Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Jual Beli & Goodwill Jual Beli Dan Goodwill

Jual beli harian pewarta surabaya ricuh, karena pemilik lama menahan sit harian tersebut. pemilik baru menerbitkan koran lain, sedang sit baru di ja-tim dilarang, masalahnya ditangani laksus setempat.

24 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Surabaya ada koran tua yang sampai kini masih terbit, meskipun dengan tertatih-tatih. Berdiri 28 April 1906 (jadi sudah 70 tahun), harian Pewarta Surabaya bulan lalu jadi rebutan. Sementara ada anjuran penggabungan beberapa koran daerah, berita tentang koran yang nyaris terbit kembar itu memang agak aneh kedengarannya. Ceritanya bermula tanggal 11 Maret 1976 lalu, ketika suami isteri S. Anwar (pemilik PT Anwar Press Ltd) menjual saham-saham Pewarta Surabaya yang diterbitkannya kepada suami-isteri S. Koeswanto, dengan harga nominal Rp 4 juta. Tapi lantaran bukan cuma saham-saham saja yang dijual melainkan juga hak menerbitkannya,harga jual pun membengkak jadi Rp 42,5 juta. "Selebihnya adalah goodwill", ujar Djarot Subiantoro, Dirut PT Anwar Press yang baru. Rupanya yang dimaksud dengan hak menerbitkan berdasarkan goodwill itu adalah SlT. Malangnya, diam-diam S. Anwar tahu betul bahwa secara formil, SIT tak mungkin diperjual-belikan -- meskipun dalam praktek berkedok 'kerjasama' atau pun 'goodwill". Jalan 2 bulan setelah jual-beli berlangsung, pemilik baru berhasil menerbitkan Pewarta Surabaya, dicetak oleh Surya Chandra Kencana Press Co. Ltd. Ini dimungkinkan setelah S. Anwar (yang masih duduk sebagai Dirut PT Anwar Press) memberi-kuasa kepada Djarot Subiantoro menduduki pimpinan umum dan Basuki Soedjatmiko sebagai pemimpin redaksi. Supaya lebih kuat, tanggal 25 Mei 1976 pemilik baru menyelenggarakan rapat para pemegang saham di depan Notaris Oe Siang Djie, yang mengangkat Djarot sebagai Presdir, S. Koeswanto komisaris utama dan drs Putu Gde Swamba komisaris. Merasa Terancam Bersamaan dengan itu, secara sefihak S Anwar mendadak mencabut surat kuasa yang telah ia berikan kepada Djarot dan Basuki. Alasannya, "SIT Pewarta Surabaya saya yang punya. Yang saya jual cuma saham-sahamnya saja", katanya. Ia juga mengemukakan 3 alasan. Pertama, baru 1 bulan terbit, Pewarta Surabaya sudah diperingatkan oleh 7 instansi lantaran tulisan-tulisannya. 'Reputasi saya kan jatuh ka]au begitu. Dan instansi-instansi itu langsung menghubungi saya", tambah Anwar. Kedua,tak dilunasinya sisa pembayaran sesuai perjanjian. Ketiga, ada keluhan-keluhan dari bekas anak buahnya. "Mereka merasa terancam dan tak dihiraukan", kata Anwar lagi. Bantuan Katjung Di lain fihak, Djarot memang mengakui adanya peringatan 7 instansi itu, termasuk Laksus Kopkamtibda Jatim. Tapi soal belum dilunasinya sisa pembayaran jualbeli saham, "kami minta agar hutang pajaknya dilunasi dulu", katanya. Sebab menurut akte jual-beli, segala beban hutang, termasuk pajak-pajak, menjadi tanggungan pemilik lama. Dan hutang pajak itu, yang belum terbayar sejak 1966 sampai 1973 -- lebih dari Rp 32 juta. Tapi sisa yang masih harus dibayar tinggal Rp 10 juta. Kecuali itu, berdasarkan keputusan rapat para pemegang saham di depan Notaris Oe (yang menunjuk Djarot sebagai Presdir) maka otomatis S. Anwar sudah tak berhak lagi duduk sebagai Dirut. Sementara itu para pemilik baru mendengar bahwa akhir Mei 1976 S.Anwar nekad akan menerbitkan Pewarta Surabaya, dicetak oleh Percetakan Kalisari dengan bantuan Katjung. "Tapi dengan catatan bahwa Anwar akan menerbitkan koran yang lain. Sebab saya juga tahu Pewarta Surabaya sudah dijual", ujar Djarot. Maka dia pun segera menghubungi percetakan tersebut. Tentu untuk menjelaskan bahwa untuk mencetak Pewarta Surobaya, harus seijin percetakan yang lama. Ramai-ramai ini, akhirnya sampai juga ke telinga Laksus setempat. Maka SlCnya pun dicabutlah. Tapi persoalannya toh belum berhenti sampai di situ. Anwar yang masih merasa berhak atas SIT tak mau menyerah. "Saya lagi mengurus permohonan SIC baru", katanya kepada Anshary Thayib dari TEMPO. Di lain pihak, Djarot dan kawan-kawan sudah berhasil mendapatkan rekomendasi dari Kanwil Deppen, PWI dan SPS Surabaya untuk mendapatkan SIT baru. "Tapi saya tak menjamin bisa mendapatkan SIT baru itu", kata Soeripto ketua SPS Jatim dan Surabaya. Bisa dimaklumi, sebab memang pernah ada konsensus antara SPS dan Menpen dalam Pekan Pers belum lama ini, bahwa "untuk daerah, SIT baru jangan dulu'-- meski dalam keadaan istimewa, menurut Menpen, bisa diberikan. Adapun Anwar, belum sebiji tandatangan pun ia peroleh. Dan dengan sendirinya belum selembar rekomendasi pun ia dapatkan. Tapi dengan tersenyum ia bilang, "Deppen toh tahu persis persoalan ini". Tiga tahun lalu ada koran Surabaya, Suara Rakyat, yang menyatakan 'perang' terhadap koran-koran Ibukota. Dan sekarang rekan-rekan mereka cakar-cakaran sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus