Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sebuah Himne untuk Maut

Fotografer Oscar Motulloh berkelana di pekuburan-pekuburan Prancis. Hasilnya dipamerkan di sebuah galeri di Washington dan pekan ini akan dipamerkan di Bandung.

8 September 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eli, Eli, lama sabachthani…. TUBUH telanjang Kristus terbujur di atas nisan. Matanya menatap sayu ke langit. Kepalanya bersatu dengan sebuah mahkota duri. Tangannya terentang. Tubuh itu telentang di atas makam Edith Piaf, seorang penyanyi perempuan Prancis terkenal yang lagu-lagunya paling dirindukan warga Paris kala kota mereka diduduki Jerman…. Ini adalah rekaman fotografer Oscar Motulloh, yang menyusuri Montparnasse dan Pere Lachaise, dua pemakaman umum terbesar di Paris. Keduanya adalah tempat peristirahatan abadi para pengarang terkemuka di dunia. Patung Isa bertebaran di setiap pojok, menghiasi pusara mereka yang mati kesepian, atau bahkan dipahat tak jauh dari para pemikir ateis. Apakah ada yang lebih menderita dari dia yang terpaku di salib? Agaknya, itu bukan hanya sebuah tempat beristirahat terakhir kali, tapi juga sebuah taman metafora. Selain Kristus, banyak makam tokoh lain dihiasi patung marmer, granit, dan andesit. Hiasan bukan sekadar epitaf berinskripsi besi, taferil perunggu, dan takik tembaga. Para pencipta patung itu tak bernama. Tapi, di hadapan kamera Oscar, mereka seolah menjadi penjaga makam yang setia. Mereka bertakhta di sana dan bahkan sebagian menampilkan pergolakan sikap sang tokoh. Makam Franscois Rapair, seorang pelaku revolusi 1830 dan 1840, dibangun bak sebuah sel batu dengan secelah jeruji, berdiri bak penghuni tetap. Di sampingnya ada patung seseorang dengan wajah dan tubuh tertutup kerudung terjuntai dengan tangan yang menggapai celah jeruji penjara. Sedangkan nisan kuburan Oscar Wilde, dramawan gay yang menghasilkan karya-karya luar biasa, berhiaskan ratusan pahatan bibir merekah pencintanya. Pekuburan itu ibarat sebuah taman patung. Oscar mengenang, begitu tapak kakinya melangkah, perasaannya seperti masuk ke dalam sebuah candi. Desember itu, musim rontok ditandai dengan daun-daun yang mulai melayang dan jatuh ke bumi. Matahari masih bersembunyi sehingga rekaman Oscar menampilkan bayang-bayang lindap. Pekuburan luas itu terbagi atas blok-blok rapi. Salah satunya diberi nama sesuai dengan suasana yang ditampilkannya: Quiet Avenue. Di sana, Oscar menyaksikan beberapa orang tua tertatih-tatih, duduk di sebuah bangku panjang di bagian kuburan yang menggunduk bak bukit, dan melihat panorama kota. Sebentar lagi—seperti yang sudah mereka rasakan ketika meniti hidup detik ke detik—maut mendekat. Almanak hidup sudah hampir ditutup. Tempat itu seolah sebuah garis batas antara yang profan dan yang kudus. Foto-foto Oscar menampilkan suasana murung. Kita dipaksa merenung betapa kepopuleran atau nama besar adalah sesuatu yang nisbi. Partitur Chopin masih dimainkan dalam resital piano di seluruh penjuru dunia; drama Waiting for Godot Samuel Becket atau The Rhinoceros karya Eugene Ionesco masih berlaga di atas panggung; puisi-puisi jalang Baudelaire tak henti-hentinya dibaca; traktat Sartre masih dikunyah; surat cinta Simone de Beauvoir kepada kekasihnya dirayakan oleh mereka yang percaya pada kekuatan cinta. Tapi lihatlah makam mereka. Batu bergulat sunyi. Nisan-nisan kesepian. Di depan makam sejoli Sartre dan Beauvoir terdapat sebuah jambang kaca yang kosong dan bunga-bunga yang telah layu. Seolah semuanya pemberontakan sia-sia. Setelah merekam kesunyian dan pemberontakan itu, kamera Oscar dengan kepekaan yang luar biasa berhasil menjelajahi makam-makam yang jenazahnya mati tragis. Ada makam Victor Noir, jurnalis yang tewas dibunuh oleh Pierre Bonaparte, sepupu Napoleon III. Di atas nisannya tergeletak patung replika dirinya. Ia tergeletak mengenakan jas yang penuh bercak darah. Dari jauh, patung itu terlihat bak mayat yang terbujur kaku. Patung-patung untuk mengenang warga Yahudi yang terbantai di Auschwitz semakin masygul karena direkam dalam temaram siluet dahan-dahan yang ranggas. Sebuah potret berjudul Separation of Two menampilkan rekaman patung torso laki-laki kekar telanjang bulat, dengan kedua tangan menutupi muka, seolah menangis. Di depan patung itu terdapat sebuah nisan dan secuil patung tangan perempuan. Inilah simbol sebuah perpisahan menyakitkan dan hati yang tak kunjung siap menerima kenyataan itu. Seri foto hitam-putih bertajuk The Art of Dyingini tak ubahnya sebuah requiem (himne untuk maut). Kita diposisikan sebagai viator mundi, peziarah dunia. Oscar tidak tergoda untuk sama sekali menampilkan sesuatu yang turistik. Di makam Jim Morrison, vokalis band legendaris The Doors, sesungguhnya berdatangan beberapa fans, tapi itu tak ditampilkan dalam rekaman Oscar. Batu-batu baginya cukup berbicara tentang keperihan. Batu-batu cukup menampilkan jejak arwah. Di tangan fotografer Antara ini, ajal bukan sesuatu yang akrab. Lihatlah sosok patung malaikat pencabut nyawa tanpa wajah yang berkesan menyalib takdir manusia di Pere Lachaise itu. Lihat juga patung manusia sekarat Rodin yang tangannya tercabik-cabik dengan visualisasi mulut berteriak histeris tanpa henti. Kita diseret untuk membayangkan bahwa di seberang sana ada kematian yang penuh kesakitan. Kematian adalah pisau belati yang berkali-kali akan menikam dan hidup yang kita jalani ini, seperti kata Chairil Anwar, adalah menunda kekalahan. Seno Joko Suyono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus