Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Kalau dengan gaya solo

Koran berbahasa jawa di solo ada 3, ingin dipertahankan, tapi selalu gagal. koran dharma nyata banting setir ke bahasa indonesia, sehingga oplahnya naik. (md)

25 Agustus 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM bahasa Jawa di Surakarta semustinya bisa laris. Ternyata tidak selalu. Parikesit, Dharma Kanda dan Dharma Nyata -- ketiga koran mingguan ini yang terbit dalam bahasa Jawa telah hidup morat-marit. Parikesit yang lahir tahun 1972 pernah mencapai oplah 20.000 dua tahun lalu. Kini oplahnya tinggal 14.000. Adalah karena mendapat dana khusus dari pemerintah maka ia masih bisa membayar gaji para wartawannya secara tetap. Dan tetaplah ia terbit dalam bahasa Jawa 100%. Tapi Dharma Kanda, yang tertua dari ketiganya, muncul separoh dalam bahasa Jawa dan separoh lagi dalam bahasa nasional. Dengan oplah 5000 tiap minggu, koran ini bisa bertahan tapi para pengasuhnya hanya diberi honorarium, bukan gaji tetap. Dan bertahan dengan bahasa Jawa 50%. Dharma Nyata ternyata tidak kuat lagi bertahan dalam bahasa Jawa. Pernah oplahnya mencapai 22.000 ketika usianya baru setahun (1972). Tapi kemudian oplahnya menurun terus sampai tinggal 3500 saja tahun lalu. "Sudah tidak mampu lagi menggaji redaktur dan wartawan," kata pimpinan perusahaan itu, Agung Sasongko pada Kastoyo Ramelan dari TEMPO. Sasongko dan timnya sudah melihat bahwa DN itu tidak mungkin bisa dilanjutkan dengan bahasa Jawa. Pembacanya umumnya, menurut Sasongko, tetap mendorong supaya bahasa Jawa itu dipertahankan. Tapi "yang menginginkan tetap bahasa Jawa adalah pembaca generasi tua, generasi yang akan berkurang dan habis ditahun-tahun mendatang." Maka akhirnya pada awal tahun ini Sasongko dkk memutuskan untuk banting setir, yaitu DN seterusnya terbit dalam bahasa Indonesia 100%. Banyak orang Solo menjadi kaget, tentunya. Bahkan dalam saresehan sastra Jawa di Solo Juni lalu sikap DN itu sempat dikecam. "Kalau pers Jawa mati," demikian terdengar dalam diskusi itu yang diadakan oleh Pusat Kebudayaan Jawa Tengah, "sastra Jawa akan ringkih." Pemimpin Redaksi DN, N. Sakdani Darmopamujo, tidak bertikai dalam hal ini. "Saya sendiri pengarang Jawa. Jadi, yah sulit juga. Saya kini berpikir praktis dulu supaya DN tidak terkubur," kata Sakdani. Pikiran praktis itu rupanya membawa kemajuan. Selama Agustus ini, oplah mingguannya menjadi 7800, naik dari 3500 dalam Januari lalu. Sudah kelihatan titik terang bagi DN dengan 100% bahasa Indonesia. "Kami belum untung, tapi juga tidak merugi," tambah Sasngko. Namun "tidak merugi" itu rupanya masih dalam pengertian bahwa para pengasuhnya belum mendapat gaji tetap. Tampaknya mereka mempunyai sumber penghasilan lain. Kerja wartawan ini hanya sambilan -- biasa begini di Solo. Sejak berbahasa Indonesia, kata Sasongko, pendapatan iklannya menaik dan pemasarannya pun meluas ke lain kota seperti Wonogiri, Sragen, Sukoharjo dan Klaten. Dia optimis bahwa oplah DN bisa ditingkatkan lagi. Sejumlah wanita muda dikerahkannya dari pintu ke pintu untuk mendapat langganan baru. Hanya tiga koran mingguan tadi yang masih aktif terbit di Solo, kota kelahiran PWI. Di situ gedung Monumen Pers Nasional kini diperbesar supaya lebih megah dan menjadi 4 tingkat. Hanya mingguan, tiada harian, di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus