bekerja di perkebunan sawit, dosen ASN atau aparatur sipil negara itu tetap harus jumpalitan mencari uang.
Shaidra—ia menolak nama aslinya ditulis agar tak mendapat tekanan—menyambi berjualan gula aren. Dipesan dari Kabupaten Garut, Jawa Barat, gula aren itu dijualnya lewat media sosial. Dalam sebulan, ia bisa mendulang untung hingga Rp 300 ribu. Lumayan untuk mengebulkan dapur.
Dia pun membuka usaha bimbingan belajar untuk mereka yang ingin mendapatkan beasiswa. Tapi usaha itu hanya ramai menjelang pembukaan pendaftaran beasiswa seperti Lembaga Pengelola Dana Pendidikan. Pernah ada yang memintanya menjadi joki TOEFL atau Test of English as Foreign Language. Ia menolak. “Itu penghinaan,” katanya saat dihubungi Tempo, Jumat, 7 Februari 2025.
Di daerah yang dihuni Shaidra, suami, dan tiga anaknya, harga bahan kebutuhan pokok dan biaya kontrak rumah cukup tinggi. “Ikan di daerah lain biasanya Rp 20 ribu, tapi di sini bisa Rp 40 ribu,” ujarnya saat dihubungi. Sebelum berjualan gula aren, Shaidra kerap kehabisan uang. Ia pernah menggadaikan perhiasannya. Laptop yang kini digunakannya pun hasil gadai sawah mertuanya.
Shaidra berharap pemerintah bisa mencairkan tunjangan kinerja agar hidupnya lebih baik. Ia juga meyakini kinerjanya sebagai dosen ASN akan meningkat karena hanya berfokus mengajar dan tak mencari penghasilan sampingan yang tidak berhubungan dengan dunia akademik. Shaidra juga mendukung koleganya yang berunjuk rasa menuntut pencairan tukin dosen.
Sama dengan Shaidra, dosen antropologi Universitas Papua, Manokwari, Papua Barat, Marlon Huwai, menyambi sebagai pekerja kontrak di sebuah lembaga swadaya masyarakat asing. Gaji sebesar Rp 11,8 juta yang dia terima tak cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan keluarga. Untuk makan dan kebutuhan bulanan, ia bisa mengeluarkan uang hingga Rp 12 juta.
Jangan samakan dengan harga di Jawa, kata Marlon. “Di sini apa-apa mahal. Kalau di Jawa makan sederhana hanya belasan ribu, di sini bisa Rp 30 ribu,” ucapnya saat dihubungi Tempo pada Jumat, 7 Februari 2025.
Hingga kini, doktor lulusan Macquarie University, Australia, itu masih menumpang di pondok mertua dan ke mana-mana naik sepeda motor. Dengan “ngamen” di lembaga swadaya masyarakat, ia bisa memperoleh Rp 40 juta dalam dua pekan. Tapi itu hanya sesekali dan tak selalu ada. Ia harus menebar jala ke mana-mana agar bisa mendapatkan proyek.
Di Desa Sambirejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, Warsono juga mencari pekerjaan sampingan. Saat didatangi Tempo, dosen Program Studi Pendidikan Musik Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta itu sedang mencangkul lahan untuk ditanami kacang tanah. Tanah seluas 2.000 meter persegi itu milik orang tuanya.
Gaji Warsono Rp 3,1 juta, di atas upah minimum regional Karanganyar tahun ini yang sebesar Rp 2,4 juta. Tapi laki-laki 41 tahun itu harus menghidupi istri dan tiga anak. Saban bulan, Warsono harus membayar Rp 1 juta untuk biaya dua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Hingga kini ia belum melunasi uang pangkal mereka, masing-masing Rp 10 juta. “Belum sanggup,” ujarnya.
Belum lagi biaya transportasi menuju kampus yang jaraknya hampir 100 kilometer dari rumah. Menggunakan kereta rel listrik selama dua jam, Warsono juga harus membayar biaya parkir sepeda motor di Stasiun Palur, Karanganyar. Ongkos bepergian ke kampus setiap bulan bisa memakan duit Warsono hingga Rp 1 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Warsono, Dosen Program Studi Pendidikan Musik Institut Seni Indonesia Yogyakarta, menunjukkan kacang tanah seusai ia cabut dari ladang milik orang tuanya di Dusun Dukuhan, Sambirejo, Karanganyar, Jawa Tengah,7 Februari 2025. Tempo/Shinta Maharani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan menjadi petani, Warsono bisa mendapatkan Rp 3-4 juta tiap kali panen atau per tiga bulan. Tapi panen tidak melulu mendatangkan duit. Kadang malah amsyong. “Panen kali ini saya rugi,” katanya. Cuaca yang berubah-ubah serta serangan tikus menyebabkan hasil panennya menurun.
Seperti semua dosen ASN lain, Warsono berharap pemerintah bisa mencairkan tunjangan kinerja yang seharusnya diperoleh sejak 2020. Ia pun mendukung perjuangan koleganya dari berbagai penjuru yang berunjuk rasa di Jakarta pada Senin, 3 Februari 2025. Tak bisa pergi ke Jakarta karena kendala biaya, Warsono berunjuk rasa di depan Rektorat ISI Yogyakarta.
Anggota Dewan Pembina Aliansi Dosen Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Seluruh Indonesia, Fatimah, mengatakan banyak dosen ASN mencari pekerjaan sampingan untuk hidup. Bahkan ada yang menjadi joki skripsi dan menggarap jurnal pesanan. “Tukin dosen bisa memperbaiki kesejahteraan dosen dan kualitas pendidikan,” tutur Fatimah.
Dosen lain, Anton Trianto, mengaku menggadaikan surat keputusan sebagai aparatur sipil negara untuk mendapatkan tambahan uang. Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sjakhyakirti, Palembang, ini terpaksa menggadaikan surat tersebut karena gajinya yang sebesar Rp 8 juta tak cukup untuk menghidupi keluarganya.
Setiap kali mengajar, Anton yang kaki kanannya lemah akibat polio harus menyewa ojek untuk mengantarnya. Biayanya hampir sama besar dengan honor mengajar. Ia mengaku telah berupaya mengajar lebih sering agar upahnya bertambah. Hingga kini ia masih punya tunggakan Rp 10 juta di sekolah anaknya. “Ijazahnya belum bisa diambil,” ucap Anton.
Ia pun mendukung teman-temannya untuk berunjuk rasa ke Jakarta. Meski tak bisa hadir di Monumen Nasional pada Senin, 3 Februari 2025, Anton turut patungan untuk biaya perjalanan dosen yang menjadi perwakilan dari wilayahnya.
Elia Radianto, Dosen ASN Satker Lembaga Layanan DIKTI (LLDIKTI) Wilayah XII Maluku dan Maluku Utara di depan rumahnya. Dok. Elia Radianto untuk Tempo
Namun ada juga dosen yang terjerat pinjaman online. Elia Radianto, dosen ASN Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah Maluku dan Maluku Utara, mengaku telah sepuluh kali meminjam duit Rp 2 juta dari aplikasi pinjaman online sejak 2024. Gajinya yang hanya sekitar Rp 10 juta tak bisa menutup cicilan rumah, biaya kuliah anaknya di Surabaya, dan ongkos kebutuhan lain.
Rumah Elia di Lateri, Kecamatan Baguala, Kota Ambon, kini terancam disita oleh bank. Ia hanya bisa membayar jika ada tambahan duit. “Kalau ada uang hadiah dari lomba yang saya ikuti,” ujarnya.
Tenaga ahli Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Johannes Gunawan, prihatin jika banyak dosen sulit memenuhi kebutuhan hidup. Kementerian Pendidikan Tinggi telah meminta Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan membahas tunjangan kinerja dosen ASN. Termasuk tukin tahun 2020-2024. “Akan kami bahas bersama kementerian lain,” katanya. ●
Shinta Maharani dari Karanganyar, Yuni Rahmawati dari Palembang, dan Didit Hariyadi dari Makassar berkontribusi dalam artikel ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Segala Cara Menyambung Nyawa".