Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suasana rapat harga gas di ruang Garuda kantor Kementerian Perindustrian, Rabu siang pekan lalu, mendadak riuh. Para pengusaha pengguna gas bertepuk tangan menyambut pernyataan Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Franky Sibarani.
Dia menanggapi Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Hendi Prio Santoso, yang menyebutkan 90 persen pengusaha sudah membayar tagihan gas yang naik 55 persen sejak bulan lalu. ‘’Itu bukan berarti kami setuju. Kami tidak ada pilihan. Kalau tidak bayar, pasti (pasokan gas) dihentikan," kata Franky.
Rapat itu dihadiri Menteri Perindustrian Mohamad Suleman Hidayat serta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik. Keduanya berusaha mendengar keluhan para pengusaha makanan-minuman, yang mengaku paling keberatan dengan naiknya harga gas. Alasannya, mereka harus meningkatkan produksi 2-3 kali lipat untuk kebutuhan Lebaran. Jika biaya gas naik, harga makanan dan minuman terpaksa naik 5 persen.
Pada Mei lalu, PGN mengumumkan harga gas di sektor hilir naik dari US$ 6,7 per million metric British thermal unit (MMBTU) menjadi US$ 10,2 per MMBTU. Alasannya, ada revisi harga pasokan dari blok milik ConocoPhillips dari US$ 1,85 per MMBTU menjadi US$ 5,6 per MMBTU.
Perubahan perjanjian harga juga dilakukan dengan Pertamina EP Region Sumatera Selatan, yang naik dari US$ 2,2 per MMBTU menjadi US$ 5,5 per MMBTU. "Ini murni karena pasokan. Keuntungan PGN tidak bertambah satu sen pun. Kami mempertahankan biaya jasa dan tarif yang berlaku sejak 2009," kata Hendi.
Menteri Jero menegaskan, kenaikan harga gas di hulu mendesak karena selama ini besarannya terlalu rendah. Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara saat ini pun kurang sehat karena terlalu bengkak untuk subsidi bahan bakar minyak. "Dalam situasi seperti ini, harus ada tambahÂan pendapatan. BP Migas (Badan Pelaksana Hulu Minyak dan Gas Bumi) harus cari uang lebih banyak," ujarnya.
Kepala BP Migas R. Priyono mengakui adanya renegosiasi ini. "Tahun ini saja tambahan pendapatan negara dipastikan mencapai Rp 6 triliun dari gas," ujar Priyono
Pemerintah akan menjadi wasit untuk menengahi masalah ini. Salah satu solusi yang ditawarkan kepada para pengusaha adalah dengan menyetel harga di hilir agar tidak terlalu tinggi.
Koreksi harga itu, menurut Wakil Menteri Energi Rudi Rubiandini, antara lain menyangkut biaya atas jasa mengantar gas pada konsumen melalui sistem pemipaan PGN (toll fee) senilai US$ 0,41. Ada pula collector fee sebesar US$ 2 sebagai biaya jasa. "Biaya itu terlalu besar dan seharusnya bisa dihapus atau dikurangi," ujarnya.
Menteri Hidayat juga berjanji mengupayakan penyetaraan posisi sektor industri dalam prioritas untuk memperoleh gas. Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2010, gas diprioritaskan untuk peningkatan produksi minyak dan gas bumi, Perusahaan Listrik Negara, industri pupuk, baru kemudian sektor industri lainnya. "Kalau harus ada perubahan aturan, butuh waktu berbulan-bulan, sementara industri menderita," katanya. Padahal kenaikan harga sedikit saja akan membuat pasar dalam negeri kebanjiran barang impor.
Untuk mencegah hal itu, pemerintah sejak awal mematok waktu pemberlakuan semua penyesuaian tersebut. "Jika ada perubahan dalam bentuk apa pun, akan berlaku pada 1 September mendatang," kata Hidayat, sambil mengatakan bahwa skema kenaikan harga masih akan terus digodok.
Bagi para pengusaha makanan-minuman, kesimpulan pertemuan Rabu siang itu membuat mereka lega. "Artinya, sekarang kami masih bisa bayar dengan harga sebelum ada kenaikan 55 persen," kata Adhi, salah satu dari mereka.
Eka Utami Aprilia, I Wayan Agus, Gustidha Budiartie
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo