Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Dari target Rp 1.988,9 triliun, penerimaan pajak hanya Rp 1.932,4 triliun hingga 31 Desember 2024.
Pemerintah berdalih pajak tak tercapai akibat moderasi harga komoditas pertambangan.
Pertumbuhan pajak 3,5 persen lebih rendah dibanding pertumbuhan natural.
REALISASI penerimaan pajak tak mencapai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024. Dari perencanaan sebesar Rp 1.988,9 triliun, hanya terkumpul Rp 1.932,4 triliun hingga 31 Desember 2024. Data tersebut mengacu pada laporan APBN 2024 yang belum diaudit Badan Pemeriksa Keuangan.
Salah satu pemicunya tak tercapainya penerimaan pajak adalah rendahnya pajak penghasilan (PPh) non-migas yang minus 22 persen. APBN 2024 menargetkan PPh non-migas mencapai Rp 1.063,4 triliun. Namun realisasinya hanya Rp 997,6 triliun. Padahal porsi PPh non-migas mencapai 51,6 persen dari total penerimaan pajak.
Selain itu, penerimaan dari PPh badan tercatat hanya Rp 335 triliun atau turun 18,1 persen dibanding realisasi pada 2023 yang mencapai Rp 409 triliun pada 2023. PPh badan mempunyai kontribusi cukup signifikan terhadap total penerimaan pajak, yaitu 17,4 persen. PPh badan adalah pajak yang dikenai terhadap penghasilan sebuah badan atau sekumpulan orang yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha.
Menurut Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimayu, setoran perusahaan menurun akibat moderasi harga komoditas. “PPh badan berkontraksi akibat penurunan profitabilitas perusahaan pada 2023 sebagai dampak moderasi harga komoditas, terutama pada sektor pertambangan,” tuturnya saat konferensi pers APBK 2024 pada Senin, 6 Januari 2025. Contohnya, harga komoditas unggulan ekspor Indonesia, seperti batu bara, turun 22,3 persen secara tahunan.
Anggito mencatat PPh badan terkontraksi selama tiga kuartal berturut-turut sebelum akhirnya melonjak pada kuartal terakhir tahun lalu. Penerimaan pajak ini anjlok 29,8 persen pada kuartal pertama, lalu turun lagi hingga 36,6 persen pada kuartal berikutnya. Memasuki kuartal III, kontraksi menipis menjadi hanya 10,3 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baru pada kuartal selanjutnya penerimaan PPh badan tumbuh sebesar 32,9 persen. Anggito menjelaskan, kinerja tersebut ditopang oleh membaiknya kinerja sektor pertambangan dan meningkatnya aktivitas ekonomi di sektor industri pengolahan serta sektor keuangan dan asuransi. Sebagai gambaran, pertumbuhan penerimaan dari sektor pertambangan terkontraksi 58,5 persen pada kuartal I, lalu melonjak menjadi 59 persen pada kuartal IV. Sementara itu, industri pengolahan terkontraksi 13,4 persen pada kuartal I dan tumbuh 24,3 persen pada kuartal IV.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak Dwi Astuti menyatakan penurunan harga komoditas ini menjadi tantangan terbesar institusinya pada 2024. Kondisi tersebut memberi tekanan, khususnya dari sisi PPh badan yang memiliki kontribusi besar dalam penerimaan pajak, baik dari angsuran maupun setoran tahunan. "Keadaan ini relatif membaik pada triwulan akhir. Namun, akibat penurunan yang dalam pada periode sebelumnya, penerimaan PPh badan secara kumulatif terkontraksi," katanya.
Faktor lain yang turut mempengaruhi penurunan pajak 2024 adalah penerimaan PPh migas yang minus 14,79 persen dari target. Pajak ini dipengaruhi oleh performa lifting minyak dan gas. Dalam APBN 2024, asumsi lifting minyak ditetapkan sebesar 635 ribu barel per hari dan gas 1.033 ribu BSMPH. Hingga November 2024, realisasinya sebesar 571 ribu barel minyak per hari dan 973 ribu BSMPH untuk gas.
Pemerintah belum mengumumkan angka resmi capaian lifting pada 2024. Namun Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia mengatakan lifting sudah naik mencapai angka 600 ribu barel per hari dalam dua bulan terakhir pada 3 Januari 2025.
Di sisi lain, harga minyak mentah sepanjang tahun lalu tercatat turun 2,8 persen. Pada Desember 2023, harganya sebesar US$ 77 per barel, sedangkan pada Desember 2024 sebesar US$ 74,6 per barel.
Realisasi penerimaan pajak yang meleset ini sudah masuk radar pemerintah. Melihat realisasi hingga semester I 2024, pemerintah memperkirakan hanya bisa mengantongi pajak sebesar Rp 1.921 triliun. Saat itu penerimaan pajak baru Rp 893 triliun atau sekitar 44 persen dari target dalam APBN 2024.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan keterangan mengenai APBN sepanjang 2024 saat konferensi pers APBN Kita di Kementerian Keuangan, Jakarta, 6 Januari 2025. ANTARA/Hafidz Mubarak A.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan meski ada koreksi harga komoditas dan tekanan bertubi-tubi, penerimaan pajak 2024 masih lebih baik dibanding penerimaan pajak 2023. Pada 2023, realisasi penerimaan pajak sebesar Rp 1.869,2 triliun.
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Indonesia Nailul Huda mengatakan pemerintah tak menghimpun penerimaan pajak secara optimal karena pertumbuhan pajak yang sebesar 3,5 persen lebih rendah dibanding pertumbuhan natural perpajakan yang sebesar 6,57 persen. Angka tersebut dihitung dari inflasi dan pertumbuhan ekonomi. "Pendapatan negara ditopang oleh kenaikan dana hibah," ucapnya.
Catatan Huda yang lain adalah defisit anggaran yang melebar dari 2023. Rasio defisit anggaran per produk domestik bruto 2024 mencapai 2,29 persen, sedangkan pada 2023 hanya 1,61 persen. Keseimbangan primer pun berubah lagi menjadi defisit setelah sebelumnya positif pada 2023. Akibatnya, untuk membayar utang, negara harus menghimpun utang kembali. "Ini menjadi catatan serius, mengingat posisi utang Indonesia sudah masuk posisi lampu kuning," ujar Huda.
Meski penerimaan pajak tak mencapai target, Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis Fajry Akbar menyatakan performa pada 2024 patut mendapat apresiasi. Salah satunya karena ada perbaikan kinerja PPh 21 yang signifikan. Penerimaannya tumbuh 21,1 persen. Menurut dia, pemicunya adalah perbaikan dari regulasi dan institusi.
Selain itu, pemerintah bisa mencapai target penerimaan pajak pertambahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah meski sempat terkontraksi sangat dalam pada awal tahun. Pada kuartal pertama, PPh 21 terkontraksi 16,3 persen dan pada kuartal II 6,7 persen. Memasuki kuartal III, terdapat pertumbuhan penerimaan sebesar 1,8 persen dan pada kuartal IV 8,6 persen.
Pertumbuhan penerimaan pajak menjelang tutup tahun, menurut Fajry, merupakan buah dari upaya pemerintah. "Karena ada extra effort dari institusi, penerimaan pajak lebih tinggi dari yang seharusnya," tuturnya. Pola yang sama juga terjadi pada 2021 dan 2023. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo