Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

69 tahun si 234

Ji sam soe, sudah berusia 69 tahun, manajemen dan pemasaran masih lemah, mulai ekspor ke singapura, malaysia dan a.s. (eb)

4 September 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK terasa Dji Sam Soe sudah berusia 69 tahun. Jumat pekan lalu hari lahir rokok kretek itu dirayakan meriah di pabriknya di Jalan Sampurna, Surabaya. Kendati sudah gaek, pasaran rokok (dengan banderol Rp 475 per bungkus) keluaran PT H.M. Sampoerna itu toh masih kalah dibanding Gudang Garam, Bentoel, dan Djarum. Hal itu bisa dilihat dari cukai yang dibayarnya. Tahun lalu, Gudang Garam menyetor Rp 180 milyar, Bentoel (Rp 93 milyar), Djarum (Rp 73 milyar), dan Dji Sam Soe (sekitar Rp 21 milyar). Kelemahan dalam soal manajemen, dan pemasaran, diakui oleh Hendra Prasetya, Manajer Umum Sampoernq, sebagai sejumlah penyebab yang mengakibatkan Dji Sam Soe kurang berkembang. Tapi mungkin juga karena kemasan, dan ramuan rokok itu kurang mengikuti perkembangan zaman. Usaha membuat rokok itu mulamula dilakukan almarhum Liem Seeng Tee sebagai tambahan penghasilan mata pencaharian pokoknya dagang kain. Resepnya ditemukan istri Liem yang dengan setia melinting rokok itu. Untuk memberi nama Liem memakai angka tertinggi dalam kehidupan: 9. Karena itulah dia memberi nama rokoknya 234 (bahasa Cina: Dji Sam Soe) yang jika dijumlahkan 9. Liem Swie Ling, putra kedua Liem Seeng Tee, kemudian meneruskan. Kini dari The House of Sampoerna, yang merupakan gabungan PT Panamas dan PT H.M. Sampoerna, setiap harinya diproduksi Dji Sam Soe, Sampoerna A Djingga, Sampoerna A Hijau, 234 Filter. Tiga bulan lalu, keempat rokok produksinya itu diekspor ke Singapura, Malaysia, dan AS. Sampoerna yang memiliki lima pabrik (tiga di Surabaya, satu di Malang, dan satu di Denpasar), dan mempekerjakan 7.000 karyawan, selalu menggunakan tembakau Madura manis, dan tembakau AS sebagai bahan baku. Untuk mencampurkan saus, sebagai penentu rasa rokok, hanya dilakukan oleh beberapa orang kepercayaan secara turun temurun yang tinggal di lingkungan pabrik. "Sudah menjadi falsafah almarhum Liem Seeng Tee, lebih baik mengurangi produksi daripada mengurangi mutu," kata Benny S.T., Koordinator Promosi Sampoerna. Gaya manajemen yang masih konservatit itu memang masih terasa sepeninggal Liem pada tahun 1953. Sampai sekarang PT H.M. Sampoerna masih mengenal saham keluarga. Barangkali yang patut dibanggakan dari kelompok 234 ini adalah kesetiaan para penerusnya untuk mempertahankan usaha yang padat karya. Kalau pabriknya yang di daerah industri Rungkut itu kelak selesai, akan dipekerjakan sekitar 5.000 karyawan di sana, sehingga seluruh buruhnya menjadi 12.000 orang. Tentang gajinya? "Jaminan sosial di kami sangat baik. Ada Astek, tabungan untuk hari tua, bonus dan THR, dan bantuan dari perusahaan bagi mereka yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun," kata seorang karyawan. Mereka memberikan upah minimum Rp 1.200 sehari. Dan para buruh yang 90% wanita itu setiap hari nampak ada yang berseragam hijau muda, merah dan oranye, pemberian majikan. "Saya bekerja di sini, sejak perusahaan ini dipegang Belanda, lalu Jepang sampai kembali ke Pak Liem," ujar Repi, 50 tahun. Sebanyak 200 buruh sudah bekerja di atas 25 tahun, dan sekitar 2.100 lainnya di atas 15 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus