Berkat lobinya di Kongres, MPEAA mencatat kemenangan lawan importir film Indonesia. Menteri Arifin Siregar terpaksa menawarkan konsesi. GARA-GARA impor film, kisruh hubungan dagang Indonesia-Amerika Serikat kembali meruncing, sesudah mereda tanpa penyelesaian yang nyata beberapa waktu berselang. Kisruh itu memasuki babak baru, ketika Motion Picture Export Association of America (MPEAA) berhasil melobi sejumlah senator AS hingga mereka mengusulkan agar Indonesia dimasukkan saja dalam blacklist alias daftar hitam negara-negara yang merugikan AS dalam perdagangan. Mendengar "rencana jahat" itu, Rabu pekan lalu buru-buru Menteri Perdagangan Arifin Siregar mengumumkan bahwa Pemerintah akan memberikan konsesi (kepada AS), dengan mengizinkan penambahan jumlah importir film-film Hollywood. Dalam keterangan yang diucapkan di Istana Merdeka ini, disebutkan juga bahwa langkah tersebut ditempuh untuk menghindarkan Indonesia terjerumus dalam daftar Priority Foreign Countries (PFC), yakni daftar hitam tersebut di atas. Adapun latar belakangnya sederhana saja. April lalu terbetik berita, 26 senator AS menghendaki Indonesia (bersama dengan RRC dan India) dimasukkan dalam PFC. Hal ini diungkapkan oleh seorang pejabat tinggi AS kepada seorang pejabat tinggi RI yang tengah berkunjung di Washington. Rupanya, selama ini MPEAA tak berkenan melihat perangai Asosiasi Importir Film Eropa-Amerika (AIFEA) yang monopolistis dan dilindungi oleh peraturan pemerintah. Kata pihak MPEAA, pembatasan kuota (80 judul per tahun) yang diberlakukan terhadap AIFEA telah menyebabkan para produser AS kehilangan keuntungan US$ 50 juta per tahun. Ini diperhitungkan dari jumlah penduduk Indonesia 179 juta jiwa. Direktur MPEAA Wilayah Asia Timur, Asia Tenggara, dan Australia Stephen Clug pernah mengatakan kepada TEMPO bahwa perusahaan yang bergabung dalam MPEAA bahkan sempat menolak menjual film mereka ke importir Indonesia. Caranya: mematok harga jual per judul sampai sekitar 400% dari semestinya. Akibatnya, film-film kelas A banyak yang tidak bisa dinikmati oleh penonton Indonesia. Sebut saja misalnya Broadcast News (20-th Century Fox), Amadeuz (Orion), Dangerous Liaison (Warner Bros), atau Ordinary People (United Artists). Beberapa film bermutu bagus yang belakangan sempat masuk, seperti Driving Miss Daisy atau Dances with Wolves, tak lain karena terbawa dalam satu paket pembelian dengan film-film Amerika lainnya yang kelas gombal. Dan paket semacam itu memang telah menjadi lazim dalam bisnis keagenan film di bursa Los Angeles. Di luar bursa tersebut, MPEAA tetap memelihara dendamnya terhadap Indonesia lalu membawanya ke Kongres. MPEAA memang memiliki lobi kuat di negerinya. Menurut Presiden American Chamber of Commerce (Amcham), James Castle, dalam ceramahnya di Pusat Kajian Wilayah AS UI dua pekan silam, "Mereka tidak akan mundur kalau merasa dirugikan." Karena itu, masalah film dimasukkan pula dalam agenda Kongres, bersama komoditi lain seperti kayu dan tekstil. Menurut James Castle, sikap keras MPEAA tersebut memang tak lepas dari kultur bisnis Amerika yang agresif, gerak cepat, optimistis, dan tidak kompromistis. Wajar bila lobi MPEAA berhasil mempengaruhi suara sejumlah senator yang berusaha menggiring Indonesia masuk FFC. Mendengar adanya "ancaman" ini, pejabat dari ekuin tersebut kabarnya segera menghubungi Jakarta. Hasilnya: pemberian konsesi dari Arifin Siregar. Maka, terbukalah jalan kompromi. Semula eksportir film Amerika menuntut jalur-jalur distribusi sendiri di Indonesia, belakangan tuntutan ini mengendur. Kini yang penting bagi mereka adalah tidak adanya monopoli dalam peredaran film asing di Indonesia. Dirjen RTF Alex Leo Zulkarnain mengatakan, soal monopoli itu tidak betul. "Saya tahu persis, sekarang ini ada lima importir yang bekerja sama," tuturnya. Menurut Alex, pihak MPEAA menghendaki distribusi langsung. Namun, itu mustahil, mengingat di negeri ini ada undang-undang yang mengharamkan pengusaha asing bergerak di bidang distribusi. Adalah lobi para pejabat RI di Washington -- antara lain dengan pihak USTR (United States Trade Representative) -- membuahkan kompromi berupa konsesi itu. Menurut Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kamarulzaman Algamar, penambahan importir nantinya mungkin terbatas pada satu perusahaan. Realisasinya diperkirakan Juni depan. "Dalam konsesi memang tidak dijelaskan bahwa importir baru tersebut harus masuk asosiasi. Cuma, mestinya ya masuk," tambah Algamar. Selanjutnya tinggal menunggu kesepakatan antara MPEAA dan asosiasi importir. Dalam hal ini pihak Departemen Perdagangan bertindak sebagai penjamin terlaksananya hasil kesepakatan antara mereka, apa pun bentuknya. Yang pasti, biarpun jumlah importir bertambah, jatah maksimum 80 judul per tahun tetap berlaku. Kalau begitu pasalnya, rezeki importir barangkali harus dibagi oleh enam perusahaan -- atau tergantung siapa yang berkuasa dalam tubuh asosiasi. Pihak mereka sendiri, sampai tulisan ini diturunkan, masih mengurung diri, enggan berbunyi. MPEAA juga masih belum memberikan tanggapan atas konsesi tersebut. Para pejabatnya masih sibuk menikmati suasana pesta di Festival Film Cannes. Perwakilannya yang di Jakarta? Sejak awal kemelut, tetap diam mengingat kedudukannya di sini belum aman. MC, Leila S. Chudori, dan Nunik Iswardhani (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini