DIAM-diam pemerintah Amerika Serikat masih mempersoalkan
Keputusan Presiden No. 18 tahun 1982. Washington kelihatan tetap
gusar menanggapi kebijaksanaan yang mengharuskan "pengangkutan
muatan barang ekspor, dan impor milik pemerintah Indonesia
dilakukan oleh kapal-kapal Indonesia." Dalam usaha melindungi
kepentingan bisnis perusahaan pelayaran AS itulah, pekan lalu
Mathew Scocozza, Wakil Pembantu Menteri Pengangkutan, dan
Telekomunikasi, datang ke Jakarta.
Di sini Scocozza bertemu dengan delegasi Indonesia yang dipimpin
Sekjen Departemen Perhubungan Achmad Taher. "Kami hanya ingin
meminta penjelasan mengenai Keppres 18 secara lebih terperinci,
dan spesifik," kata Joseph A.B. Winder, Atase Ekonomi, Kedubes
AS di Jakarta. Scocozza, kata Jose Winder yang turut dalam
pertemuan sehari itu, datang bukan sebagai perunding. "Tapi dia
datang untuk suat konsultasi tidak resmi," tambahnya.
Secara selayang pandang, menurut Atase Winder, Keppres 18 itu
telah menabrak sejumlah peraturan pelayaran AS. Peraturan itu,
antara lain Public Law 664 yang mengharuskan
sekuran-kurangnya 50% dari semua barang milik Pemerintah AS
harus diangkut kapal berbendera AS. Dan sekurang-kurangnya 50%,
dari bantuan pangan AS, seperti PL 480, harus diangkut kapal
berbendera AS pula.
Pendeknya keputusan itu diangap akan merugikan kapal AS karena
sekitar separuh dari volume barang dalam perdagangan
Indonesia-AS tergolong dalam muatan milik pemerintah Indonesia.
"Itulah sebabnya kami datang meminta penjelasan," ujar Winder.
"Kami bukan ingin melakukan retaliasi (membalas)."
Juni lalu pihak pemerintah AS masih menunjukkan sikap keras.
Ketika itu AS mengirimkan ke Jakarta Raymond Waldmann, Asisten
Menteri Perdagangan, yang menyebut Keppres 18 "brengsek!".
Kepada pemerintah Indonesia, Waldmann menyampaikan Aide Memoir
25 Mei yang memuat sejumlah keberatan pemerintah dan peraturan
pelayaran di AS sehubungan dengan keputusan itu. "Tapi saya
pikir terlalu pagi jika harus menyimpulkan Keppres 18 itu
menggusarkan pemerintah AS," ujar Windier.
Diakui atau tidak, menurut seorang pejabat Departemen
Perhubungan, pihak AS "grogi juga" ketika Filipina 11 Juni
mengeluarkan peraturan serupa. Memorandum No. 3 yang dikeluarkan
Presiden Marcos itu sejalan dengan peratutan pelayaran yang
ditelurkan Kelompok 77 (UNTACD yang mengharuskan pengangkutan
barang 40% untuk importir, 40% untuk eksportir, dan sisanya
terbuka untuk perusahaan pelayaran mana pun. Tapi ini ditolak
AS, yang menilai pembagian barang tersebut bertentangan dengan
pengertian pasar bebas.
Sikap Washington itu memang agak aneh. Sebab Brazilia, dan
Prancis, misalnya, juga sudah lama memberlakukan peraturan
serupa. Menurut Peraturan No. 666. 2 Juli 1969 itu, pemerintah
Brazilia mengharuskan semua barang impor dan ekspor yang
dibiayai pemerintah harus diangkut oleh kapalkapal Brazilia.
Sedang Paris memberlakukan semua barang-barang ekspor yang
asuransinya ditutup oleh Perusahaan Asuransi Negara (Compagnie
Francaise Assurance Du Commerce Exteriur) harus diangkut
kapal-kapal berbendera Prancis.
TOH ketika memberlakukan dekrit itu pemerintah Brazilia juga
bertabrakan dengan kepentingan Argentina, Chili, Mexico, Peru,
dan AS. Karena itulah pihak Departemen Perhubungan menyarankan
agar dilakukan perjanjian bilateral untuk menghindari bentrokan.
Dengan Washington, Jakarta tampaknya cenderung menelurkan
perjanjian itu. Sebagai lanjutan pertemuan di Jakarta pekan lalu
itu "kami berharap bisa menerima delegasi Indonesia di
Washington," kata Winder. Undangan untuk itu, katanya, sudah
dikirimkan.
Keppres 18 itu ditelurkan terutama untuk mendukung paket Januari
yang berusaha mendorong ekspor komoditi nonminyak dan gas.
Sebelum itu ada juga SK Menteri Perhubungan 29 Maret tentang
pengapalan komoditi ekspor nonmigas melalui empat pelabuhan laut
utama: Belawan, Tanjungpriok, Ujungpandang, dan Tanjungperak.
Dengan cara itulah, pemerintah berharap bisa menurunkan tarif
tambang. Sebab pengumpulan barang itu hanya dilakukan perusahaan
pelayaran Nusantara yang kemudian menyetorkannya keempat
pelabuhan (transhipment).
Dari situ barang lalu diangkut pelayaran samudra. Tapi kemampuan
angkut armada nasional untuk melayani perdagangan luar negeri
hanya 766 ribu ton bobot mati -- jauh dibanding armada asing
yang 2,2 juta ton. Untuk memecahkan kekurangan itu, perusahaan
pelayaran tentu akan mencarter kapal asing, seperti
diperbolehkan Keppres 18.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini