DI Surabaya ada koran tua yang sampai kini masih terbit,
meskipun dengan tertatih-tatih. Berdiri 28 April 1906 (jadi
sudah 70 tahun), harian Pewarta Surabaya bulan lalu jadi
rebutan. Sementara ada anjuran penggabungan beberapa koran
daerah, berita tentang koran yang nyaris terbit kembar itu
memang agak aneh kedengarannya.
Ceritanya bermula tanggal 11 Maret 1976 lalu, ketika suami
isteri S. Anwar (pemilik PT Anwar Press Ltd) menjual saham-saham
Pewarta Surabaya yang diterbitkannya kepada suami-isteri S.
Koeswanto, dengan harga nominal Rp 4 juta. Tapi lantaran bukan
cuma saham-saham saja yang dijual melainkan juga hak
menerbitkannya,harga jual pun membengkak jadi Rp 42,5 juta.
"Selebihnya adalah goodwill", ujar Djarot Subiantoro, Dirut PT
Anwar Press yang baru. Rupanya yang dimaksud dengan hak
menerbitkan berdasarkan goodwill itu adalah SlT. Malangnya,
diam-diam S. Anwar tahu betul bahwa secara formil, SIT tak
mungkin diperjual-belikan -- meskipun dalam praktek berkedok
'kerjasama' atau pun 'goodwill".
Jalan 2 bulan setelah jual-beli berlangsung, pemilik baru
berhasil menerbitkan Pewarta Surabaya, dicetak oleh Surya
Chandra Kencana Press Co. Ltd. Ini dimungkinkan setelah S. Anwar
(yang masih duduk sebagai Dirut PT Anwar Press) memberi-kuasa
kepada Djarot Subiantoro menduduki pimpinan umum dan Basuki
Soedjatmiko sebagai pemimpin redaksi. Supaya lebih kuat, tanggal
25 Mei 1976 pemilik baru menyelenggarakan rapat para pemegang
saham di depan Notaris Oe Siang Djie, yang mengangkat Djarot
sebagai Presdir, S. Koeswanto komisaris utama dan drs Putu Gde
Swamba komisaris.
Merasa Terancam
Bersamaan dengan itu, secara sefihak S Anwar mendadak mencabut
surat kuasa yang telah ia berikan kepada Djarot dan Basuki.
Alasannya, "SIT Pewarta Surabaya saya yang punya. Yang saya jual
cuma saham-sahamnya saja", katanya. Ia juga mengemukakan 3
alasan. Pertama, baru 1 bulan terbit, Pewarta Surabaya sudah
diperingatkan oleh 7 instansi lantaran tulisan-tulisannya.
'Reputasi saya kan jatuh ka]au begitu. Dan instansi-instansi itu
langsung menghubungi saya", tambah Anwar. Kedua,tak dilunasinya
sisa pembayaran sesuai perjanjian. Ketiga, ada keluhan-keluhan
dari bekas anak buahnya. "Mereka merasa terancam dan tak
dihiraukan", kata Anwar lagi.
Bantuan Katjung
Di lain fihak, Djarot memang mengakui adanya peringatan 7
instansi itu, termasuk Laksus Kopkamtibda Jatim. Tapi soal belum
dilunasinya sisa pembayaran jualbeli saham, "kami minta agar
hutang pajaknya dilunasi dulu", katanya. Sebab menurut akte
jual-beli, segala beban hutang, termasuk pajak-pajak, menjadi
tanggungan pemilik lama. Dan hutang pajak itu, yang belum
terbayar sejak 1966 sampai 1973 -- lebih dari Rp 32 juta. Tapi
sisa yang masih harus dibayar tinggal Rp 10 juta. Kecuali itu,
berdasarkan keputusan rapat para pemegang saham di depan Notaris
Oe (yang menunjuk Djarot sebagai Presdir) maka otomatis S. Anwar
sudah tak berhak lagi duduk sebagai Dirut.
Sementara itu para pemilik baru mendengar bahwa akhir Mei 1976
S.Anwar nekad akan menerbitkan Pewarta Surabaya, dicetak oleh
Percetakan Kalisari dengan bantuan Katjung. "Tapi dengan catatan
bahwa Anwar akan menerbitkan koran yang lain. Sebab saya juga
tahu Pewarta Surabaya sudah dijual", ujar Djarot. Maka dia pun
segera menghubungi percetakan tersebut. Tentu untuk menjelaskan
bahwa untuk mencetak Pewarta Surobaya, harus seijin percetakan
yang lama.
Ramai-ramai ini, akhirnya sampai juga ke telinga Laksus
setempat. Maka SlCnya pun dicabutlah. Tapi persoalannya toh
belum berhenti sampai di situ. Anwar yang masih merasa berhak
atas SIT tak mau menyerah. "Saya lagi mengurus permohonan SIC
baru", katanya kepada Anshary Thayib dari TEMPO. Di lain pihak,
Djarot dan kawan-kawan sudah berhasil mendapatkan rekomendasi
dari Kanwil Deppen, PWI dan SPS Surabaya untuk mendapatkan SIT
baru. "Tapi saya tak menjamin bisa mendapatkan SIT baru itu",
kata Soeripto ketua SPS Jatim dan Surabaya. Bisa dimaklumi,
sebab memang pernah ada konsensus antara SPS dan Menpen dalam
Pekan Pers belum lama ini, bahwa "untuk daerah, SIT baru jangan
dulu'-- meski dalam keadaan istimewa, menurut Menpen, bisa
diberikan.
Adapun Anwar, belum sebiji tandatangan pun ia peroleh. Dan
dengan sendirinya belum selembar rekomendasi pun ia dapatkan.
Tapi dengan tersenyum ia bilang, "Deppen toh tahu persis
persoalan ini". Tiga tahun lalu ada koran Surabaya, Suara
Rakyat, yang menyatakan 'perang' terhadap koran-koran Ibukota.
Dan sekarang rekan-rekan mereka cakar-cakaran sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini