DALAM bahasa Jawa di Surakarta semustinya bisa laris. Ternyata
tidak selalu. Parikesit, Dharma Kanda dan Dharma Nyata -- ketiga
koran mingguan ini yang terbit dalam bahasa Jawa telah hidup
morat-marit.
Parikesit yang lahir tahun 1972 pernah mencapai oplah 20.000 dua
tahun lalu. Kini oplahnya tinggal 14.000. Adalah karena mendapat
dana khusus dari pemerintah maka ia masih bisa membayar gaji
para wartawannya secara tetap. Dan tetaplah ia terbit dalam
bahasa Jawa 100%.
Tapi Dharma Kanda, yang tertua dari ketiganya, muncul separoh
dalam bahasa Jawa dan separoh lagi dalam bahasa nasional. Dengan
oplah 5000 tiap minggu, koran ini bisa bertahan tapi para
pengasuhnya hanya diberi honorarium, bukan gaji tetap. Dan
bertahan dengan bahasa Jawa 50%.
Dharma Nyata ternyata tidak kuat lagi bertahan dalam bahasa
Jawa. Pernah oplahnya mencapai 22.000 ketika usianya baru
setahun (1972). Tapi kemudian oplahnya menurun terus sampai
tinggal 3500 saja tahun lalu. "Sudah tidak mampu lagi menggaji
redaktur dan wartawan," kata pimpinan perusahaan itu, Agung
Sasongko pada Kastoyo Ramelan dari TEMPO.
Sasongko dan timnya sudah melihat bahwa DN itu tidak mungkin
bisa dilanjutkan dengan bahasa Jawa. Pembacanya umumnya, menurut
Sasongko, tetap mendorong supaya bahasa Jawa itu dipertahankan.
Tapi "yang menginginkan tetap bahasa Jawa adalah pembaca
generasi tua, generasi yang akan berkurang dan habis
ditahun-tahun mendatang."
Maka akhirnya pada awal tahun ini Sasongko dkk memutuskan untuk
banting setir, yaitu DN seterusnya terbit dalam bahasa Indonesia
100%. Banyak orang Solo menjadi kaget, tentunya. Bahkan dalam
saresehan sastra Jawa di Solo Juni lalu sikap DN itu sempat
dikecam. "Kalau pers Jawa mati," demikian terdengar dalam
diskusi itu yang diadakan oleh Pusat Kebudayaan Jawa Tengah,
"sastra Jawa akan ringkih."
Pemimpin Redaksi DN, N. Sakdani Darmopamujo, tidak bertikai
dalam hal ini. "Saya sendiri pengarang Jawa. Jadi, yah sulit
juga. Saya kini berpikir praktis dulu supaya DN tidak terkubur,"
kata Sakdani.
Pikiran praktis itu rupanya membawa kemajuan. Selama Agustus
ini, oplah mingguannya menjadi 7800, naik dari 3500 dalam
Januari lalu. Sudah kelihatan titik terang bagi DN dengan 100%
bahasa Indonesia.
"Kami belum untung, tapi juga tidak merugi," tambah Sasngko.
Namun "tidak merugi" itu rupanya masih dalam pengertian bahwa
para pengasuhnya belum mendapat gaji tetap. Tampaknya mereka
mempunyai sumber penghasilan lain. Kerja wartawan ini hanya
sambilan -- biasa begini di Solo.
Sejak berbahasa Indonesia, kata Sasongko, pendapatan iklannya
menaik dan pemasarannya pun meluas ke lain kota seperti
Wonogiri, Sragen, Sukoharjo dan Klaten. Dia optimis bahwa oplah
DN bisa ditingkatkan lagi. Sejumlah wanita muda dikerahkannya
dari pintu ke pintu untuk mendapat langganan baru.
Hanya tiga koran mingguan tadi yang masih aktif terbit di Solo,
kota kelahiran PWI. Di situ gedung Monumen Pers Nasional kini
diperbesar supaya lebih megah dan menjadi 4 tingkat. Hanya
mingguan, tiada harian, di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini