Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jet darat izin di awang-awang

Perusahaan swasta yang ingin mengoperasikan jet harus mengantongi izin dari departemen perdagang- an, perhubungan dan bppt.bouraq indonesia was-was, nac (national air carter) rugi besar.

18 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NAC rugi besar, pesawatnya terpaksa parkir di Singapura. Kini Bouraq pun waswas. Haruskah IPTN memperoleh order 30%. PEMERINTAH tidak melarang sebuah perusahaan swasta menggunakan jet, tapi memasukkan pesawat jenis ini ke wilayah Republik Indonesia bukanlah perkara mudah. Sebuah perusahaan yang berkehendak mengoperasikan jet, paling tidak harus mengantungi izin dari tiga instansi (Departemen Perdagangan, Perhubungan, dan BPPT). Satu saja tidak memberikan izin, gagallah rencana besar untuk memiliki pesawat jet. "Deg-degan" menunggu restu semacam ini kini tengah dialami oleh Bouraq Indonesia. Menurut sebuah berita yang tersiar, Bouraq memperkuat armadanya dengan tujuh Boeing 737. Ini diakui oleh Moeljanto Djojomartono, direktur eksekutif Bouraq. Hanya ia belum mau mengungkapkan dari mana Boeing 737 itu akan dibeli dan dengan harga berapa. "Ada empat perusahaan penerbangan yang menawarkan pesawatnya kepada kami, tapi kami belum menentukan akan membeli dari mana," katanya. Lain Moeljanto, lain pula sumber TEMPO di Departemen Perhubungan. Menurut yang empunya cerita, Bouraq sudah mengajukan permohonan izin kepada Departemen Perhubungan untuk membeli tujuh unit Boeing 737 dari Malaysia Airline System (MAS). Pembelian pesawat bekas tersebut, konon, sudah disetujui oleh Departemen Perhubungan dengan harga enam juta dolar per unit (sekitar Rp 12 milyar). Total untuk tujuh Boeing, Bouraq harus mengeluarkan Rp 84 milyar. "Pembelian pesawat bekas model ini sangat efisien," kata sumber TEMPO. Tidak dibutuhkan dana penyusutan yang terlalu besar kendati biaya perawatannya mungkin akan membengkak. Namun, dia berpendapat, kalau pintar mengelola, tetap saja jatuhnya akan lebih murah. Sampai di sini, Bouraq belum juga bisa memboyong pesawat idamannya. Konon, yang rada alot memberikan izin adalah Menristek B.J. Habibie selaku Ketua BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi) sekaligus Direktur Utama IPTN. Mengapa? Persoalannya, dengan membeli Boeing 737 bekas, berarti IPTN tidak akan memperoleh "bagian". Sebaliknya, kalau yang dibeli pesawat baru, BUMN ini akan memperoleh pekerjaan senilai 30% dari harga beli keseluruhan. Contohnya, ketika TNI-AU membeli pesawat tempur F-16. Kepada penjual, pihak Indonesia hanya membayar 70% dari harga. Sedang sisanya yang 30% harus diberikan penjual (sebagai pesanan) kepada IPTN, di antaranya untuk pembuatan landing gear F-16. Begitupun ketika Sempati membeli Fokker 100, peraturan ini kabarnya berlaku penuh. Lalu bagaimana pesanan Bouraq yang direncanakan masuk ke Indonesia Agustus depan? Baiklah ditunggu dan disimak. Yang jelas, selain Bouraq, National Air Carter (NAC) -- sebuah perusahaan penerbangan carter -- juga tersandung izin. Bahkan, nasib NAC lebih parah. Pada akhir 1989, NAC telah mengajukan permohonan izin untuk membeli tiga pesawat jet jenis BAE 146. Kebetulan, manajemen NAC memperoleh informasi dari kalangan Departemen Perhubungan bahwa BAE 146 tidak dilarang diimpor. Kabarnya, Departemen Perhubungan meminta kepada BPPT agar NAC -- yang akan membeli BAE 146 -- diberi rekomendasi. Merasa yakin oleh informasi yang diperolehnya, NAC langsung memesan BAE 146 pada British Aerospace. Padahal, belum ada rekomendasi dari BPPT. Lalu? Ketika pengiriman pertama dilakukan, 14 Juni tahun lalu, dan sebuah BAE yang dipesan seharga 26 juta dolar mendarat di Singapura, izin yang diharapkan tak kunjung keluar. Hingga saat ini. NAC akhirnya terpaksa menanggung ongkos parkir di Singapura sepanjang hampir satu tahun. Selain itu, sebuah BAE lainnya -- yang juga telanjur dibeli -- sudah siap dikirimkan. "Untung, pembelian yang satu unit lagi sempat kami batalkan," kata Sundoro, Direktur Operasi NAC. Akan diapakan kedua pesawat tersebut? Entahlah. "Salah mereka sendiri (NAC), kenapa belum dapat izin kok langsung membeli," kata seorang pejabat di Departemen Perhubungan. BK dan Dwi S. Irawanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus