Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jurus mabuk bank swasta

Setelah kurs tengah dolar naik hebat, bi hanya mengizinkan pemakaian dana antar bank. 7,5 persen dana rupiah dari masyarakat, kredit khusus diharapkan bisa memperbaiki krisis likuiditas bank swasta

29 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRISIS likuiditas puluhan bank swasta nasional, yang marak sesudah kurs tengah dolar naik hebat awal bulan ini, rupanya masih belum berakhir. Sekalipun Bank Indonesia (BI) memberikan suntikan, berupa pinjaman murah melalui fasilitas diskonto lebih dari RD 100 milyar, pengaturan dana mereka nyatanya belum juga sehat. "Obat jalan dari BI itu ternyata belum cukup," ujar I Nyoman Moena, ketua Perhimpunan Bank Nasional Swasta (Perbanas). "Setelah diperiksa, rupanya banyak yang perlu segera masuk ICCU (Unit Perawatan Khusus Jantung)," begitu Moena mengibaratkan keadaan perbankan sekarang ini. Kelakar segar itu dikemukakan Moena sesudah BI, pekan lalu, mengeluarkan langkah tambahan untuk mengatasi gejolak di pasar uang belakangan ini Mulai 1 Oktober nanti, Bl hanya mengizinkan pemakaian dana antarbank untuk mengatur dana sehari-hari - dan bukan merupakan sumber dana untuk memberikan pinjaman. Pemakaian dana antarbank, yang suplainya sangat dipengaruhi gejolak moneter ini, hanya dlperbolehkan meliputi 7,5% dari seluruh dana rupiah perbankan dari masyarakat. Untuk mendukung langkah tambahan itu, BI akan menyediakan fasilitas kredit khusus separuh dari yang dibutuhkan, dengan jangka enam bulan. Dan separuhnya lagi berjangka maksimum setahun. Tingkat suku bunga untuk kredit khusus pertama ini adalah 26%, yang ditetapkan berdasarkan tingkat rata-rata bunga deposito terakhir ditambah margin tertentu. Bila suku bunga deposito rata-rata berubah, maka bunga kredit khusus itu juga berubah. Atau, dengan kata lain, "Kredit khusus itu suku bunganya mengambang," ujar Binhadi, direktur BI. Dengan memanfaatkan kredit khusus itu, peluang bank di dalam membuat perencanaan pengerahan dan baru diharapkan bisa lebih baik. Usaha mengerahkan dana dengan menaikkan bunga deposito, yang bukan tak mungkin bakal menyulut berkobarnya perang bunga, dianggap hanya akan membikin demam kembali pasar uang. Indikasi ke arah itu rupanya sudah dilihat Bank Sentral ketika, pekan lalu, sejumlah bank asing mulai menaikkan bunga deposito jangka pendek mereka dari pukul rata 20% jadi sekitar 32%. Bagi pemilik uang, yang ingin menempatkan dana di atas Rp 100 juta untuk jangka satu bulan, ada bank asing yang bahkan berani memberikan bunga 40%. Apa boleh buat, Citibank, yang juga kena sikut kenaikan kurs tengah dan sempat mengetuk pintu diskonto BI, mulai pekan lalu ikut pula menaikkan tingkat diskonto sertifikat depositonya dari 16% jadi 20% setahun. Pelbagai lembaga keuangan bukan bank (LKBB), yang sumber dananya banyak tergantung dari pasar tingkat kedua, terpaksa mengekor. Dalam keadaan tercekik demikian rupa, bank swasta nasional jelas tak bisa berbuat banyak. Sejak tensi di pasar uang mulai meninggi, mereka sudah cukup kenyang menelan dana mahal, yang berasal dari pimjaman antarbank. Usaha memanfaatkan pinjaman antarbank ini belakangan lebih terasa bersifat gali lubang tutup lubang. Dibukanya fasilitas diskonto, berupa pinjaman berjangka dua sampai empat mimggu yang hanya bisa diperpanjang sekali itu, juga dianggap tak menyelesaikan krisis banyak bank swasta. "Kalau pasar uang di-kobok terus, bank yang besar pun bisa mabuk," ujar Nyoman Moena. Apa hendak dikata, naiknya harga sumber dana itu menyebabkan harga jual dana tadi semakin mahal pula. Karena itu, jangan kaget bila Citibank pekan lalu menawarkan kredit modal kerja dengan bunga 32%-33%. Harga setinggi itu masih akan berubah, mungkin sampai 35%, bila harga dananya naik lagi. Dalam situasi seperti itu, tentu, "Hanya orang gila saja, yang berani pinjam uang untuk melakukan imvestasi baru," ujar S. Surjadi, presiden direktur PT Merincorp, LKBB, di Jakarta. Pihak Bank Sentral sudah melihat pergolakan di pasar uang itu akan membawa pengaruh panjang: bakal menyebabkan biaya produksi semakin mahal dan, yang lebih buruk lagi, menghambat investasi. Kemacetan, bukan tak mungkin, akan muncul. "Kalau gejala itu dibiarkan. akibatnya bisa panjang," ujar Binhadi. "Dan pengaruhnya bisa merembet ke mana-mana." Karena alasan itu, BI berusaha menanganinya dari bagian paling hulu. Intervensi kredlt khusus ini diharapkan bisa mengerem kenaikan bunga deposito dan sekaligus menjinakkan gejolak di pasar uang. Harga kredit 26% itu dianggap cukup kompetitif dibandmgkan bunga pimjaman antarbank yang pekan lalu, ditawarkan 29%-31% untuk kredit yang menginap semalam. Perkembangan terakhir di pasar itu, tentu, cukup melegakan. Apalagi penyedia utama pinjaman antarbank, seperti BNI 1946, sudah kembali memutarkan kelebihan dananya antara Rp 50 milyar dan Rp 100 milyar sehari. Kendati intervensi kredit khusus itu diharapkan bisa memperbaiki likuiditas bank swasta, Nyoman Moena menganggap bahwa harga dana darurat 26% itu kelak bakal menaikkan basis bunga deposito yang kini 16,5% menjadi 20%. Naiknya basis bunga deposito itu kelak tentu akan mendorong pula kenaikan bunga pinjaman. "Bila sekarang bunganya hanya 2%, bukan tak mungkin nanti rata-rata jadi 3% sebulan," ujar Moena, yang juga presiden direktur Overseas Express Bank. Karena dunia usaha belum tentu akan mampu memikul beban bunga setinggi itu, maka para bankir tampaknya perlu mengambil langkah penyesuaian dari dalam, untuk menekan kenaikan harga jual dananya kelak. Satu-satunya cara adalah menggali dana murah dari kantung pemegang saham. "Mereka harus tambah modal," ujar Moena. "Ini merupakan pilihan bagus bagi semua pihak. Kalau tak mampu, jangan cari pinjaman ke luar. Sebab, akan menekan neraca pembayaran." Anjuran Moena itu tamDaknya menarik. Tapi BI, yang kini sedang berusaha "menggiring sejumlah pasien ke kamar ICCU", tampaknya akan segera menetapkan diagnosa untuk menentukan tindakan tepat selanjutnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus