Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Dari Pinjol ke Pindar, Bisakah OJK Mencegah Fraud di Industri Peer-to-Peer Lending?

OJK akan membatasi lender individu peer-to-peer lending. Akibat banyak penyelewengan yang merugikan investor.

29 Desember 2024 | 08.30 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • OJK akan menerbitkan ketentuan baru untuk mengatur industri peer-to-peer lending.

  • Jumlah lender individu masih di bawah lender perbankan dan lembaga keuangan nonbank.

  • Pinjaman online akan berubah nama menjadi pindar untuk membedakan yang legal dan ilegal.

UNDANGAN rapat dari Otoritas Jasa Keuangan makin sering diterima oleh Entjik S. Djafar, Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), menjelang akhir tahun. Dia diminta membantu OJK menyusun aturan baru yang memperketat layanan platform digital yang menghubungkan pemberi dengan penerima pinjaman (peer-to-peer lending). Rupanya, kata Entjik, OJK hendak melakukan transformasi industri financial technology peer-to-peer lending setelah terjadi fraud atau penyelewengan. “Akhir-akhir ini diskusinya makin intens. Meeting sepekan bisa tiga kali,” ujarnya pada Rabu, 25 Desember 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapat terakhir antara AFPI dan OJK berlangsung pada Senin, 16 Desember 2024, di kantor OJK, Wisma Mulia 2, Jakarta Selatan. Menurut Entjik, pembahasannya soal kriteria lender atau pemilik dana dan pemberi pinjaman yang bisa mendanai peer-to-peer lending. “Salah satunya akan ada batas minimal umur lender,” ucapnya. OJK juga tidak akan mengizinkan pemberi dana individu nonprofesional menjadi lender pada perusahaan fintech peer-to-peer lending. Sebab, kata Entjik, banyak di antara mereka yang hanya memburu imbal hasil tinggi tapi tak paham risiko bisnis ini. “Kami tidak seperti bank, di mana seseorang menyimpan dana dengan aman dan mendapat bunga,” tuturnya, seraya mengatakan para lender menghadapi risiko kredit macet dan gagal bayar, “Sehingga bisa rugi.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OJK sedang menginisiasi aturan untuk membatasi keterlibatan pemberi pinjaman individu nonprofesional dalam model bisnis fintech peer-to-peer lending. Gagasan tersebut pertama kali dikemukakan OJK kepada AFPI pada akhir September 2024. Pemicunya adalah makin banyak perusahaan peer-to-peer lending yang rontok dan merugikan para pemberi pinjaman amatir alias nonprofesional. Contohnya kasus yang menimpa TaniFund dan Investree. Para lender-nya berbondong-bondong menuntut pengembalian dana setelah terjadi fraud yang dilakukan oleh manajemen perusahaan. Ada pula kasus pembekuan dana pemberi pinjaman Koin P2P, anak usaha KoinWorks, akibat dugaan penipuan yang dilakukan salah satu borrower atau peminjam dana.

Suasana pameran Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2023 di Jakarta, Kamis 23 November 2023. Tempo/Tony Hartawan

Entjik mengatakan kategorisasi pemberi pinjaman diharapkan dapat menyaring para investor fintech peer-to-peer lending menjadi hanya mereka yang profesional dan memahami risiko. Hal itu akan mengacu pada sederet kriteria yang bakal disusun dan ditetapkan oleh OJK. “Individu profesional bisa dilihat, misalnya, dari portofolio investasinya, yang mengerti risiko, yang biasa main saham, atau yang memiliki latar belakang investment banking,” ujarnya. 

Pembatasan lain adalah nilai nominal pendanaan yang bisa ditempatkan di perusahaan peer-to-peer lending. Saat ini pemberi pinjaman individu dapat berpartisipasi dengan modal mulai Rp 1 juta. “Nanti yang kecil-kecil semacam itu tidak usah ikut,” kata Entjik. Penyelenggara fintech peer-to-peer lending juga akan melakukan asesmen atau penilaian berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh OJK. 

Para pemain fintech peer-to-peer lending berharap ketentuan anyar itu dapat memperkuat industri ini, terutama untuk memperoleh pendanaan berkelanjutan. Meski begitu, Entjik tak menampik anggapan soal kekhawatiran bahwa penyelenggara fintech berskala kecil berpotensi tergusur oleh kebijakan itu. Musababnya, mereka kerap mengandalkan kumpulan pendanaan renteng dari pemberi pinjaman individu nominal kecil alih-alih lender individu profesional atau lender institusi. Opsi konsolidasi bisa dijajaki agar tetap dapat bertahan dan menciptakan skala yang lebih besar. “Industri ini masih muda, akan ada seleksi alam,” tuturnya.

Berdasarkan data OJK per 29 Oktober 2024, ada 97 perusahaan penyelenggara peer-to-peer lending yang terdaftar dan berizin. Jumlah perusahaan dalam daftar itu berkurang satu setelah pencabutan izin usaha PT Investree Radika Jaya atau Investree yang tersandung dugaan fraud pendirinya, Adrian Asharyanto alias Adrian Gunadi.

Suasana pameran Indonesia Fintech Summit & Expo (IFSE) 2023 di Jakarta, Kamis 23 November 2023. Tempo/Tony Hartawan

Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman telah mengungkapkan sinyal untuk membatasi peran pemberi pinjaman individu nonprofesional dalam ekosistem peer-to-peer lending. Dia mengatakan lender profesional akan diberi ruang dan peluang yang lebih besar karena lebih memahami manfaat serta risiko atas transaksi peer-to-peer lending. “Kajiannya sedang disiapkan,” ujarnya.

•••

UPAYA penguatan industri peer-to-peer lending terus dilakukan dari berbagai sisi. Salah satunya dengan penjenamaan ulang atau rebranding. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia turut menginisiasi rebranding industri dari semula bernama pinjaman online (pinjol) menjadi pinjaman daring (pindar). Karena kerap mendapat persepsi negatif, pelaku industri peer-to-peer lending berharap pembaruan nama bisa memberi kesan positif sekaligus memperbaiki reputasi. Ketua Umum AFPI Entjik S. Djafar mengatakan keresahan para anggota asosiasi memantik ide rebranding yang digagas pada Juni 2024. “Pinjol mengacu pada perusahaan yang tidak mendapatkan izin OJK. Tapi citra kami di masyarakat sering dicampuradukkan dengan perusahaan ilegal semacam itu,” katanya.

Lekat dengan istilah pinjol, kehadiran industri fintech juga kerap diasosiasikan dengan teror. Tudingan yang muncul, menurut Enjtik, perusahaan peer-to-peer lending dianggap menjebak dengan bunga yang mencekik, tenor yang pendek, dan penagihan yang penuh dengan ancaman serta kekerasan. Dia menegaskan bahwa pandangan itu salah karena aplikasi fintech lending legal memiliki aturan yang jelas dan ketat soal bunga pinjaman, tenor, serta etika penagihan. “Misalnya ada kasus bunuh diri katanya karena pinjol, lalu kami yang kena tuduh. Padahal, setelah kami cek, tidak ada,” ujarnya. Dengan rebranding, Entjik berharap masyarakat dapat membedakan pinjol ilegal dengan pindar yang legal dan diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan.

Suasana pelayanan kontak 157 Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta, Rabu 6 Desember 2024. Tempo/Tony Hartawan

Setelah sepakat melakukan rebranding, AFPI melempar sayembara ke masyarakat untuk menampung ide nama yang menarik dan relevan dengan industri fintech lending. Usulan itu juga datang dari komunitas dan kampus-kampus dalam negeri. “Akhirnya terkumpul 3.972 nama,” tutur Entjik. Setelah itu, AFPI melanjutkan penyaringan nama dengan berkonsultasi dengan konsultan merek, tokoh industri, pakar komunikasi, dan akademikus. Hingga akhirnya muncul pindar, nama yang dipilih untuk merepresentasikan wajah industri fintech lending. “Diputuskan September, lalu Oktober kami melaporkan ke OJK.”

OJK mengakui usulan rebranding sepenuhnya datang dari pelaku industri untuk menjaga citra positif di masyarakat. Kepala Eksekutif Pengawas Lembaga Pembiayaan, Perusahaan Modal Ventura, Lembaga Keuangan Mikro, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya OJK Agusman mengatakan upaya itu masuk implementasi penguatan tata kelola yang baik dan manajemen risiko penyelenggara. “Salah satu langkah yang dilakukan oleh industri adalah memperkenalkan nama pinjaman daring untuk penyelenggara yang legal atau berizin OJK,” katanya.

Ponsel yang memperlihatkan aplikasi fintech Airasia Money, Kamis, 3 Maret 2022. Dok.TEMPO/Muhammad Hidayat

Tak hanya berbenah citra, OJK juga mengingatkan penyelenggara fintech lending memperbaiki kinerja. Salah satu fokus regulator adalah masih adanya 19 penyelenggara pindar yang memiliki tingkat kredit bermasalah atau tingkat wanprestasi 90 hari (TWP 90) di atas 5 persen per Oktober 2024. Terhadap penyelenggara tersebut, OJK memberikan surat peringatan dan meminta rencana aksi perbaikan kualitas pendanaannya. Adapun laba industri fintech lending secara keseluruhan tetap tumbuh dari Rp 806,05 miliar pada September 2024 menjadi Rp 1,09 triliun pada Oktober 2024.

Penyelenggara fintech lending menyambut baik rencana transformasi yang diinisiasi otoritas hingga asosiasi. Chief Executive Officer PT Amartha Mikro Fintek Andi Taufan Garuda Putra mengatakan perbaikan fundamental industri fintech lending membutuhkan kolaborasi berbagai pihak yang terlibat di dalamnya. “Bagaimana membangun pelaku industri yang lebih pruden, memperbaiki good corporate governance, dan berfokus pada manajemen risiko,” ucapnya.

Rencana pembatasan pemberi pinjaman individu nonprofesional, kata Taufan, bisa menjadi bentuk pelindungan sekaligus edukasi terhadap konsumen. Dia mengatakan Amartha sebagai penyalur pendanaan untuk usaha mikro, kecil, dan menengah juga menghadapi tantangan dalam mengedukasi para lender. Lender profesional diharapkan memiliki persepsi dan mitigasi risiko yang lebih baik sehingga dapat memilih borrower yang akan didanai. Amartha, menurut Taufan, juga terus meningkatkan kerja sama dengan lender perbankan dan industri jasa keuangan baik dalam maupun luar negeri. 

Yang terbaru, Amartha mendapatkan pendanaan dengan skema channeling senilai Rp 2 triliun dari Standard Chartered Bank Indonesia. Pembiayaan itu ditujukan kepada 400 ribu perempuan pengusaha. “Kami ingin terus berekspansi dan membiayai pelaku UMKM khususnya di luar Pulau Jawa,” ujar Taufan.

Pertumbuhan lender institusi juga dialami oleh PT Akselerasi Usaha Indonesia (Akseleran). CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan menyatakan kerja sama yang dijajaki antara lain dengan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, dan PT Bank OCBC. Lender institusi menyumbang 60 persen dari total pinjaman yang disalurkan oleh Akseleran, sisanya pemberi pinjaman individu. “Lender institusi kuat karena mereka memiliki likuiditas yang memadai,” ucap Ivan. 

Hubungan penyelenggara fintech lending dengan para “bohir”, seperti perbankan, lembaga jasa keuangan, dan badan hukum lain, kian erat. Data OJK menyebutkan total outstanding lender industri perbankan dalam negeri per September 2024 sebesar Rp 42,36 triliun atau 56,88 persen dari total pemberi pinjaman fintech lending. Sedangkan pendanaan yang berasal dari industri keuangan nonbank dalam negeri sebesar Rp 1,06 triliun atau 1,43 persen dari total outstanding lender.

Meski begitu, porsi lender institusi yang makin besar bisa membatasi partisipasi lender individu. Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies Nailul Huda menuturkan, jika pembatasan ini tidak dilakukan dengan hati-hati, kebijakan tersebut pada akhirnya berpotensi menghilangkan esensi dan tujuan didirikannya industri fintech lending delapan tahun silam. 

Menurut Huda, setiap orang, termasuk individu nonprofesional, berhak berinvestasi di platform fintech lending. Alih-alih membatasi, kata dia, OJK seharusnya bisa menyediakan ruang investasi yang aman dan nyaman bagi lender individu nonprofesional. Huda melanjutkan, OJK seharusnya meningkatkan upaya edukasi, pelindungan konsumen, dan pengawasan tata kelola fintech lending. “Tidak akan menyelesaikan masalah jika regulator juga tidak berbenah di sisi pengawasan,” ujarnya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul Sempit Ruang Investor Amatir

Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus