Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Turun kelas dan turun target

Target penerimaan cukai rokok tahun 1991-92 diperkirakan dapat tercapai. target tahun 1992-93 akan tercapai jika harga cengkeh dapat ditekan. djarum turun ke kelas menengah besar.

11 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CENGKEH dan cukai tak ubahnya saudara kembar yang tak mungkin dipisahkan. Itu terjadi sejak Pemerintah mengharuskan produsen rokok memperlihatkan TBPC (Tanda Bukti Penyerahan Cengkeh) untuk pembelian setiap pita cukai. Maka, tidaklah aneh kalau banyak orang bertanya: Kenapa dalam RAPBN 1992-93 Pemerintah berani mengganggarkan kenaikkan pendapatan cukai hingga 10,2%? Sehingga, dalam rupiah, si cukai ditargetkan akan memasok kocek negara Rp 2.441,8 milyar. Padahal, sejak turunnya SKB Dua Menteri yang mengatur tata niaga emas cokelat, langkah produsen rokok makin sering tersendat, terutama dalam berproduksi. Akibatnya diduga bisa menurunkan omset industri kretek. Pada gilirannya, tentu merembet pada berkurangnya penerimaan Pemerintah dari cukai. Benarkah? Penerimaan cukai pada tahun anggaran berjalan tampaknya bisa tercapai, sebab produsen rokok masih bebas berproduksi. Hal ini terbukti dari angka-angka sampai Desember baru lalu. Ternyata, 86% dari target cukai rokok yang Rp 2,2 trilyun untuk anggaran 1991-92 sudah bisa ditarik. Jumlah ini cukup besar. Biasanya, pada akhir tahun jumlah tersebut rata-rata di bawah 80%. Kini pabrik rokok tak ubahnya seperti petinju yang diikat tangannya. Mereka tak bisa lagi berproduksi sesuka hati, karena tergantung kepada BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh), yang selain "menjatah" cukai juga getol menaikkan harga cengkeh Rp 9 per hari. "Kalau tidak ada perubahan, pada tahun 1992 kondisi kami akan semakin parah," ujar seorang pengusaha pabrik rokok. Karena itu, dalam pertemuan tertutup dengan anggota DPR Kamis pekan lalu di Kota Kudus, mereka mengusulkan agar harga cengkeh diturunkan dari Rp 15.000 menjadi Rp 9.000 ribu per kilo. Permintaan tadi bukan tanpa alasan. Menurut para pengusaha rokok, persediaan cengkeh di 25 pabrik yang ada di kota tersebut, pada awal tahun ini, cuma empat ton. Sementara itu, dengan harga cengkeh yang ditetapkan BPPC, mereka sudah tidak mampu membeli cengkeh baru. Kalau pengakuan itu benar, dampaknya bukan hanya kepada buruh rokok yang sewaktu-waktu bisa dirumahkan alias PHK, tapi juga kepada penerimaan cukai rokok. Sebab, tanpa pembelian cengkeh, berarti tidak akan ada pembelian pita cukai. Akibat seperti ini sangat diprihatinkan oleh Bupati Kudus, Soedarsono. "Harga cengkeh sekarang jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum tata niaga diatur BPPC," ujarnya. Kalau Soedarsono prihatin, itu wajar-wajar saja. Menurut ketua Gappri (Gabungan Pengusaha Pabrik Rokok Indonesia), J.P. Soegiharto, setiap tahunnya pabrik rokok menyumbang PBB Rp 300 milyar. Dari jumlah tersebut, 90% memang menjadi hak pemerintah daerah. Namun, jumlah PBB masih jauh di bawah jumlah cukai rokok yang disumbangkan pabrik rokok, yang pada tahun 1989-90 mencapai Rp 1,77 trilyun, Rp 2,2 trilyun (target 1991-92), dan Rp 2,4 trilyun (tahun 1992-93). Meskipun target tahun 1991-92 diperkirakan bisa dicapai, target cukai 1992-93 rasanya agak sulit. Menurut pengakuan para pengusaha rokok, sejak ada BPPC, pertumbuhan industri rokok turun 5%. Kabarnya, penurunan terbesar justru terjadi di pabrik rokok besar, yang selama ini merupakan penyumbang cukai paling besar. Bahkan pabrik rokok kedua terbesar, Djarum, mulai 2 Januari pekan lalu, terpaksa turun ke kelas pabrik menengah besar. Sebegitu jauh, sampai berita ini diturunkan, belum ada keterangan dari pihak Djarum mengenai penurunan kelas tersebut. Namun, beberapa bulan lalu, T. Budi Santoso dari Djarum mengatakan, lesunya pasaran rokok Djarum karena tata niaga cengkeh yang baru. Dengan adanya penurunan kelas tadi, mau tidak mau cukai yang harus dibayar Djarum juga turun sekitar 2,5%. Ketika masih di kelompok pabrik besar, misalnya, Djarum terkena ketentuan cukai 17,5% untuk SKT dan 37,5% untuk SKM. Kini, sebagai anggota menengah besar, Djarum hanya dikenai cukai 15% untuk SKT dan 35% SKM. Dengan turun kelas ini, penerimaan cukai dari Djarum untuk tahun 1992-93 diperkirakan akan berkurang juga. Hal ini diakui oleh Dirjen Bea dan Cukai, Suhardjo. "Memang, penerimaan cukai dari Djarum akan turun, tapi secara keseluruhan penerimaan cukai pengaruhnya kecil sekali," ujar Suhardjo di sela-sela kesibukannya menyelenggarakan pesta perkawinan seorang putri dari iparnya, pengusaha Probosutedjo. Dengan adanya kasus seperti Djarum, beban yang dipikul Suhardjo akan semakin berat. "Kalau target 1991-92 saya optimistis. Tapi, kalau target penerimaan tahun 1992-93, saya masih angkat tangan," ujarnya. Entah apa maksudnya. Apakah karena target terlampau tinggi, atau kondisi industri rokok yang lesu di bawah BPPC, atau keduanya. Tapi tidak kurang menarik adalah keterangan ketua Gappri Soegiharto. Ia begitu optimistis bahwa target penerimaan cukai Pemerintah tahun 1992-93 akan tercapai. "Asal bagaimana mempertahankan harga cengkeh jangan terlalu tinggi," ujarnya. Menurut Ketua Gappri ini, untuk menekan harga cengkeh, banyak biaya yang bisa dipotong oleh BPPC tanpa mengorbankan harga di petani cengkeh. Ia menunjuk dana penyertaan KUD di BPPC bisa dikurangi dari Rp 1.000 menjadi Rp 500. Juga imbal jasa untuk KUD bisa ditekan dari Rp 500 ke Rp 250 per kg. Biaya operasional bisa dihemat dari Rp 70 ke Rp 20 per karung. Begitu pula biaya pengemasan, diturunkan dari Rp 50 ke Rp 10. "Sumbangan rehabilitasi cengkeh itu kan praktis tidak pernah digunakan," celetuk Soegiharto. "Jadi, ya, hapus saja. Tapi untuk imbalan jasa ke BPPC nggak usah dikurangi," ujar Soegiharto tergelak. Memang, semuanya itu tidak semata-mata karena adanya BPPC. Tidak mustahil, dengan mengaitkan cukai dengan pembelian cengkeh, penerimaan cukai pemerintah tak hanya tergantung naik turunnya penjualan rokok, tapi juga kepada bagaimana pabrik rokok bisa membeli cengkeh dari BPPC. Dengan perkataan kasarnya, kini penerimaan cukai mulai tergantung kepada BPPC. Bambang Aji, Iwan Qodar, Bina Bektiati, dan Bandelan Amarudin

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus