Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA mulanya, siang pekan lalu itu, belasan bus Tunggal Dara berbaris rapi di tepi jalan raya Boyolali-Semarang, Jawa Tengah. Setiap bus hanya berisi beberapa orang. Tak lama kemudian, para penumpang pindah ke satu bus. Bus-bus yang lain putar haluan, balik ke kandang. Hanya satu bus itu, yang penuh penumpang, berangkat ke Jakarta.
”Sekarang penumpang sepi sekali,” kata Mulyadi, Direktur Utama Perusahaan Otobus (PO) Tunggal Dara, Wonogiri, Jawa Tengah. ”Penumpang dari Pacitan, Ponorogo, Wonogiri, Madiun, Gemolong, Solo, menuju Jakarta disatukan dalam satu bus di sini.”
Dari 55 unit armada Tunggal Dara, hanya separuhnya yang dioperasikan. Itu pun tidak langsung ke tujuan. Artinya, penumpang dari berbagai kota kecil harus dipindahkan ke dalam satu bus, biasanya dilakukan di Boyolali. Mulyadi mengeluh, perusahaannya sebetulnya sudah bisa dibilang bangkrut. Biaya operasional per satu perjalanan sudah lebih tinggi dari pendapatan.
Di Jakarta, bus Lorena yang melayani perjalanan ke Jambi, Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga Bali, termasuk yang terancam gulung tikar. Dari 200 unit busnya hingga 2004, tahun ini yang beroperasi hanya tinggal 30.
Kebangkrutan bisnis transportasi terus menggelinding bagai bola salju. Ketua Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (Organda), Murphy Hutagalung, mengatakan 95 persen dari 800-an—atau sekitar 760—perusahaan bus antar-kota antar-provinsi (AKAP) sebetulnya sudah bangkrut. Kalau terlihat masih hidup, ”Hanya untuk jaga nama, karena nama sudah berkibar,” katanya.
Biang keladinya apa lagi kalau bukan kenaikan harga BBM. Dampaknya mukul ke mana-mana, ke harga onderdil dan ban. Daya beli masyarakat pun anjlok, orang membatasi mobilitas. Sebaliknya, retribusi dan pungli—dalam pengurusan izin, misalnya—tetap gilang-gemilang.
Murphy mencontohkan, untuk angkutan jurusan Jakarta-Medan, biaya pengeluaran per satu trip bisa mencapai Rp 7 juta. Sedangkan pendapatan paling hanya Rp 2,5 juta. ”Siapa bisa tahan?” Murphy bertanya, entah ke siapa.
Murphy mengharapkan pemerintah memberikan harga BBM khusus untuk kendaraan angkutan umum. Biaya retribusi pun sebaiknya dihapus. Perkara pungli? ”Nah, ini yang paling sulit diatasi,” katanya seraya menggeleng-gelengkan kepala.
Tapi Dirjen Perhubungan Darat, Iskandar Abubakar, menganggap usul subsidi BBM sebagai langkah mundur. ”Itu tidak mungkin,” katanya. Dia menjelaskan, transportasi AKAP memang mengalami kelebihan armada. Sejak kenaikan BBM 2005, penumpang AKAP jarak jauh disabet pesawat terbang, dan jarak pendek diambil sepeda motor. Maksudnya, untuk bepergian ke luar kota yang jaraknya tidak terlalu jauh, masyarakat memilih menggunakan sepeda motor.
Sebetulnya pemerintah sudah memberikan ”kado” berupa penghapusan pajak barang mewah untuk pembelian armada kendaraan, atau pemotongan biaya perpanjangan STNK dan PKB hingga 40 persen. Tapi hingga kini kebijakan itu masih belum diberlakukan.
Keputusan pemerintah yang ditandatangani pada 21 November 2005 itu memang akan mulai diberlakukan pada Januari 2006. ”Masih harus digodok lagi,” kata Iskandar. Artinya, belum matang betul. Sementara itu, para pengusaha bus sudah terkaing-kaing. ”Apa kita harus mogok?” kata Murphy.
Rinny Srihartini, Imron Rosyid (Boyolali), Dewi Rahmarini (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo