PIDATO Presiden Soeharto di DPR pertengahan Agustus, membuat
para pemegang uang panas, agak mengerem nafsunya untuk
berspekulasi, atau berbondong-bondong menyimpan uangnya dalam
bentuk Asian Currency Unit (dollar) di bank-bank Singapura,
melalui bank-bank devisa di Jakarta. Tapi beberapa hari setelah
itu, perasaan waswas tadi kembali kambuh. Mereka melihat pada
gerakan kurs tengah yang sampai Senin lalu sudah mencapai Rp 666
per 1 US$.
Banyak yang memperkirakan nilai mpiah yang diambangkan secara
terkendali itu akan terus merayap ke atas, dan baru direm oleh
Bank Indonesia kalau kurs tengah sudah mencapai Rp 700 untuk 1
US$. Bahkan beberapa pengusaha di Kota ada yang berani bertaruh
pengambangan itu baru akan dikendalikan setelah mencapai Rp 720
untuk 1 US$.
Benarkah? Ini sulit dipastikan. Sekalipun tanda-tanda ke arah
itu bisa dikalkulasikan, kalau saja diingat turunnya nilai
rupiah terhadap mata uang dollar rata-rata mencapai 5% sebulan
sejak awal Januari lalu. Para pengamat itu juga melihat pada
beberapa indikasi enting yang lain: cadangan devisa yang pada
Juli lalu turun menjadi sedikit di bawah US$ 5 milyar, berkurang
sekitar 37% dibandingkan posisi cadangan devisa tahun lalu. Hal
ini mereka kaitkan dengan pasaran minyak yang masih lembek,
produksi minyak yang untuk sementara waktu tak akan lebih dari
1,3 juta barrel sehari, dan defisit neraca perdagangan yang
untuk tahun anggaran 19B2/1983 diduga akan mencapai sekitar US$
5 milyar.
Seorang bankir pemsrintah tak mengelak semua angka yang tak
begitu cerah itu memang sudah, dan akan terjadi. Tapi secara
setengah berkelakar, bankir itu berani bertaruh bahwa "kurs yang
diambangkan itu tak akan mencapai batas Rp 700 per 1 US$ di
akhir Desember nanti," katanya.
Mudah-mudahan saja sang bankir itu menang bertaruh. Sebab para
pengamat masih meragukan apakah pasaran minyak OPEC (organisasi
pengekspor minyak) tak akan lebih memburuk keadaannya. Sekembali
dari Wina 22 Agustus, Menteri Pertambangan dan Energi Subroto
mengakui bahwa produksi total OPEC sekarang sudah di bawah kuota
17,5 juta barrel sehari (TEMPO, 28 Agustus). Sekalipun begitu,
Komite Monitoring yang berkumpul di Wina itu, di mana Dr.
Subroto merupakan salah seorang anggotanya, tetap menganjurkan
agar OPEC mempertahankan harga patokan US$ 34 per barrel dan
kuota 17,5 juta barrel sampai dengan pertemuan reguler
organisasi pengekspor minyak itu di Lagos, ibukota Nigeria,
Desember.
Indonesia sendiri memang tak memompa produksi seperti dulu lagi.
Selain mematuhi pembatasan oleh OPEC, ada hal-hal lain yang
membuat produksi minyak Indonesia sedikit turun. Kalau Maret
lalu produksi minyak sehari masih tercatat sebanyak 1,484 juta
lebih sedikit, maka di bulan berikutnya -- saat pembatasan OPEC
berlaku -- produksi sehari malah turun jadi 1,25 juta barrel.
Pada Mei produksi total sehari praktis tak banyak berubah: cuma
1,263 juta barrel. Tapi pada Juni, produksi rata-rata sehari
naik lagi menjadi 1,33 juta barrel.
Belum diketahui berapa angka produksi rata-rata dalam bulan
berikutnya. Tapi melihat pasaran yang tak begitu cerah, ada
dugaan pihak pembeli mulai berusaha untuk mengutik-utik soal
harga. Mengutip sumber para pengusaha minyak di Jakarta,
Singapura dan Tokyo, koran The Asian Wall Street Journal
baru-baru ini menduga akan terjadi penurunan harga minyak jenis
Minas antara 15 sen sampai 20 sen US$ per barrel. Juga untuk
jenis Cinta yang "setengah manis" (middle grede) dengan satu
dollar per barrel. Patut diketahui, harga patokan untuk jenis
Minas adalah US$ 35 per barrel, sedang untuk jenis Cinta berlaku
harga patokan US$ 34 per barrel.
DISEBUT-SEBUT pula tanggal mulai berlakunya "harga baru" itu: 1
September pekan ini. Adapun salah satu sebabnya, karena
tekanan-tekanan dari para pembeli di Jepang. Kalau saja dugaan
tersebut benar, bisa dipastikan pajak perseroan minyak yang
dalam tahun anggaran 1982/1983 diperkirakan mencapai Rp 9,1
trilyun, akan semakin berkurang saja.
Syukur Menteri Subroto, selesai pertemuan yang dipimpin Presiden
bersama beberapa menteri Ekuin, cepat membantah kabar itu. Tanpa
menuding suatu pihak pun, Menteri Subroto pekan lalu menyatakan
suara-suara yang mengatakan harga minyak Indonesia akan turun
sebagai "desas-desus" belaka.
Seorang pejabat yang mengetahui, nampaknya bisa menerima
bantahan Subroto itu. "Indonesia sejak dulu tidak pernah
membangkang apa yang sudah disepakati bersama dalam sidang
OPEC," katanya. Tapi dia tak menutup kemungkinan akan turunnya
harga minyak, kalau itu memang menjadi keputusan sidang OPEC
bulan Desember.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini