Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Kawin Cerai Melalui Atasan

Tanggapan para ahli hukum Islam dan Tata Negara, mengenai PP. No.10/1983, tentang pengetatan peraturan kawin cerai bagi pegawai negeri sipil. (hk)

14 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESAS-DESUS pejabat kawin lagi, atau istri bermata sembab mengadu ke atasan gara-gara suami punya "simpanan" mungkin akan berkurang. Lubang untuk berpoligami dan bercerai, yang sejak beberapa tahun dipersempit undang-undang perkawinan, kini hampir tertutup bagi pegawai negeri. Menurut peraturan pemerintah yang baru, semua pegawai negeri harus mendapat izin atasan untuk kawin lagi ataupun bercerai. Hidup bersama di luar nikah bahkan "diharamkan" sama sekali -- yang melanggar sanksinya berat: dipecat. Peraturan pemerintah (PP No. 10/1983) yang dianggap hadiah bagi kaum ibu itu, ditandatangani Presiden Soeharto tepat pada Hari Kartini, 21 April lalu. Hampir semua alasan untuk bercerai, yang ditetapkan undang-undang perkawinan (UU No. 1/1974) beserta peraturan pelaksanaannya tercakup dalam peraturan baru itu. Begitu juga untuk poligami. Bedanya, selain tetap harus mendapat keputusan pengadilan untuk izin kawin lagi dan bercerai, peraturan baru menetapkan bahwa pegawai negeri harus mendapat izin dulu dari atasan tertinggi. Izin menteri untuk karyawan suatu departemen. Bagi pejabat tinggi negara izin itu hanya bisa diminta dari Presiden. Persyaratan lain untuk bercerai -- di samping izin tadi -- juga lebih ketat. Ketentuan alasan perceraian karena salah satu pihak mendapat cacat badan yang dibenarkan undang-undang, misalnya, justru dilarang. Menurut penjelasan PP 10, "pegawai negeri sipil yang melakukan perceraian karena istri tertimpa musibah tidaklah memberikan keteladanan...." Selain itu, tidak akan ada izin bercerai, jika menurut menteri atau Presiden, permohonan itu bertentangan dengan akal sehat dan peraturan agama pemohon. Jadi, untuk pegawai negeri yang beragama Nasrani, pintu poligami dan perceraian tertutup sama sekali. "Kini payung perlindungan buat istri pegawai negeri semakin kokoh," komentar Ketua Dharma Wanita DKI Nyonya Soeprapti Soeprapto. Bahkan Ketua Muslimat NU, Nyonya H.S.A. Wahid Hasyim, mengharapkan agar semua ketentuan baru itu diberlakukan bagi semua orang (TEMPO 7 Mei). Artinya undang-undang perkawinan yang ada harus diubah? Tanggapan ahli-ahli hukum Islam yahud juga. "Soal izin itu sebenarnya tidak diatur dalam hukum Islam -- jadi hukumnya mubah," seperti ujar guru besar Fiqh di IAIN Jakarta, Prof. KH. Ibrahim Husen, LML. Menurut Ibrahim, mubah itu bisa jadi wajib atau haram, tergantung dari penguasa suatu negara. "Jadi penguasa punya peranan membentuk hukum Islam," kata Ibrahim lagi. Hanya yang wajib itu ada yang dituntut sanksi di dunia saja, ada pula yang berikut akhirat. Misalnya, pegawai yang menikah tanpa setahu atasan, hukumnya: "Nikahnya tetap sah, tapi ia telah melanggar kewajiban di dunia." Namun, perbedaan-perbedaan yang mendasar antara peraturan dengan undang-undang tidak urung membangkitkan kritik ahli-ahli hukum tata negara. Dekan FH-Unpad, Dr. Sri Soemantri Martosoewignyo, menilai bahwa beberapa ketentuan dari peraturan itu bertentangan dengan undang-undang. "Banyak peraturan kita yang bertentangan dengan undang-undang yang berlaku," ujar Soemantri. Peraturan baru itu dianggapnya sebuah jalan pintas untuk menerobos undang-undang yang berlaku. Soemantri membenarkan bahwa jalan pintas itu berguna untuk mengatasi masalah-masalah praktis. Misalnya, "pemerintah ingin mengatasi kecenderungan pegawai negeri ini untuk berpoligami," ujarnya. Tapi untuk itu, katanya, hirarki peraturan perundang-undangan tetap harus ditaati. "Kalau tidak, untuk apa kita mempunyai tata urutan peraturan itu," ujarnya. Alasan, yang menyatakan peraturan itu merupakan ketentuan khusus untuk pegawai negeri, juga tidak bisa diterima oleh Guru Besar Hukum Tata Negara FH-UI Prof. Ismail Sunny, "Undang-undang dasar kita tidak pernah membedakan antara warga biasa dengan pegawai negeri," ujarnya. Pembedaan serupa, katanya, terjadi dalam peraturan tentang hak pegawai untuk masuk organisasi politik. "Ini dari segi hukum tata negara lho, terlepas dari penghormatan saya terhadap kaum wanita," tambahnya. Selama ini di berbagai instansi, jauh sebelum diberlakukannya peraturan baru pengetatan izin kawin-cerai telah berlaku bahkan dalam kadar lebih keras. Yang pertama tentu anggota ABRI. Juga disebut Kejaksaan Agung dan Departemen Kehakiman. "Tidak ada tempat bagi jaksa yang suka kawin-cerai," tegas Jaksa Agung Ismail Saleh, ketika membuka penataran undang-undang perkawinan, Selasa lalu. Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Umum R.H. Abdulwirahadikusumah menyebutkan bahwa sekitar 25 orang jaksa yang terkena tindakan dalam kasus poligami atau perceraian sejak 1981. Pengetatan itu memang sudah berlalu sejak Ali Said menjadi Jaksa Agung. Departemen kehakiman, yang sekarang dipimpin Ali Said, mencatat 4 orang karyawan yang terkena tindakan, dibebas tugaskan, selama tahun lalu. Tiga orang di antaranya, menurut Humas Drs. Rahardjo, karena punya istri muda dan lainnya, seorang calon hakim, karena ketahuan "hidup bersama" dengan seorang perempuan. Untuk tahun ini, tambah Rahardjo, ada dua orang karyawan yang terkena tindakan karena hal serupa. "Untuk yang kebetulan dapat izin, harus mencatatkan istri pertama dan istri keduanya," kata Rahardjo mengingatkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus