TAK terasa Dji Sam Soe sudah berusia 69 tahun. Jumat pekan lalu
hari lahir rokok kretek itu dirayakan meriah di pabriknya di
Jalan Sampurna, Surabaya. Kendati sudah gaek, pasaran rokok
(dengan banderol Rp 475 per bungkus) keluaran PT H.M. Sampoerna
itu toh masih kalah dibanding Gudang Garam, Bentoel, dan Djarum.
Hal itu bisa dilihat dari cukai yang dibayarnya. Tahun lalu,
Gudang Garam menyetor Rp 180 milyar, Bentoel (Rp 93 milyar),
Djarum (Rp 73 milyar), dan Dji Sam Soe (sekitar Rp 21 milyar).
Kelemahan dalam soal manajemen, dan pemasaran, diakui oleh
Hendra Prasetya, Manajer Umum Sampoernq, sebagai sejumlah
penyebab yang mengakibatkan Dji Sam Soe kurang berkembang. Tapi
mungkin juga karena kemasan, dan ramuan rokok itu kurang
mengikuti perkembangan zaman.
Usaha membuat rokok itu mulamula dilakukan almarhum Liem Seeng
Tee sebagai tambahan penghasilan mata pencaharian pokoknya
dagang kain. Resepnya ditemukan istri Liem yang dengan setia
melinting rokok itu. Untuk memberi nama Liem memakai angka
tertinggi dalam kehidupan: 9. Karena itulah dia memberi nama
rokoknya 234 (bahasa Cina: Dji Sam Soe) yang jika dijumlahkan 9.
Liem Swie Ling, putra kedua Liem Seeng Tee, kemudian meneruskan.
Kini dari The House of Sampoerna, yang merupakan gabungan PT
Panamas dan PT H.M. Sampoerna, setiap harinya diproduksi Dji Sam
Soe, Sampoerna A Djingga, Sampoerna A Hijau, 234 Filter. Tiga
bulan lalu, keempat rokok produksinya itu diekspor ke Singapura,
Malaysia, dan AS.
Sampoerna yang memiliki lima pabrik (tiga di Surabaya, satu di
Malang, dan satu di Denpasar), dan mempekerjakan 7.000 karyawan,
selalu menggunakan tembakau Madura manis, dan tembakau AS
sebagai bahan baku. Untuk mencampurkan saus, sebagai penentu
rasa rokok, hanya dilakukan oleh beberapa orang kepercayaan
secara turun temurun yang tinggal di lingkungan pabrik. "Sudah
menjadi falsafah almarhum Liem Seeng Tee, lebih baik mengurangi
produksi daripada mengurangi mutu," kata Benny S.T., Koordinator
Promosi Sampoerna.
Gaya manajemen yang masih konservatit itu memang masih terasa
sepeninggal Liem pada tahun 1953. Sampai sekarang PT H.M.
Sampoerna masih mengenal saham keluarga. Barangkali yang patut
dibanggakan dari kelompok 234 ini adalah kesetiaan para
penerusnya untuk mempertahankan usaha yang padat karya. Kalau
pabriknya yang di daerah industri Rungkut itu kelak selesai,
akan dipekerjakan sekitar 5.000 karyawan di sana, sehingga
seluruh buruhnya menjadi 12.000 orang.
Tentang gajinya? "Jaminan sosial di kami sangat baik. Ada
Astek, tabungan untuk hari tua, bonus dan THR, dan bantuan dari
perusahaan bagi mereka yang sudah bekerja lebih dari 20 tahun,"
kata seorang karyawan. Mereka memberikan upah minimum Rp 1.200
sehari.
Dan para buruh yang 90% wanita itu setiap hari nampak ada yang
berseragam hijau muda, merah dan oranye, pemberian majikan.
"Saya bekerja di sini, sejak perusahaan ini dipegang Belanda,
lalu Jepang sampai kembali ke Pak Liem," ujar Repi, 50 tahun.
Sebanyak 200 buruh sudah bekerja di atas 25 tahun, dan sekitar
2.100 lainnya di atas 15 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini