Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sekitar "desas-desus" itu

Kekuatiran akan terjadi devaluasi, walaupun ada bantahan dari pemerintah, juga desas-desus bahwa harga minyak akan turun.(eb)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PIDATO Presiden Soeharto di DPR pertengahan Agustus, membuat para pemegang uang panas, agak mengerem nafsunya untuk berspekulasi, atau berbondong-bondong menyimpan uangnya dalam bentuk Asian Currency Unit (dollar) di bank-bank Singapura, melalui bank-bank devisa di Jakarta. Tapi beberapa hari setelah itu, perasaan waswas tadi kembali kambuh. Mereka melihat pada gerakan kurs tengah yang sampai Senin lalu sudah mencapai Rp 666 per 1 US$. Banyak yang memperkirakan nilai mpiah yang diambangkan secara terkendali itu akan terus merayap ke atas, dan baru direm oleh Bank Indonesia kalau kurs tengah sudah mencapai Rp 700 untuk 1 US$. Bahkan beberapa pengusaha di Kota ada yang berani bertaruh pengambangan itu baru akan dikendalikan setelah mencapai Rp 720 untuk 1 US$. Benarkah? Ini sulit dipastikan. Sekalipun tanda-tanda ke arah itu bisa dikalkulasikan, kalau saja diingat turunnya nilai rupiah terhadap mata uang dollar rata-rata mencapai 5% sebulan sejak awal Januari lalu. Para pengamat itu juga melihat pada beberapa indikasi enting yang lain: cadangan devisa yang pada Juli lalu turun menjadi sedikit di bawah US$ 5 milyar, berkurang sekitar 37% dibandingkan posisi cadangan devisa tahun lalu. Hal ini mereka kaitkan dengan pasaran minyak yang masih lembek, produksi minyak yang untuk sementara waktu tak akan lebih dari 1,3 juta barrel sehari, dan defisit neraca perdagangan yang untuk tahun anggaran 19B2/1983 diduga akan mencapai sekitar US$ 5 milyar. Seorang bankir pemsrintah tak mengelak semua angka yang tak begitu cerah itu memang sudah, dan akan terjadi. Tapi secara setengah berkelakar, bankir itu berani bertaruh bahwa "kurs yang diambangkan itu tak akan mencapai batas Rp 700 per 1 US$ di akhir Desember nanti," katanya. Mudah-mudahan saja sang bankir itu menang bertaruh. Sebab para pengamat masih meragukan apakah pasaran minyak OPEC (organisasi pengekspor minyak) tak akan lebih memburuk keadaannya. Sekembali dari Wina 22 Agustus, Menteri Pertambangan dan Energi Subroto mengakui bahwa produksi total OPEC sekarang sudah di bawah kuota 17,5 juta barrel sehari (TEMPO, 28 Agustus). Sekalipun begitu, Komite Monitoring yang berkumpul di Wina itu, di mana Dr. Subroto merupakan salah seorang anggotanya, tetap menganjurkan agar OPEC mempertahankan harga patokan US$ 34 per barrel dan kuota 17,5 juta barrel sampai dengan pertemuan reguler organisasi pengekspor minyak itu di Lagos, ibukota Nigeria, Desember. Indonesia sendiri memang tak memompa produksi seperti dulu lagi. Selain mematuhi pembatasan oleh OPEC, ada hal-hal lain yang membuat produksi minyak Indonesia sedikit turun. Kalau Maret lalu produksi minyak sehari masih tercatat sebanyak 1,484 juta lebih sedikit, maka di bulan berikutnya -- saat pembatasan OPEC berlaku -- produksi sehari malah turun jadi 1,25 juta barrel. Pada Mei produksi total sehari praktis tak banyak berubah: cuma 1,263 juta barrel. Tapi pada Juni, produksi rata-rata sehari naik lagi menjadi 1,33 juta barrel. Belum diketahui berapa angka produksi rata-rata dalam bulan berikutnya. Tapi melihat pasaran yang tak begitu cerah, ada dugaan pihak pembeli mulai berusaha untuk mengutik-utik soal harga. Mengutip sumber para pengusaha minyak di Jakarta, Singapura dan Tokyo, koran The Asian Wall Street Journal baru-baru ini menduga akan terjadi penurunan harga minyak jenis Minas antara 15 sen sampai 20 sen US$ per barrel. Juga untuk jenis Cinta yang "setengah manis" (middle grede) dengan satu dollar per barrel. Patut diketahui, harga patokan untuk jenis Minas adalah US$ 35 per barrel, sedang untuk jenis Cinta berlaku harga patokan US$ 34 per barrel. DISEBUT-SEBUT pula tanggal mulai berlakunya "harga baru" itu: 1 September pekan ini. Adapun salah satu sebabnya, karena tekanan-tekanan dari para pembeli di Jepang. Kalau saja dugaan tersebut benar, bisa dipastikan pajak perseroan minyak yang dalam tahun anggaran 1982/1983 diperkirakan mencapai Rp 9,1 trilyun, akan semakin berkurang saja. Syukur Menteri Subroto, selesai pertemuan yang dipimpin Presiden bersama beberapa menteri Ekuin, cepat membantah kabar itu. Tanpa menuding suatu pihak pun, Menteri Subroto pekan lalu menyatakan suara-suara yang mengatakan harga minyak Indonesia akan turun sebagai "desas-desus" belaka. Seorang pejabat yang mengetahui, nampaknya bisa menerima bantahan Subroto itu. "Indonesia sejak dulu tidak pernah membangkang apa yang sudah disepakati bersama dalam sidang OPEC," katanya. Tapi dia tak menutup kemungkinan akan turunnya harga minyak, kalau itu memang menjadi keputusan sidang OPEC bulan Desember.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus