Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kado Menyongsong Remunerasi

Kementerian Koperasi diganjar opini wajar tanpa pengecualian. Temuan material terindikasi pidana dan usulan opini tim pemeriksa diabaikan.

2 Juni 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUDUK di kursi saksi, Riefan Avrian menjadi bulan-bulanan majelis hakim dan penasihat hukum terdakwa Hendra Saputra di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu tiga pekan lalu. Putra Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Sjarifuddin Hasan ini dicecar soal keterlibatannya dalam korupsi pengadaan videotron senilai Rp 23,4 miliar pada 2012. Kerugian negara ditaksir mencapai Rp 4,78 miliar.

Beberapa kali Riefan, yang sudah menjadi tersangka, selalu mengelak terlibat dalam proyek di kementerian yang dipimpin ayahnya. Padahal Hendra, Direktur PT Imaji Media, pemenang proyek videotron, adalah mantan office boy di kantornya. "Saudara saksi, tolong jujur," kata ketua majelis hakim Nani Indrawati berulang kali.

Meski digarap kejaksaan, praktek lancung di proyek ini pertama kali sebetulnya ditemukan tim pemeriksa Auditorat Keuangan Negara II Badan Pemeriksa Keuangan pada Februari 2013. Namun rupanya temuan penting ini tidak mendapat tempat dalam hasil audit laporan keuangan Kementerian Koperasi. Meski telak dan terindikasi pidana, Kementerian Koperasi tetap diberi opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh BPK.

Belakangan, sumber Tempo yang mengetahui proses audit itu mengungkapkan pada mulanya tim pemeriksa tidak mengusulkan opini WTP untuk Kementerian Koperasi. Temuan adanya dugaan tindak pidana korupsi menjadi salah satu alasan untuk tidak memberikan rapor baru. "Sampai konsep laporan hasil pemeriksaan masih WDP (wajar dengan pengecualian)," ujarnya.

Perubahan opini yang drastis, menurut sumber itu, tidak lepas dari campur tangan Rizal Djalil. Salah satu anggota BPK ini ketika audit berlangsung beberapa kali menelepon tim pemeriksa saat masih bekerja. Dia bertanya soal opini yang akan diusulkan tim pemeriksa. "Apa bisa kementerian itu WTP?" katanya menirukan Rizal.

Langkah ini terbilang berani. Sebab, dia bukan anggota yang memimpin Auditorat II, yang berwenang memeriksa Kementerian Koperasi dan UKM. Ketika itu, Rizal membawahkan Auditorat VI, yang membidangi pemeriksaan untuk wilayah Indonesia timur dan beberapa kementerian lain. Adapun Auditorat II dipimpin Taufiequrachman Ruki hingga Mei 2013 sebelum beralih ke Sapto Amal Damandari pada Juni 2013.

Upaya intervensi dari atas sempat membuat tim gusar. Menurut seorang auditor, tak ada satu pun pemimpin yang mau bertanggung jawab membuat penjelasan tertulis mengenai perubahan opini tersebut. "Padahal seharusnya ada dokumennya," ucapnya.

Walhasil, pada 3 Mei 2013, keluarlah laporan hasil pemeriksaan "bercap" WTP dengan sederet paragraf penjelasan. Kementerian mendapat penetapan WTP karena kesalahan masih di bawah batas yang bisa ditoleransi (tolerable statement). "Semua temuan yang semula jadi pengecualian dijadikan sebagai paragraf penjelasan," katanya.

Rizal membantah mengintervensi tim auditor Kementerian Koperasi dan UKM. Sebagai pemimpin Auditorat VI, dia mengaku tidak memiliki kewenangan mengatur auditor di Auditorat II pimpinan Sapto Amal, yang membawahkan kementerian tersebut. "Coba ditanya ke Pak Sapto," ujarnya.

Sebaliknya, Sapto Amal mengelak bertanggung jawab. Sapto mengaku, ketika audit di Kementerian Koperasi selesai dilakukan pada Juni lalu, ia belum membidangi Auditorat II.

n n n

DIGANJAR opini WDP pada 2010 dan 2011, Kementerian Koperasi berkepentingan mendapat nilai lebih tinggi, yakni WTP pada 2012. Apalagi opini ini amat diperlukan terkait dengan rencana Kementerian Koperasi mengajukan remunerasi. "Berbagai cara dilakukan, termasuk melobi lewat pimpinan BPK," kata sumber Tempo. Dalam perjalanannya, Rizal Djalil yang dipilih untuk "membantu".

Guna memuluskan rencana ini, berbagai upaya dilakukan agar temuan korupsi dalam proyek videotron bisa ditutupi. Padahal dalam dokumen audit dengan jelas tertulis tim pemeriksa menemukan persoalan yang terindikasi pidana, dari lelang hingga pengerjaan proyek.

Dalam dokumen penawaran PT Imaji Media, pemenang proyek, diketahui pekerjaan konstruksi videotron sebesar Rp 2,42 miliar diajukan tanpa analisis harga satuan dan metode pekerjaan. Akibatnya, Kelompok Kerja 1 Unit Layanan Pengadaan Sekretariat Menteri tak bisa menguji kewajaran, tapi Pokja tidak melakukan klarifikasi. Pokja juga diketahui tidak mengevaluasi harga tiap item pekerjaan yang ditawarkan.

Ada juga penawaran genset yang spesifikasinya tak sesuai dengan persyaratan. Menurut BPK, hal ini bisa mengakibatkan gugurnya penawaran PT Imaji Media. Tapi Pokja pun tidak melakukan klarifikasi. BPK mengkalkulasi kelebihan bayar karena adanya pekerjaan yang tidak dilaksanakan dan tidak sesuai dengan spesifikasi teknis mencapai Rp 2,96 miliar. Belakangan, ketahuan pula jumlah videotron yang dipasang hanya satu unit.

Temuan lain yang juga menonjol adalah harga yang kelewat mahal dalam pengadaan delapan lift merek Lauser di gedung Kementerian oleh PT Karuniaguna Intisemesta. Tak tanggung-tanggung, kemahalan terjadi sejak dari harga perkiraan sendiri (HPS) yang dibuat PPK Unit Sekretariat Menteri. HPS tercatat Rp 23,5 miliar. Sesuai dengan surat penetapan pemenang dan penunjukan, nilai kontrak Rp 23,2 miliar.

Auditor juga menemukan berbagai keanehan pada dokumen penawaran pemenang proyek, dari perbedaan specimen tanda tangan direktur hingga perbedaan penulisan nama perusahaan: PT Karuniaguna Intersemesta. Dari hasil pengamatan fisik atas kantor Karuniaguna, didapati kantor itu kosong tanpa aktivitas dan tak ada papan nama.

Selain dua pokok temuan itu, ada sepuluh temuan ketidakpatuhan, kecurangan, dan ketidakpatutan terhadap peraturan perundang-undangan. Total kelebihan bayar yang harus ditagih dari pihak ketiga dan disetorkan ke kas negara mencapai Rp 22,26 miliar. Jumlah itu bisa lebih besar jika ada pembayaran untuk beberapa pekerjaan lain yang tak bisa dipertanggungjawabkan.

Sumber tadi mengatakan, dengan berbagai temuan tersebut, opini sebetulnya bisa saja dipertahankan WDP. "Biasanya, kalau ada indikasi pidana, tidak mungkin WTP, planning materiality (batasan nominal penyimpangan yang dianggap material) dan tolerable statement (batasan kesalahan yang bisa ditoleransi) tidak berlaku," katanya.

Seorang mantan auditor mengatakan, kalau sesuatu hal jelas masuk tindak pidana korupsi, semestinya jadi pertimbangan dalam pemberian opini. Toh, sesuai dengan penjelasan BPK pada bagian metodologi pemeriksaan, standar materialitas tidak berlaku atas penyimpangan yang mengandung unsur kolusi, korupsi, dan nepotisme serta pelanggaran hukum.

Wakil Penanggung Jawab Pemeriksaan Harry Purwaka menyatakan salah satu pertimbangan penetapan opini adalah surat komitmen Kementerian Koperasi dan UKM untuk mengembalikan semua kelebihan bayar, termasuk dalam proyek videotron dan lift. "Sudah ada pengembalian, videotron Rp 1 miliar," ujarnya.

Rizal Djalil membantah tudingan intervensi. Dia menegaskan opini WTP bukan berarti kementerian atau lembaga bebas korupsi. Opini tersebut sekadar menilai kewajaran pelaporan keuangan apakah sesuai dengan standar akuntansi yang berlaku.

Menteri Koperasi dan UKM Sjarifuddin Hasan enggan menjawab pertanyaan seputar opini BPK. "Hubungi Sekmen (Sekretaris Menteri), bidangnya," katanya. Sekretaris Menteri Koperasi dan UKM Agus Muharram membantah jika pihaknya disebut melobi anggota BPK. "Penetapan opini itu kewenangan BPK, kami tidak bisa mempengaruhi," ucapnya.

Dia mengaku tak punya kedekatan dengan Rizal, Sapto, ataupun Ruki. Seingat Agus, pesan Sapto hanya satu saat menyampaikan audit ke tangannya. "Tolong diperbaiki."

Ia menjelaskan, pihaknya berupaya melakukan perbaikan dalam pengelolaan keuangan 2013. Ia berharap laporan hasil audit BPK bisa lebih baik. Seiring dengan perbaikan opini, harapan bisa mendapat remunerasi bisa segera terealisasi. "Mudah-mudahan tahun ini," katanya.

Martha Thertina, Akbar Tri Kurniawan, Linda Trianita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus