PARA pelukis muda kini sedang getol mencari idiom baru dalam
kanvas mereka. Masih sedikit sekali frekwensi pameran yang dapat
mengikuti proses pencarian tersebut, sehingga tak urung kalau
mereka mendadak muncul dalam satu barisan atawa kelomok,
gebrakan mereka membuat orang terkesima. Yang paling merugikan
adalah apabila kemudian muncul komentar yang mengatakan bahwa
mereka semua itu telah sengaja mengisolir diri, mempersukar dan
mencabut dengan sengaja akar sosial kesenian mereka dari
kehidupan pribumi yang oleh beberapa penulis dianggap lebih
membutuhkan seni yang berfungsi sosial.
Berbau Bombas
Tarmizi Firdaus (26 tahun), Renny Anggraeni (25 tahun), Entis
Sutisna (27 tahun), Arfial Arsad Hakim (26 tahun), semuanya dari
Bandung -- muncul bersama di Balai Budaya, 5 - 10 Juli yang
lalu. 37 buah lukisan yang jelas memperlihatkan idiom baru
dalam pengutaraan emosi, maupun penuturan tanggapan mereka
terhadap alam dan kehidupan, dengan segar hadir meskipun terasa
masih kosong. Sapuan kwas Tarmizi yang lebar, spontan dan
agresip, bidang-bidang gelap yang kaya akan tekstur, dari Entis,
warna-warna dan guratan Reny yang membayangkan gaya hidup yang
praktis, serta keluguan Arfial dalam menangkap alam dalam
bentuk-bentuk sederhana yang -- semuanya menunjukkan bahwa
mereka telah mengikutkan pengalaman pribadi mereka dalam
bekerja, sehingga satu sama lain punya semacam ciri khas. Hampir
tidak ada kesan terperosok dalam ornamen-ornamen, atau keasikan
pada pola-pola tertentu yang telah dipergunakan oleh pelukis
sebelumnya -- meskipun Reny misalnya jelas tidak orisinil dalam
lukisannya yang berjudul "Lukisan Putih" dan "Torehan-torehan",
atau Tarmizi dalam "Catatan Emosi"nya.
Kekosongan pada lukisan mereka, adalah disebabkan karena
perhatian sepenuhnya dialihkan pada bentuk. Meskipun bentuk
ekspresi pada mulanya tidak dapat dipungkiri adalah hasil dari
jalan pikiran atau beban masalah yang berbeda. Tetapi karena
bentuk itu seakan-akan sedang membuat medan perang dengan
bentuk-bentuk ekspresi senilukis sebelumnya yang lebih penting
kemudian bukanlah gaung setiap pribadi dalam setiap kanvas,akan
tetapi jotosannya sebagai sebuah gerakan -- katakanlah
pemberontakan -- terhadap idiom yang telah dikaji oleh para
pelukis terdahulu. Apalagi dengan jarangnya pameran-pameran solo
dari pelukis muda, kanvas lebih merupakan gaung suara bersama,
yang menimbun suara-suara pribadi yang bukannya tak ada.
Kekosongan semacam ini menyebabkan kemudian kanvas cenderung
bersifat teknis, kering karena lebih melantunkan jalan pikiran,
kadangkala bisa juga menjadi formalistis di mana keterangan
tentang proses penciptaan mereka, jauh lebih penting dari apa
yang berhasil mereka lekatkan pada kanvas. Tetapi kekosongan ini
bukan pula kekosongan sia-sia, karena ia hanya merupakan bagian
dari suatu proses yang sedang membentuk bahasa penciptaan yang
baru, sekaligus membentuk cara pengamatan yang baru dari para
penikmat senilukis sendiri. Adalah wajar bahwa di satu kawasan
senilukis dapat berbicara dengan bahasa yang lebih maju dari
kehidupan dalam jamannya, tetapi adalah wajar juga bahwa di satu
kawasan yang lain, sejumlan anak muda tiba-tiba repot untuk
menggali bahasa baru sementara kehidupan sudah lama berguling
dan tidak mungkin dapat diungkapkan dengan pas oleh idiom kanvas
yang lama. Keadaan "mengejar" ini memang mengagetkan dan bisa
berbau sangat bombas, apalagi kalau hendak diterima dengan
mentalitas yang maunya kanvas tetap tenang, menghibur, bertegur
sapa secara ramah dan sopan sebagaimana telah diutarakan oleh
pelukis-pelukis yang telah diterima oleh masyarakat.
Masa Lampau Sudah Lewat
"Melukis bagi saya adalah menyalurkan rangsangan-rangsangan
emosi yang melahirkan bermacam-macam rupa diatas bidang lukisan,
sebagai reaksi terhadap keterbatasan-keterbatasan atau hal-hal
yang saya rasakan menghimpit", kata Tarmizi. Sementara Reni
menambahkan: "Masa lampau adalah sesuatu yang sudah lewat, saya
lebih suka berfikir tentang hari ini dan yang akan datang".
Ucapan-ucapan ini memang dapat keluar dari setiap pelukis muda
pada masa ini. Seperti juga setiap bentuk dapat dilekatkan di
atas kanvas dengan sedikit ketrampilan. Tetapi sukar untuk
membuat orang percaya bahwa semuanya itu bukan hanya sekedar
kata, bukan hanya sekedar bentuk, tetapi memang bahasa yang
dituntut-tidak bisa tidak-dari batin mereka. Di sini kemudian
letak nilai pameran ke 4 pelukis muda kota Kembang ini. Walaupun
belum menampakkan kegempalan, gaung kesegaran mereka terasa
jernih dan jujur. Misalnya lapisan-lapisan karet yang dipakai
oleh Entis di atas harbot untuk menimbulkan tekstur sehingga
mencapai apa yang dinamakannya "nuansa serta dimensi yang samar"
-- tidak membuat kita risi atau langsung bersikap mengusut
seperti seorang detektip akan kejujurannya. Bahkan keterangan
dasar penciptaannya yang berbunyi: "Keterikatan, kerawanan dan
masalah-masalah yang paling tragis, adalah merupakan
aspek-aspek kejiwaan yang mengakibatkan konflik-konflik pribadi
antara saya sebagai manusia dengan lingkungan" -- sebagai
pertanggung jawabannya terhadap kanvasnya yang gelap, ruwet dan
samar -- dapat kita terima.
Sulit untuk memutuskan siapa di antara keempat mereka yang
paling kuat. Ini hanya akan mengalihkan persoalan pada bentuk
dan selera. Pada hal persoalan yang mereka kemukakan adalah
persoalan kejujuran dan penampilan bahasa baru. Dan dalam hal
ini semuanya berhasil membuat kita percaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini