Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perintah pada akhir Mei itu jelas. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta PT Pertamina Persero tidak lagi bergantung pada pembelian minyak mentah dan produknya melalui pihak ketiga. "Utamakan pembelian langsung ke sumber-sumber utama," katanya dalam pidato pada Selasa malam di Istana Negara itu.
Instruksi Presiden itu seperti menjadi gong atas pernyataan-pernyataan keras sebelumnya yang diucapkan Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan. Dalam beragam kesempatan, Dahlan mengungkapkan kekesalannya melihat cara Pertamina mengimpor minyak untuk kebutuhan dalam negeri yang terus-menerus melonjak.
Dengan rata-rata kebutuhan di atas 1,2 juta barel per hari, lifting dari produksi dalam negeri saat ini paling banter hanya berada di angka 860 ribuan barel saban hari. Sisanya harus impor. "Pertamina kan perusahaan besar, masak beli minyak dari pedagang," ujar Dahlan, yang mengaku tak habis mengerti.
Perilaku itu pula yang membuat Dahlan sempat mengancam akan menutup PT Pertamina Energi Trading Ltd atau Petral, yang selama ini menjadi perpanjangan tangan perusahaan negara itu untuk belanja minyak di pasar. Skema pembelian semacam itu berulang kali dipermasalahkan banyak pihak karena dicurigai sarat permainan harga dan jadi ajang perburuan rente bagi para pejabat yang berkuasa.
Menurut cerita Dahlan, Presiden berkali-kali mengajaknya berdiskusi tentang Petral itu bersama beberapa menteri lain. "Arahan Presiden SBY jelas dan tegas bagi saya: benahi Pertamina," kata Dahlan, seperti dikutip di situs resmi BUMN. "Kalau ada yang mengaku-aku dapat backing dari Presiden, atau dari Cikeas, atau dari Istana, abaikan saja."
Berbekal perintah itu, Dahlan membentuk tim khusus untuk mengaktifkan kembali perburuan minyak ke sumbernya, terutama di wilayah yang selama ini belum termanfaatkan maksimal. Di wilayah Timur, Kazakstan masuk radar. Di Timur Tengah, masih ada Irak, yang baru saja lepas dari gejolak dan membuka peluang lebar. Sedangkan di Afrika Utara, ada Libya, yang juga punya potensi besar.
Seorang petinggi Pertamina mengatakan, gagasan untuk membeli minyak ke sumbernya itu sebenarnya bukan hal baru. Ia sendiri mengaku pernah diberi tugas menjajaki peluang itu di tiga negara yang sekarang jadi target. "Tapi ini bukan soal gampang. Taruhannya nyawa," dia bertutur sambil tak henti menengok kiri-kanan untuk memastikan tak ada orang lain yang tak ia kenal di ruangan itu.
Dia lalu berkisah tentang ancaman yang kerap diterimanya selama ia menjalankan tugas ke Libya dan Kazakstan. "Impor minyak ini sudah seperti urusan mafia. Duitnya mengalir ke mana-mana."
Tak mengherankan bila tim yang kali ini dibentuk melibatkan lebih banyak unsur. Dipimpin oleh pejabat senior Pertamina, Bayu Kristanto, tim baru tersebut tak hanya bertugas mengorek semua kemungkinan untuk mendapat minyak langsung dari sumurnya. Mereka juga diperintahkan mencari peluang dagang lain, termasuk membawa serta pasukan dari BUMN lain di bidang konstruksi, seperti Wijaya Karya, Adhi Karya, dan Hutama Karya. "Ini langkah untuk membangun ‘Indonesia Incorporated’ yang sebenarnya," kata Bayu di kantornya.
Sebagai awal, kantor baru mulai dioperasikan di ibu kota Irak, Bagdad, mulai 11 Juni lalu. Berisi 6-10 personel, tugas pertama mereka adalah memahami peta persoalan di negeri yang masih kerap diguncang ledakan di jalan-jalan ini. "Kami harus mempelajari semua aspek yang langsung atau tak langsung terkait dengan bisnis: regulasi, budaya, sosial, urusan legal, dan sebagainya," Bayu menjelaskan.
Di Irak, Pertamina tak harus memulainya dari nol. Di sana mereka masih memiliki aset yang tertunda penggarapannya lantaran kisruh politik dan perang, yakni satu lapangan eksplorasi dan satu lapangan produksi. Potensinya berkisar 30 ribu barel per hari. "Dengan konsep baru ini, target kami bukan hanya mendapat pasokan langsung minyak mentahnya, tapi juga menggarap lini hulunya. Di situlah BUMN konstruksi akan mendapat porsi," ujar Bayu.
Konsep serupa nantinya akan diterapkan di Libya dan negara lain. Di negeri yang selama 42 tahun dikuasai Muammar Qadhafi itu, beberapa perusahaan swasta Indonesia, seperti PT Medco Energi, PT Citra Megah Karya Gemilang, dan PT Inti Karya Persada Teknik, sudah menggarap proyek bernilai ratusan juta dolar. Pertamina pun masih mengantongi konsesi di dua ladang eksplorasi, di darat dan lepas pantai.
Satu lagi yang selama ini tersia-siakan di Libya adalah kontrak jangka panjang untuk mendapat pasokan minyak mentah sebanyak 6 juta barel per bulan atau 200 ribu barel per hari. Kontrak ini berlaku sejak Februari 2008, semasa Qadhafi masih memerintah, hasil lobi langsung ke Shukri Mohammed Ghanem, yang ketika itu memimpin perusahaan minyak nasional Libya.
"Kami akan menghormati semua kontrak internasional yang sudah ada," kuasa usaha Kedutaan Besar Libya di Jakarta, Masoud S. El Koshly, memberikan jaminan. "Kalau pemerintah Indonesia mau, semua masih terbuka untuk digarap."
Koshly justru balik bertanya mengapa Indonesia begitu lambat untuk masuk kembali ke Libya, di saat negara-negara lain berlomba mendapat peluang di sana. "Kalau terwujud, kontrak minyak mentah itu nilainya besar sekali. Bisa sampai US$ 5 miliar setahun. Sebesar itu pula peluang dagang yang bisa kita ciptakan. Jangankan keramik dan jasa konstruksi, Anda bawa air putih saja akan kami beli di sana."
Y. Tomi Aryanto
Ganjalan Nama Masjid
Meski mengaku terbuka pada semua peluang hubungan dengan Indonesia, kuasa usaha Kedutaan Besar Libya di Jakarta, Masoud S. El Koshly, mengatakan setidaknya ada dua hal yang masih sedikit mengganjal. Yang pertama adalah belum adanya pengakuan resmi oleh Indonesia.
Sebagai salah satu negara terbesar dengan sistem demokrasi, pengakuan Indonesia sangat dinanti, karena pemerintahan baru di Libya merupakan hasil gerakan demokrasi yang menggusur kediktatoran. "Kami bingung juga, apa kira-kira alasannya sehingga masih ditunda," kata Koshly.
Kerikil lain yang terselip di sepatu ialah dipertahankannya nama Muammar Qaddafy untuk sebuah masjid di kawasan Sentul, Bogor. Mulai dibangun pada 22 Juli 2007, Qaddafy Islamic Centre seluas 1,26 hektare ini sepenuhnya dibiayai oleh World Islamic Call Society, organisasi dakwah yang didirikan Muammar Qadhafi, yang berpusat di Tripoli, Libya. Proyek dikerjakan oleh PT Waskita Karya dalam dua tahap, yang masing-masing menelan biaya Rp 36,9 miliar dan Rp 23 miliar, selesai pada 16 Februari 2009.
Beberapa bulan lalu, pemerintah Libya telah berkirim surat dan meminta secara resmi kepada Yayasan Az-Zikra, yang dipimpin Muhammad Arifin Ilham, untuk mengganti nama itu. Sebagai gantinya, mereka menyodorkan nama Umar Mochtar, pahlawan kemerdekaan Libya yang berjulukan Singa Gurun Pasir. "Akan selalu jadi pertanyaan bagi kami bila nama Qadhafi tetap dipakai," ujar Koshly.
Dia kemudian merujuk pada kisah tentang sepotong jalan di Teheran, yang oleh pemerintah Iran telah ditabalkan dengan nama "Khalid Islambouli", yang mereka sebut sebagai salah satu martir kebangkitan Islam. Tindakan ini membuat Mesir gerah, karena nama itu tak lain adalah orang yang telah menembak Presiden Anwar Sadat hingga tewas dalam sebuah parade militer di Kairo pada 6 Oktober 1981. "Itu selalu jadi alasan mengapa perwakilan kedua negara tak pernah sampai level duta besar. Kita tentu tak ingin itu terjadi di sini."
Ketua Harian Yayasan Az-Zikra yang mengelola masjid itu, Muhammad Abdul Syukur Yusuf, mengaku telah menerima surat dari Libya. "Kami sudah beberapa kali bermusyawarah dengan Ustad Arifin Ilham dan menerima masukan para ulama," katanya sambil mengelak menjawab apakah mereka akan mengabulkan atau menolak permintaan itu. "Dua pekan lagi mungkin sudah akan ada keputusan."
Y. Tomi Aryanto, Arihta U. Surbakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo