Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jakarta jalan terus

Kunjungan wakil pembantu menteri pengangkutan dan telekomunikasi as, mathew scocozza, ke indonesia, minta penjelasan mengenai keppres no.18, yang dianggap merugikan kapal as. (eb)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIAM-diam pemerintah Amerika Serikat masih mempersoalkan Keputusan Presiden No. 18 tahun 1982. Washington kelihatan tetap gusar menanggapi kebijaksanaan yang mengharuskan "pengangkutan muatan barang ekspor, dan impor milik pemerintah Indonesia dilakukan oleh kapal-kapal Indonesia." Dalam usaha melindungi kepentingan bisnis perusahaan pelayaran AS itulah, pekan lalu Mathew Scocozza, Wakil Pembantu Menteri Pengangkutan, dan Telekomunikasi, datang ke Jakarta. Di sini Scocozza bertemu dengan delegasi Indonesia yang dipimpin Sekjen Departemen Perhubungan Achmad Taher. "Kami hanya ingin meminta penjelasan mengenai Keppres 18 secara lebih terperinci, dan spesifik," kata Joseph A.B. Winder, Atase Ekonomi, Kedubes AS di Jakarta. Scocozza, kata Jose Winder yang turut dalam pertemuan sehari itu, datang bukan sebagai perunding. "Tapi dia datang untuk suat konsultasi tidak resmi," tambahnya. Secara selayang pandang, menurut Atase Winder, Keppres 18 itu telah menabrak sejumlah peraturan pelayaran AS. Peraturan itu, antara lain Public Law 664 yang mengharuskan sekuran-kurangnya 50% dari semua barang milik Pemerintah AS harus diangkut kapal berbendera AS. Dan sekurang-kurangnya 50%, dari bantuan pangan AS, seperti PL 480, harus diangkut kapal berbendera AS pula. Pendeknya keputusan itu diangap akan merugikan kapal AS karena sekitar separuh dari volume barang dalam perdagangan Indonesia-AS tergolong dalam muatan milik pemerintah Indonesia. "Itulah sebabnya kami datang meminta penjelasan," ujar Winder. "Kami bukan ingin melakukan retaliasi (membalas)." Juni lalu pihak pemerintah AS masih menunjukkan sikap keras. Ketika itu AS mengirimkan ke Jakarta Raymond Waldmann, Asisten Menteri Perdagangan, yang menyebut Keppres 18 "brengsek!". Kepada pemerintah Indonesia, Waldmann menyampaikan Aide Memoir 25 Mei yang memuat sejumlah keberatan pemerintah dan peraturan pelayaran di AS sehubungan dengan keputusan itu. "Tapi saya pikir terlalu pagi jika harus menyimpulkan Keppres 18 itu menggusarkan pemerintah AS," ujar Windier. Diakui atau tidak, menurut seorang pejabat Departemen Perhubungan, pihak AS "grogi juga" ketika Filipina 11 Juni mengeluarkan peraturan serupa. Memorandum No. 3 yang dikeluarkan Presiden Marcos itu sejalan dengan peratutan pelayaran yang ditelurkan Kelompok 77 (UNTACD yang mengharuskan pengangkutan barang 40% untuk importir, 40% untuk eksportir, dan sisanya terbuka untuk perusahaan pelayaran mana pun. Tapi ini ditolak AS, yang menilai pembagian barang tersebut bertentangan dengan pengertian pasar bebas. Sikap Washington itu memang agak aneh. Sebab Brazilia, dan Prancis, misalnya, juga sudah lama memberlakukan peraturan serupa. Menurut Peraturan No. 666. 2 Juli 1969 itu, pemerintah Brazilia mengharuskan semua barang impor dan ekspor yang dibiayai pemerintah harus diangkut oleh kapalkapal Brazilia. Sedang Paris memberlakukan semua barang-barang ekspor yang asuransinya ditutup oleh Perusahaan Asuransi Negara (Compagnie Francaise Assurance Du Commerce Exteriur) harus diangkut kapal-kapal berbendera Prancis. TOH ketika memberlakukan dekrit itu pemerintah Brazilia juga bertabrakan dengan kepentingan Argentina, Chili, Mexico, Peru, dan AS. Karena itulah pihak Departemen Perhubungan menyarankan agar dilakukan perjanjian bilateral untuk menghindari bentrokan. Dengan Washington, Jakarta tampaknya cenderung menelurkan perjanjian itu. Sebagai lanjutan pertemuan di Jakarta pekan lalu itu "kami berharap bisa menerima delegasi Indonesia di Washington," kata Winder. Undangan untuk itu, katanya, sudah dikirimkan. Keppres 18 itu ditelurkan terutama untuk mendukung paket Januari yang berusaha mendorong ekspor komoditi nonminyak dan gas. Sebelum itu ada juga SK Menteri Perhubungan 29 Maret tentang pengapalan komoditi ekspor nonmigas melalui empat pelabuhan laut utama: Belawan, Tanjungpriok, Ujungpandang, dan Tanjungperak. Dengan cara itulah, pemerintah berharap bisa menurunkan tarif tambang. Sebab pengumpulan barang itu hanya dilakukan perusahaan pelayaran Nusantara yang kemudian menyetorkannya keempat pelabuhan (transhipment). Dari situ barang lalu diangkut pelayaran samudra. Tapi kemampuan angkut armada nasional untuk melayani perdagangan luar negeri hanya 766 ribu ton bobot mati -- jauh dibanding armada asing yang 2,2 juta ton. Untuk memecahkan kekurangan itu, perusahaan pelayaran tentu akan mencarter kapal asing, seperti diperbolehkan Keppres 18.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus