KALAU piring-piring di rak sudah bergemerincing, retak dan
pecah, cepat-cepatlah mengungsi. Begitu pesan orang-orang tua di
Labuan, daerah Banten (Jawa Barat). Peringatan ini tentu saja
berdasar pengalaman ketika Gunung Krakatau di Selat Sunda itu
menyapu seluruh penghuni pantai sekitar itu dan menelan sekitar
36.000 jiwa -- tepat 96 tahun (27 Agustus 1883) yang lalu.
Hari-hari belakangan ini anak gunung itu, Gunung Sertung
namanya, bergetar lagi. Tapi belum ada piring yang retak.
Meskipun gemuruh suaranya sempat menggetarkan kaca-kaca rumah
penduduk sampai 50 km kc arah timurnya. Batu-batu menyala
menyertai ledakan-ledakannya, bcrtebaran bagaikan kembang api
mencapai jarak puluhan meter. Tapi sebegitu jauh para ahli
memperkirakan kegiatan Sertung tak akan sampai membahayakan.
Sebagai anak Gunung Krakatau bahkan diperhitungkan masih perlu
waktu beberapa abad lagi sebelum meletus seperti tahun 1883.
Bahkan Dr. Patrick Allard dan lr Jean Vuillenmin, ahli gunung
berapi dari Perancis yang sedang bertugas di Indonesia, Sabtu
lalu menaiki puncak pertama anak Krakatau yang tingginya 170
meter itu. Beberapa contoh batu-batuan yang menghambur keluar
diambil mereka untuk penelitian. "Gunung ini tidak berbahaya
didekati sampai jarak beberapa ratus meter," kata Dr. Allard
kepada Lukman Hakim dari TEMPO. Di antara gunung-gunung di
Indonesia yang telah mereka selidiki (Merapi, Kelud, Ijen dan
Tambora), menurut ahli itu Gunung Merapi (Jawa Tengah) jauh
lebih berbahaya dibanding Krakatau. "Terutama karena dekat
dengan pemukiman penduduk," katanya.
Bulan Gelap
Tahun lalu Sertung juga giat, tapi masih dalam tahap membentuk
kubah lava baru. Sekarang tampaknya kegiatan itu lebih meningkat
dengan mengalirkan lava baru dan menghembuskan batu-batuan.
Mungkin karena melihat gelagat ini, pihak Pengamat Gunung Berapi
Direktorat V Vulkanologi di Bandung minggu lalu kembali
mengingatkan bahwa dalam radius 3 km gunung itu tetap berbahaya.
Peringatan ini diulangi lagi karena ternyata sejak gunung itu
mulai aktif akhir bulan lalu ramai dikunjungi pelancong. Bahkan
Hotel Carita di Labuan membuka kesempatan bagi tamu-tamunya
untuk mendekati gunung itu dengan menyediakan perahu motor. Dan
peminatnya cukup banyak, meskipun tak lupa pihak hotel
menyediakan formulir untuk ditandatangani dengan menyebutkan
segala risiko karena aktifitas gunung itu ditanggung oleh si
pelancong sendiri. Beberapa agen perjalanan di Jakarta juga
menyodorkan acara kunjungan khusus ke gunung ini bagi
turis-turis mereka.
Dalam keadaan begitu tentu saja penduduk sekitar sana tak
sedikit menikmati sumber rejeki baru. Di sampin supir-supir
(mobil) angkutan umum, mereka ini terutama nelayan yang
mengalihkan usahanya dari menangkap ikan menjadi pengangkut para
pelancong mengarungi laut beberapa km mendekati Sertung.
Penumpang ada saja yang datang, terutama pada hari-hari libur.
"Kebetulan sekarang bagan sedang sepi, bulan sedang gelap,"
ungkap Wahyuddin seorang pemilik perahu motor yang biasa
mengangkut ikan tangkapan dari bagan di sekitar pantai Carita.
Jarak Labuan-Krakatau ada 60 km, 4« jam dengan perahu motor.
Dan memang selama anak Krakatau menunjukkan aktifitas, rezeki
nelayan yang biasa datang dari dalam luar berkurang. Terutama
mereka yang mengandalkan "ladang"-nya di sekitar gunung itu.
Seorang nelayan di Pasauran, tak jauh dari Labuan, Kasun
namanya, mengeluh karena sudah seminggu lebih ia tak berhasil
mengangkat seekor ikan pun dari laut. "Rupanya ikan-ikan itu
sudah lari jauhjauh, takut mendengar suara gemuruh Sertung,"
tuturnya kepada Bachrun Suwatdi dari TEMPO.
Tapi sampai pekan lalu suara ledakan-ledakan gunung itu mulai
berkurang. Suara gemuruhnya hanya dapat terdengar dari jarak
beberapa ratus meter dari pusatnya. Getarannya pun mulai
berkurang. Nyala api mulai mengecil, meskipun tiap 10 menit
masih terdengar ledakan. Sehingga pantai Carita juga mulai sepi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini