Signs
Sutradara dan skenario : M. Night Shyamalan
Aktor : Mel Gibson, Joaquin Phoenix, Rory Culkin, Abigail Breslin
Produksi : Buena Vista Pictures
Tiba-tiba angin mendesir. Daun-daun jagung berisik. Bangku ayunan mainan berkeriut-keriut keras. Film ini tak seperti The Poltergeist, The Omen, dan The Exorcist, yang membangun suasana mencekam dengan menampilkan sosok menyeramkan dengan bantuan spesial efek yang dramatik.
M. Night Shyamalan, sang sutradara, mencoba berangkat dari prinsip kesederhanaan Alfred Hitchcock, maestro film thriller. Bahwa ketegangan bisa dibangun dari obyek sehari-hari seperti meja, kursi, asbak, sangkar burung, dengan ilustrasi musik yang minimal. Bahwa ketakutan bisa diciptakan di siang bolong.
Film berawal dari ditemukannya lingkaran-lingkaran misterius di ladang jagung milik mantan pendeta Graham Hess (Mel Gibson) di Buck Country. Laki-laki itu tinggal bersama dua anaknya, Morgan dan Bo (Rory Culkin dan Abigail Breslin), dan Merril (Joaquin Phoenix), adik laki-lakinya. Secara fakta, memang lingkaran demikian pernah ditemukan di sebuah ladang jagung di Pennsylvania. Dilihat dari ketinggian, lingkaran itu memolakan matriks tertentu, dan menyulut spekulasi tentang UFO.
Film ini mengimajinasikan bahwa tanda aneh semacam itu serentak terjadi di berbagai belahan dunia. Tapi skenario lalu tak menggambarkan pesawat-pesawat tempur Amerika bersiap menghadapi makhluk angkasa luar. Atau muncul seorang hero sukarelawan yang diutus Gedung Putih dan kemudian mampu menyelamatkan dunia seperti film Independence Day. Film memfokuskan bagaimana kepanikan warga dunia itu menghinggapi keseharian di rumah sang mantan pendeta.
Plot suspens hanya dibangun dari satu tanda ke tanda lain di sekitar rumah Hess. Dari daun-daun jagung yang bergerak, risik angin, salak anjing, klenengan hiasan rumah yang bergoyang keras, kepanikan siaran televisi yang menyiarkan berita-berita piring terbang di langit Meksiko, walkie-talkie mainan yang mendenging menimbulkan kresek-kresek yang memperdengarkan nada-nada percakapan bukan manusia, gelas si kecil Bo yang berisi sisa air yang tak mau diminum, sampai gedoran-gedoran pintu anonim.
Shyamalan sama sekali tidak mengusung idiom-idiom berbau teologis. Bahkan ia membuat karakter Hess yang mantan pendeta itu sebagai seseorang yang cenderung mengalami krisis kepercayaan pada Tuhan lantaran istrinya tewas karena kecelakaan (sang sopir yang menabrak, lelaki berwajah India dan misterius itu, diperankan oleh M. Night Shyamalan sendiri). Hess melarang anak-anaknya berdoa. Bahkan pada saat paling genting, ketika pintu-pintu sampai gudang bawah tanah terdengar digebrak-gebrak alien, Hess tidak membawa kitab suci ataupun salib.
Melalui dua film terdahulunya, Shyamalan kita kenal sebagai maestro dalam menyimpan kejutan. Lihatlah akhir The Sixth Sense (1999): sang psikolog Malcolm Crowe (Bruce Willis) ternyata menyadari dirinya telah mati. Simak pula akhir Unbreakable (2000): ternyata Ellijah (Samuel L. Jackson), kolektor komik yang cacat itu, adalah otak segala bentuk terorisme di dunia. Dalam Signs, setelah hampir lebih dari satu jam kita dibawa tegang tanpa kehadiran alien itu sendiri, di akhir cerita alien benar-benar dimunculkan. Mungkin itu dimaksudkan Shyamalan sebagai kejutan. Sayang, alien itu sosok stereotip yang setengah berpenampilan kikuk. Seperti makhluk-makhluk yang kita lihat dalam film semacam ET.
Itu membuyarkan mood yang sudah dibina semenjak awal. Cara bertutur yang agak semiotik selama lebih-kurang 110 menit tiba-tiba berujung pada klimaks yang klise. Harusnya, agar film ketiganya ini betul-betul menjadi film yang lain dari yang lain, Shyamalan tidak usah terlalu berkompromi seperti itu.
Seno Joko Suyono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini