Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEI menjadi bulan bersejarah bagi Syahril Japarin. Pada Mei 2013, dia ditunjuk Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan menjadi Direktur Utama PT Pelni. Dia lalu dilengserkan pada Mei 2014. "Persis setahun," katanya kepada Tempo, Senin pekan lalu. Normalnya, masa jabatan direktur utama BUMN adalah lima tahun.
Dahlan menunjuk Sulistyo Wimbo Hardjito, mantan Direktur Komersial PT Kereta Api Indonesia, sebagai pengganti Syahril. "Saya diminta Pak Dahlan pada Februari lalu," kata Wimbo.
Menteri BUMN menilai Syahril tak mampu mengangkat kinerja Pelni. Yang terjadi malah sebaliknya, dari untung Rp 25 miliar pada 2012 menjadi rugi Rp 634 miliar tahun berikutnya. "Orangnya (Syahril) baik, tapi kondisi perusahaan tidak menggembirakan," katanya. "Baik saja tidak cukup."
Namun dalil Dahlan tak sepenuhnya diterima Syahril. Sejak awal ia di Pelni, kondisi perusahaan sudah tidak menggembirakan. Begitu ditunjuk, ia langsung meminta audit kinerja perusahaan. Hasilnya, sejak Januari hingga Mei 2013, perusahaan merugi Rp 208 miliar. "Saya memulai dengan kondisi yang berat," katanya.
Akhir tahun buku 2013, setelah melalui proses audit, jumlah kerugian membengkak menjadi Rp 634 miliar. Namun, kata Syahril, besarnya kerugian ini akibat banyaknya beban yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya yang dimasukkan ke periode jabatannya. "Dibukukan paksa tahun lalu."
Syahril menyebut utang sub-loan agreement 42 juta euro untuk pembelian kapal. Saat nilai tukar euro naik tahun lalu, Pelni rugi kurs sampai Rp 175 miliar. "Beli kapal 2007, tapi baru dibukukan tahun lalu." Selain itu, pajak spin offRumah Sakit Pelni senilai Rp 112 miliar, yang semestinya dicatat pada 2010, baru dibukukan pada 2013.
Pemerintah, kata Syahril, juga memotong dana public service obligation dari Rp 897 miliar menjadi Rp 726 miliar. Pelni juga menderita kerugian akibat kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi sebesar Rp 90 miliar. Kenaikan harga suku cadang karena apreasisi euro merugikan Pelni Rp 10 miliar. "Totalnya Rp 558 miliar, dan ini semua di luar operasional perusahaan."
Berdasarkan hasil audit tahun buku 2013, ditemukan kerugian Rp 634 miliar. Semestinya, kata Syahril, jika kerugian di atas dimasukkan, totalnya mencapai Rp 766 miliar-Rp 208 miliar ditambah Rp 558 miliar. "Berarti ada progress yang bagus," ujarnya. "Seharusnya, kalau dinilai, periode saya bagus, dong."
Toh, Kementerian BUMN tetap mencopotnya kendati Dahlan mengakui Syahril sudah melakukan pembenahan di Pelni. "Pak Menteri mengganti untuk kebaikan perusahaan," kata Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, dan Perhubungan Dwijanti Tjahjaningsih.
Syahril mengendus pencopotannya itu terkait dengan sejumlah pembenahan di Pelni. Dia mengambil alih pengelolaan katering untuk penumpang dari pihak ketiga. "Pelni harus mengeluarkan uang hingga Rp 100 miliar per tahun," katanya. Begitu juga pembelian suku cadang dilakukan secara langsung, tanpa melalui pihak ketiga.
Pelni juga mengambil alih pengelolaan toko di kapal. Ketika masih dikelola pihak ketiga, Pelni hanya mendapatkan pembagian Rp 5 juta per trip. Kini pendapatan yang masuk ke perusahaan melonjak menjadi Rp 90-150 juta per trip per kapal. "Duit itu dulu mengalir ke mana-mana," katanya. "Langkah ini membuat banyak pihak mengamuk."
Syahril mengaku mendapat banyak tekanan ketika membenahi Pelni. Salah satunya, setiap datang ke Kementerian BUMN, dia selalu bertemu dengan salah seorang pemilik toko di kapal yang menolak pengambilalihan. "Tiga kali saya bertemu, dan dia selalu bilang baru bertemu dengan Pak Menteri," katanya. Seorang petinggi Kementerian Perhubungan juga pernah menelepon untuk mempersoalkan kebijakan itu.
Dahlan membantah tuduhan pergantian Syahril karena adanya tekanan tersebut. "Tidak ada," katanya Rabu pekan lalu. Bantahan serupa disampaikan Dwijanti. "Sudahlah, wong sudah diganti."
Iqbal Muhtarom, Ananda Putri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo