Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kantung kapitalis di tengah lautan

Persetujuan inggris-rrc mengenai pengembalian hong kong menimbulkan kekhawatiran bagi penduduk & pengusaha. beberapa pendapat pengusaha indonesia tentang masa depan ekonomi hong kong & hubungan bisnisnya.

29 September 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELALUI perundingan 22 tahap, seumlah spekulasi, dan kekhawatiran, akhirnya persetujuan bersama Inggris-RRC mengenai pengembalian Hong Kong, 1 Juli 1997 nanti, diparaf Rabu pekan ini di Beijing. Inilah saat yang ditunggu sekitar 5,5 juta penduduk Hong Kong, dan sejumlah pengusaha yang memalnkan peranannya di pusat keuangan nomor tiga di dunia itu. Dampak peristiwa ini segera terasa di pusat-pusat keuangan Hong Kong, bahkan sejak semmggu sebelumnya. Indeks Hang Seng, perdagangan saham di bursa Hong Kong, yang selama ini merosot, Rabu pekan lalu langsung melonjak 8,87 point, menjadi 983,79. Dua hari kemudian, indeks yang merupakan salah satu barometer keadaan ekonomi dan sikap penduduk Hon Kong itu terangkat lagi 18,34 point, menjadi 1.002,13. Jumat pekan lalu uga, nilai transaksi saham berbagai perusahaan mencatat angka US$ 350,97 juta. Jumlah ini lebih dari dua kali angka dua hari sebelumnya, yang US$ 150,47 juta. Menurut beberapa pengamat, partisipasi lembaga-lembaga lokal terasa sekali menunjang kenaikan ini. Dengan ekspor tahunan sekitar HK$ 20 milyar, atau hampir sama besar dengan ekspor total RRC, Hong Kong memang salah satu puncak di antara 20 kota niaga terpenting di dunia. Maka, tidak heran bila isu pengembalian kawasan itu, yang disewakan Kekaisaran Cina kepada Inggris untuk masa 99 tahun sejak I Juli 1898, makin menarik perhatian selama dua tahun terakhir ini. Sejak kunjungan PM Margaret Thatcher ke Beijing, 1982, isu pengembalian mulai menghangat. Kekhawatiran berkisar pada tiga hal: tamatnya sistem kapitalis Hong Kong, berubahnya pola penanganan urusan dalam negeri di bawah kekuasaan Beijing dan tidak adanya jaminan akan sikap RRC setelah 1997. Pada 1982 itu, modal domestik kotor di sektor swasta langsung anjlok 6.8%. Tahun berikutnya malah jatuh lagi 8,5%. Dalam pada itu, terbatasnya dan simpang siurnya pernyataan para pejabat puncak RRC mengenai masalah ini makin menumbuhkan kesangsian. Juli lalu, misalnya, kesangsian itu hampir mencapai puncaknya. "Kami sudah kehilangan kepercayaan akan nasib kawasan ini," kata Wang Pe-fei, seorang eksportir tekstil, kepada TEMPO saat itu. Kesangsian ini, rupanya bukan tidak terbaca Beijing. Apalagi, dua bulan sebelumnya, perusahaan besar Jardine memindahkan domisilinya ke Bermuda. Bila "hijrah" ini, seperti ditafsirkan beberapa pengamat, merupakan semacam move untuk memancing pernyataan Cina, Jardine setengah berhasil. Akhir Juli, orang kuat RRC, Deng Xiaoping, menyatakan bahwa hanya lima pejabat Cina yang boleh berhlcara mengenai urusan Hong Kong. Mereka adalah PM Zhao Ziyang, Menlu Wu Xueqian dan juru bicaranya, kepala Urusan Hong Kong dan Macau Deplu, Ji Pengfei, serta Deng sendiri. Presiden RRC Li Xiannian, dan ketua Partai Komunis Cina (PKC) Hu Yaobang, bahkan tidak digubris. Setelah itu pula, isu "satu negara dua sistem", yang ditiupkan RRC sejak Mei, makin berkembang. Artinya, Cina akan membiarkan sistem kapitalis Hong Kong utuh selama 50 tahun sejak 1997. Konsep ini, kata Deng kepada menlu Inggris, Sir Geoffrey Howe, yang berkunjung ke Beijing akhir Juli, "Akan memelihara kemakmuran dan stabilitas HongKong, sebelum dan sesudah 1997." Dalam konsep itu, Hong Kong akan dinyatakan sebagai daerah administratif khusus (SAR), sesuai dengan Pasal 31 UUD RRC. Sistem ekonomi dan kemasyarakatan akan dipertahankan, demikian pula status Hong Kong sebagai pelabuhan bebas. Pendeknya, seperti diutarakan PM Zhao di depan sidang Kongres Rakyat Nasional RRC, 15 Mei, "Penduduk Hong Kong akan menikmati derajat otonomi yang tinggi." Penduduk yang mana? Lebih dari separuh penduduk kawasan itu hanya memegang certificate of identity (CI), semacam KTP. Ke dalam kelompok ini, umumnya, terhisap para pelarian RRC, hoakiau asal Indonesia, atau hoakiau yang dulu hengkang ke RRC, lalu minggat lagi ke Hong Kong. Juga para pendatang Taiwan, yang masih mengibarkan bendera Kuomintang di permukimannya yang kumuh, di tepi rel kereta api Kowloon-Lowu. "Untuk saya, satu-satunya jalan adalah pindah dari sini," kata Oey Thiam (bukan nama sebenarnya). Oey yang berasal dari Bangka, masuk ke koloni itu pada 1951,dan berkembang menjadi pengusaha menengah yang berhasil. Tahun 1960-an ia terlibat dalam kegiatan anti-RRC. Faktor ini, menurut dia, membuat namanya sudah tercantum dalam black-list Beijing. Beberapa negara memang sudah siap menangguk modal Hong Kong yang yang berniat minggat. Singapura memasang tarif deposito, syukur kalau sampai investasi, US$ 1 juta untuk izin menetap. Filipina hanya US$ 200 ribu, dan Muangthai US$ 360 ribu, plus US$ 270 ribu untuk istri/suami, dan US$ 90 ribu untuk tiap anak. Bahkan Mauritius mempromosikan bebas kuota dan pajak. Hasilnya mengecewakan. Hingga Mei lalu, ketika kekhawatiran mulai bangkit, lima investor-langsung hanya menanamkan sekitar satu milyar baht di Bangkok, jauh di bawah harapan negeri itu. Menurut bekas deputi perdana menteri Thai, Boonchu Rojanastien, yang mengaku banyak mempelajari pola bisnis Hong Kong, "Usaha menggaet modal Hong Kong itu tidak lebih dari sebuah impian." Sekitar 70% kapitalis Hong Kong memang sudah memasang kuda-kuda. Tetapi, mereka terutama memilih Amerika, Eropa, atau Kanada. Taiwan tidak kurang berminat menampung "modal pelarian" ini. Seorang ahli hukum Taiwan bahkan menuntut hak menentukan masa depan sendiri bagi penduduk Hong Kong, dengan keyakinan bahwa mereka akan memilih Taiwan. Namun, seorang tokoh pengusaha momandang tindakan hijrah ke Taiwan lebih riskan."Lebih aman menanam modal langsung di RRC," katanya. Tetapi, "Trauma Shanghai" juga banyak berperan dalam rasa cemas penduduk Hong Kong. Dari bandar internasional itulah ratusan kapitalis Cina terbirit-birit menyelamatkan nyawa ketika Tentara Pembebasan Rakyat (TPR) mengambil alih kekuasaan, 1949. Banyak di antara mereka yang kemudian marak lagi di tanah pelariannya yang baru, Hong Kong. Seperti dibangunkan mimpi buruk, mereka jugalah yang sekarang paling duluan berusaha memindahkan modal ke negeri lain. Beberapa pejabat penting RRC memang menjanjikan sejumlah jaminan untuk mengatasi kecemasan ini. Xu Jiatun, kepala kantor berita RRC Xinhua di Hong Kong menyebut "satu negara dua sistem" itu sebagai "konsep ilmiah". Xu, yang menempati posnya April tahun lalu, tidak sekadar kepala biro kantor berita resmi RRC. Penduduk menganggap dia "gubernur bayangan Cina", setara dalam pengaruh dengan Sir Edward Youde, gubernur betulan Inggris. Dalam persetujuan bersamayang baru diparaf, janji itu tampaknya setengah dilunasi. Hong Kong akan menjadi SAR yang sangat otonom, tetapi dengan nama Hong Kong-Cina. Para pemegang paspor Inggris bebas bepergian setelah 1997, tapi keturunan mereka, yang lahir setelah tahun itu, tidak berhak mewarisi kewarganegaraan orangtuanya. RRC juga mengizinkan pemilihan umum, baik yang langsung maupun tidak langsung di Hong Kong, setelah l997. Satu juta salinan persetujuan bersama segera dicetak dan disebarkan, seperempat di antaranya dalam bahasa Inggris. Dari edaran ini diharapkan pendapat penduduk Hong Kong, untuk dibahas oleh parlemen Inggris dan Kongres Rakyat Nasional RRC, sebelum persetujuan yang baku ditandatangani, akhir tahun ini. Namun, kebimbangan tak seluruhnya sirna. Inggris tidak berhasil meyakinkan Cina akan perlunya pengakuan internasional terhadap persetujuan bersama tersebut. Soalnya, RRC memandang masalah pengembalian wilayah ini sebagai "urusan dalam negeri". Pertanyaan yang kemudian timbul: sejauh mana RRC bisa dipercaya. Atau, tepatnya, sejauh mana kelompok pragmatis model Deng Xiaoping bisa 6ertahan di puncak kekuasaan (Lihat: Kolom A. Dahana). Dari sudut inilah Taiwan tampil sebagai faktor yang diharapkan bisa ikut menentukan. Bukan rahasia lagi bila RRC ingin menjadikan penyelesaian Hong Kong sebagai upaya membujuk Taipeh. Ji Pengfei malah mengatakan, "Syarat reunifikasi dengan Taiwan akan jauh lebih lunak daripada Hong Kong." Di kalangan pengamat memang beredar spekulasi, 50 tahun setelah 1997, Beijing akan merintis usaha menarik Taiwan, dan sekaligus Macau. Karena itu pula, agaknya, komisi gabungan Inggris-RRC, yang akan dibentuk dan bekerja hingga 1997, dijamin Beijing bukan bagian dari kekuasaan. Komisi ini sempat dicemaskan penduduk sebagai usaha campur tangan RRC dalam urusan domestik Hong Kong, bila ia diberi hak mengatur. Taiwan, melalui juru bicara kementerian luar negerinya, Wang Chao-yuan, sempat pula mengecam komisi ini. Kalangan diplomatik di Beijing memandang persetujuan bersama ini sebagai "kartu taruhan RRC yang sangat tinggi". Kantung-kantung kapitalis di tengah lautan sosialis bukan perkara gampang, apalagi modelnya belum ada. RRC memang sudah membuka proyek percontohan daerah ekonomi khusus, SEZ, di provinsi selatan. Dan, sepanjang pengamatan sekilas, "hongkongisasi" berjalan pesat di kawasan SEZ itu. Optimisme?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus