Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dampak Pandemi Gila-gilaan

PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sedang dilanda krisis hebat. Pendapatan anjlok drastis selama pandemi. Utang kepada lessor pesawat dan bank pun bertumpuk. Kepada Tempo, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra memaparkan akar persoalan di tubuh Garuda dan rencana manajemen dalam merestrukturisasi utang perseroan.

5 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra di Jakarta, Februari 2021. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pendapatan Garudan Indonesia jeblok akibat pandemi.

  • Kinerja kembali memburuk pada 2021 dan mempengaruhi pencairan dana talangan dari pemerintah berupa mandatory covertible bond.

  • Efisiensi dilakukan di biaya sumber daya manusia hingga rute penerbangan.

BEBAN di pundak Irfan Setiaputra sedang berat-beratnya. PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, maskapai milik negara yang ia pimpin sejak Januari 2020, dilanda krisis hebat. Pendapatan anjlok selama pandemi Covid-19. Utang kepada lessor pesawat bertumpuk. Dana talangan dari pemerintah, yang baru mengucur satu tahap, terancam tak berlanjut. “Kami perlu melakukan lebih banyak efisiensi,” kata Direktur Utama Garuda Irfan Setiaputra ketika ditemui Retno Sulistyowati, Khairul Anam, Aisha Saidra, dan Francisca Christy Rosana dari Tempo di kantor pusat Garuda Indonesia, Cengkareng, Jakarta, Jumat, 4 Juni lalu. Sambil merancang efisiensi, Irfan berkejaran dengan waktu untuk mengupayakan renegosiasi biaya sewa pesawat dan restrukturisasi utang yang terus menggunung. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seberapa dalam dampak pandemi terhadap operasi Garuda? 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dampak pandemi tahun lalu gila-gilaan. Pendapatan kami drop sampai 90 persen.

Apa mitigasi yang dilakukan manajemen?

Kami berupaya meyakinkan publik bahwa terbang bersama Garuda itu aman. Kami juga meningkatkan pendapatan dari kargo, sekarang sudah lebih daripada sebelum pandemi. Kami melakukan itu sambil menjaga biaya.

Biaya apa yang paling membebani?

Biaya kami terdiri atas empat hal, yaitu avtur, perawatan pesawat, sewa pesawat, dan sumber daya manusia. Anda tahu enggak? Kami melepas 20 persen lebih karyawan. Ada yang pensiun dini, ada yang kontraknya dipercepat. Enggak ada badan usaha milik negara yang melakukan itu (efisiensi karyawan).

Karena kondisinya tidak ada yang separah Garuda?

Masak, sih? Ada yang utangnya lebih gede, lho, sampai ratusan triliun.

Perusahaan Listrik Negara maksud Anda?

Ya enggak tahu.

Efisiensi apa lagi yang Anda terapkan?

Biaya sewa pesawat kami negosiasikan habis-habisan. Tahun lalu kami bisa berhemat sampai US$ 200 juta. Kami juga berdiskusi dengan pemegang saham sampai akhirnya muncul opsi-opsi penyelamatan itu. Pemerintah kemudian keluar dengan memberi opsi mandatory convertible bond (sampai Rp 8,5 triliun) karena ini perusahaan terbuka. Dalam perjalanannya, kondisi kami membaik sampai Desember 2020. Bagus sekali. Malah sewaktu kami kirimkan proyeksi kami kepada Kementerian Badan Usaha Milik Negara, mereka optimistis capaian kami akan di atasnya. Pencairan mandatory convertible bond (MCB) ini mesti didasari key performance indicator (KPI) yang dibikin sesuai dengan kesepakatan dan optimisme yang ada.

Lalu apa yang terjadi sehingga kini justru memburuk?

Sayangnya, pada Januari 2021, tanpa kami perkirakan, arus penumpang jeblok habis. Apakah karena ada aturan baru penumpang wajib tes antigen, pembatasan sosial skala besar diperketat, atau sedang low season. Ditambah lagi larangan mudik. Saya enggak menolak. Buat kami di Garuda, kalau masyarakat lebih cepat sehat, kami juga pasti lebih cepat pulih. 

Akibatnya pencairan MCB selanjutnya bermasalah?

Kinerja kami enggak mencapai proyeksi dalam persyaratan pencairan MCB selanjutnya. Jadi, kondisi hari ini, kesepakatan MCB itu tidak bisa dieksekusi. Padahal Garuda butuh. Kami enggak mau bilang siapa yang salah.

Kabarnya KPI untuk pencairan MCB berikutnya sedang dibahas untuk disesuaikan dengan kondisi terbaru?

Apa saja lagi dibahas. Kami akan merasa sangat terbantu apabila pemegang saham membantu. Tapi kami pahami kompleksitas persoalan yang ada di pemerintah. Selalu saya katakan kepada teman-teman di Garuda, ada banyak hal yang lebih penting dan membutuhkan dana itu dibanding kami. Kami juga harus saling mengerti karena namanya beli vaksin ini kan duit gede.

Ihwal persiapan restrukturisasi utang sudah dipetakan?

Saya lagi mendata, kami mau begini-begini. Saya ini punya utang, jadi jangan kemlinthi (banyak tingkah), lah. Kan lu sebel ada orang utang malah marah-marah. Tapi kalau saya ngomong baik-baik dia malah marah-marah, ya ayo ketemu di pengadilan. Kami tahu semua pemain industri penerbangan sedang susah.

Berapa lessor yang tidak kooperatif?

Banyak. Kami total ada 36 lessor. Kami terus me-review. Penting untuk melihat siapa teman siapa yang enggak.

Bagaimana dengan restrukturisasi kredit, sudah ada kreditor kunci yang kooperatif dan deal?

Banyak yang datang ke kami kasih dukungan. Let’s do it proper and fair. Jangan gunakan cara-cara yang dimungkinkan oleh aturan, misalnya penundaan kewajiban pembayaran utang, tapi negosiasi di belakang layar. Ini kan enggak fair.

Bank-bank milik negara sudah deal

Himbara (Himpunan Bank Milik Negara), ha-ha-ha.... Ini kan teman-teman juga. Tolong jangan desak saya karena konsideran ini banyak sekali. Orang akan ingat cara kita melewati ini.

Rute luar negeri kan tidak ekonomis. Apakah akan ditutup?

Pak Erick Thohir (Menteri BUMN) sudah bicara soal itu saat pertama kali mengajak saya ke Garuda. Saya janjikan waktu itu. Saya putuskan rute Jakarta-London dan Jakarta-Nagoya tutup. Kami lihat juga situasinya up and down. Jadi sekarang fokus kami ke kargo. Basis perhitungan kami sekarang adalah kargo. Kalau pendapatan dari kargo di penerbangan itu enggak cukup, ya kami kurangi lagi. Kalau bisa bikin profit, ya lanjut. Yang penting jangan gaya-gayaan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus